Melampaui Pengarsipan

Column
28.01.16

Melampaui Pengarsipan

Mengenai pengarsipan dan musik jazz Indonesia.

by Whiteboard Journal

 

Sepulangnya dari Kineruku atas hajatan SERUKU.07 – Perihal Arsip Jazz Indonesia bersama Alfred D. Ticoalu pada Sabtu (9/1) sore, saya langsung menuju rak buku, merengkuh sebuah laci untuk membereskan kumpulan tulisan-tulisan saya yang pernah diterbitkan di surat kabar dalam beberapa tahun terakhir. Spirit kearsipan secara tak diduga-duga tumbuh pada diri saya.

Kemudian, saya perbaiki susunan kumpulan tulisan tersebut secara periodik. Tak cuma itu, saya juga menghampiri kabin koleksi kaset dan CD yang dimiliki. Tak banyak, tapi cukup sukses untuk menggiring pikiran saya kepada perjalanan spiritual saat melihat kaset-kaset yang telah lama tak diputar. Kegiatan ini, secara sadar, saya beri nama me-reshuffle kabinet, karena memang begitu pada kenyataannya.

Reshuffle kabinet hari itu berhasil mengingatkan saya bahwa betapa pentingnya pengarsipan agar segala bentuk dokumentasi dapat dimengerti kronologinya dan memudahkan saya untuk menemukannya kembali bila suatu saat diperlukan. Ia dapat pula menepis kekhawatiran saya pada ihwal perubahan dan desakan waktu. Hari itu, saya adalah presiden untuk rak kaset dan kumpulan tulisan saya.

Arsip Jazz Indonesia yang digagas oleh Alfred D. Ticoalu, sudah barang tentu, dapat membuka pemahaman semua orang bahwa pengarsipan yang baik adalah pengarsipan yang datang dari keinginan pribadi. Seperti yang dikemukakan oleh Alfred dalam SERUKU.07, Arsip Jazz Indonesia memang resmi dibentuk pada tahun 2005, akan tetapi semangat pendokumentasian sejarah jazz Indonesia telah ditekuninya sejak tahun 1995.

Bila melihat geliat tersebut, Alfred tahu benar bagaimana men-jazz-kan dirinya. Tidak mesti memainkan piano atau meniup klarinet, tapi dengan menikmati seni jazz sembari merawatnya dalam pengarsipan yang baik. Kegemarannya terhadap Jazz, kata Afred di dalam diskusi, bermula saat ia secara tak sengaja membeli kaset jazz di pasar sepulang sekolah ketika masih duduk di kelas dua SMP. Alfred mengakui bahwa bukan ia yang menemukan Jazz saat itu, tapi jazz-lah yang menemukan dirinya.

Pada dasarnya, Jazz secara historis merupakan representasi musik kaum budak dari ras keturunan kulit hitam di Amerika Serikat. Bila melihat ke arah sana, pada hemat saya, spirit Arsip Jazz Indonesia adalah spirit jazz itu sendiri. Mereka berupaya untuk merapikan kembali rangkaian sejarah jazz Indonesia ke dalam rak yang mudah dijangkau tangan, yang sekaligus menjauhkannya dari perbudakan dan keterasingan, serta menepis hikayat romantisme tentang jazz Indonesia yang belum tentu absah. Belum lagi perjuangannya untuk mendapatkan dokumentasi-dokumentasi penting hingga ke berbagai belahan dunia.

Dewasa ini, jazz Indonesia seperti di-anak-tiri-kan. Oleh kalangan muda Indonesia, jazz kerap kali dianggap sebagai musik yang mahal, yang hanya dipertontonkan untuk mereka yang harum, berkemeja atau berjas, berambut kelimis dan yang kulit pipinya agak kemerah-merahan seperti habis main golf. Untuk hari ini, anggapan tersebut boleh saja benar, tapi bisa juga salah. Kehadiran berbagai kelompok pemusik jazz pun belum terasa meringankan beban sosial atas anggapan tersebut. Oleh sebab itu, kemunculan Arsip Jazz Indonesia patut disambut sebagai kelahiran pusat ingatan, yang tentunya dapat memberikan peluang untuk kita melihat kembali serta melintasi sejarah perkembangan jazz di Indonesia. Dan saya berharap, suatu saat nanti akan diterbitkan ensiklopedia jazz di Indonesia oleh Arsip Jazz Indonesia. Karena pada hemat saya, upaya seperti itu akan menjadi salah satu langkah kecil buat menggugah rasa cinta kalangan muda terhadap jazz di Indonesia.

Kalangan muda Indonesia barangkali hanya tahu pemusik Jazz Indonesia dari Barry Likumahuwa atau mungkin ayahnya, Benny Likumahuwa. Kalau tidak, mungkin Indra Lesmana atau Glenn Fredly. Tentunya, fakta tersebut bukan sesuatu yang layak untuk dikutuk atau pun disesali. Karena pada kenyataannya, jazz di Indonesia memang tidak setenar genre musik lain. Tapi Arsip Jazz Indonesia berusaha untuk menyambungkan the missing link musik jazz Indonesia dengan memberikan penyegaran pemahaman sejak awal kemunculan Jazz di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan, memperhitungkan peranan kaum peranakan Tionghoa Indonesia dalam Jazz serta memperlihatkan cikal bakal jazz dalam orkes melayu di era Hindia-Belanda. Menarik sekali.

Pada SERUKU.07, Alfred sempat memutarkan beberapa lagu jazz Indonesia yang telah langka untuk ditemui saat ini. Mayoritas pendengar tampak penasaran, kebingungan, sekaligus bangga. Bahkan ia juga sempat memutarkan lagu Gambang Suling yang dibawakan oleh Tony Scott saat berkunjung ke Indonesia pada awal dekade 1960. Terdengar menggelitik. Selain itu, diperdengarkan pula karya Rob Pronk dan beberapa karya pemusik jazz lainnya. Hal tersebut tentunya dapat memperkaya khazanah pengetahuan kita bahwa jazz Indonesia tidak melulu Djanger Bali oleh Indonesia All Stars. Oleh sebab, masih banyak lagi pemusik jazz Indonesia (yang dulunya Hindia-Belanda) yang mesti diketahui oleh publik, seperti Harry Lim, Didi Pattirane, Tionghwa Jazz, Dick van der Capellen, Jass-band Orchest Soerabaia, Flimax Kwartet yang bahkan dianggap telah mempengaruhi perkembangan jazz di Eropa.

Hari ini, kita dapat melihat ragam publikasi dan pewartaan yang berisikan kumpulan konten langka oleh Arsip Jazz Indonesia dengan mengunjungi www.arsipjazzindonesia.org, sambil menantikan peluncuran buku yang dijanjikan oleh Afred dalam diskusi SERUKU.07 sore itu. Alfred dan kawan-kawan akan terus “menyelamatkan” jazz Indonesia dari laci ke laci. Dan apa-apa yang dilakukan oleh Arsip Jazz Indonesia adalah suatu sikap yang berakar pada ketakutan atas segala hal yang fana atau perubahan. Ketakutan yang berdampak positif, tentunya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Marcus Boon dalam bukunya Memuliakan Penyalinan (2013), bahwasanya pengarsipan atau pun penyalinan adalah kegiatan menguraikan dan upaya untuk mengoptimalkan potensi-potensi untuk berdamai dengan ketakutan.

Sebagaimana pengertiannya, kegiatan pengarsipan adalah upaya awal dari segala hal. Istilah arsip dalam bahasa Belanda disebut dengan “archief”, yang mana, kata tersebut berakar dari bahasa Yunani, “arche” yang berarti “permulaan”. Cepat atau lambat, spirit Arsip Jazz Indonesia akan menyulutkan semangat pemusik jazz di Indonesia dalam berkarya dan berkesenian, untuk lepas dari segala keterasingan dan masuk ke dalam peta jazz yang lebih presisi. Kerumitan jazz secara musikalitas dan anggapan atas segmentasi jazz (terhadap kelas sosial tertentu) akan coba dilenturkan oleh Arsip Jazz Indonesia melalui warta dan buku-bukunya. Dan sekali lagi, apa-apa yang dilakukan oleh Arsip Jazz Indonesia selama ini dan yang akan datang bisa kita lihat sebagai upaya untuk menempatkan jazz Indonesia di tempat yang sebaik-baiknya melalui pengarsipan, bahkan boleh jadi melampaui pengarsipan.

“Melampaui Pengarsipan” ditulis oleh

Ferri Ahrial 
Aktif memperhatikan dan menuliskan kolom seputar ruang kota di Kota Bandung dan mulai menyukai studi kebudayaan. Saat ini berkegiatan dan belajar sebagai pustakawan di S.14 Artspace & Library di Bandung.whiteboardjournal, logo