Melek Mata

Column
27.08.15

Melek Mata

Bagaimana Sajama Cut Merevitalisasi Strategi Pemasaran Musik.

by Ken Jenie

 

Apakah strategi pemasaran musik selalu dilakukan demi pencarian laba? Dan bila iya, apakah yang sekarang umum dilakukan oke oke saja? Jawaban pendeknya: Belum. Jawaban panjangnya, menurut Marcel Thee, vokalis dari band asal ibukota Sajama Cut: “Orang marketing yang menjual sesuatu dimana dia tidak memiliki keterikatan emosional adalah salah satu makhluk di muka bumi paling rendah menurut gue.”

Sedikit konteks: Pada 10 Juni silam, Sajama Cut merilis album terbarunya yang berjudul Hobgoblin dengan metode pemasaran yang bisa dibilang tidak konvensional—mengayomi ilustrator-ilustrator dan penulis puisi untuk sebuah proyek buku yang dirilis bersamaan dengan album dalam format bundle. Sebelumnya, dalam rangka pengumuman album, kesembilan huruf yang membentuk kata Hobgoblin dikeluarkan dengan ilustrasi beragam melalui media sosial Instagram. Anzi Matta, Eric Wirjanata, Robby Wahyudi Onggo, dan lainnya merupakan ilustrator yang diundang untuk ikut serta.

melekmata02
Bloodsport oleh Ebes Rasyid.

Strategi ini masuk akal bila Anda mendengar album ini: Tidak ada lagu di Hobgoblin yang berpotensi menjadi single, bahkan bagi jajaran musik independen. Mudah dengan sinis bilang kalau, layaknya grup musik dengan pekerjaan pada siang hari, Sajama Cut perlu makan juga; metode unik seperti ini dipastikan bisa menyuntik perhatian lebih bagi rilisan yang bersangkutan. Atau kalau mau lebih optimis, Sajama Cut menggunakan kesempatan yang terbuka lebar seperti ini karena alasan yang cukup sepele: Belum ada yang pernah.

Mengulas strategi pemasaran seperti ini membawa saya ke pertanyaan berikut: Apa iya laba yang dicari oleh Sajama Cut? Mengetahui status Sajama Cut sebagai veteran dari musik independen Indonesia di satu dekade terakhir (dan mengenal frontman Marcel Thee dibalik proyek-proyek musik yang salah-satunya adalah Roman Catholic Skulls—band drone yang menantang), saya penasaran, mengapa repot-repot?

“Promo album sebaiknya di approach sama dengan pembuatan karya seni: ‘Gimana nih yang seru buat kita?’,” ujar Marcel ketika saya mintai pendapat untuk artikel ini. Dengan mudah pendapat Marcel bisa disanggah dengan alasan yang hakiki: ya terserah band nya dong, kok ngatur. Tetapi ketika ‘terserah bandnya’ menjadi repetisi, dan repetisi menjadi ‘kebiasaan’ dan ‘kebiasaan’ mulai menggerogoti orisinalitas, disinilah saya setuju dengan poin Marcel. Saya tidak hendak menyetir pembicaraan ini kearah angka atau daging/kentangnya industri musik, tapi lebih ke motivasi dibaliknya.

melekmata04
Compassion oleh Mufty “Amenk” Priyanka.

Orisinalitas menjadi kata kunci dalam tulisan ini. Marcel juga menambahkan kalau salah satu alasan dibalik kampanye eksternal demikian tidak ada hubungannya dengan Hobgoblin; malah lebih ke Manimal, album Sajama Cut yang dirilis pada tahun 2010. Ketika kampanye Everybody Manimal yang secara gerilya dilakukan—dimana para pembeli diminta berfoto dengan CD yang baru mereka beli—menjadi blueprint tanpa izin bagi promosi band-band selanjutnya, disitulah Marcel berpendapat, “Padahal gak sulit untuk memeras kreativitas sedikit untuk membuat konsep orisinil.”

Strategi bagi Hobgoblin dari segi keunikannya bukanlah keajaiban bila dilihat dari lanskap global. Hilary Duff berusaha mengkompensasi absensinya dari dunia musik pop dengan bergabung di media sosial Tinder. Beyoncé merilis albumnya secara diam-diam dan memegang kunci dunia (atau setidaknya internet) selama berhari-hari. Ada banyak sekali milisi yang bisa digunakan A&R, label, produser dan bahkan artisnya sendiri untuk memasarkan musik dengan cara yang beragam, tapi seragam dari segi tujuan. Menurut saya, apa yang dengan apik dilakukan oleh Sajama Cut adalah menjadikan strategi pemasaran untuk mempromosikan sebuah karya seni dengan membuat karya seni lain.

melekmata03
The German Abstract Katherin Karnadi.

“Kita berdiskusi untuk visual seperti apa yang kita dapat realisasikan bersama. Marcel juga punya ide, lalu memancing saya kemudian…lalu saya finalisasi dengan membuat beberapa video dan akhirnya dijahit oleh editor. Saya dibantu oleh Rudy Satria (kamera) dan Syauqi Tuasikal (editor) dalam pengerjaan video ‘Fatamorgana’,” ujar Anggun Priambodo, sutradara film Rocket Rain yang juga menjadi salah satu kolaborator. Omong-omong, ada tiga orang di pernyataan di atas demi pembuatan satu karya. Dalam pembuatan video “Fatamorgana,” visi yang hendak diperlihatkan oleh Anggun sejalan dengan Marcel: Hubungan kedekatan antara Marcel dengan anak pertamanya Anio.

Dan tidak hanya Anggun. Ilustrator kolase Ebes Rasyid, misalnya, diajak untuk bergabung saat Marcel mewawancarainya untuk sebuah publikasi. Katanya, “Ada hal yang serupa dari karya saya dengan musik Sajama Cut: mengundang masuk!” Begitupun dengan Ken Jenie, vokalis dan gitaris dari band Jirapah, yang menyumbangkan bagian ke salah satu lagu di album ini. “Bukan masalah musik Sajama Cut pas dengan musik saya, tapi lebih ke apakah ide-ide saya pas dengan visi mereka,” ujarnya. Josh Rogers (videografer), Mufty “Amenk” Priyanka (ilustrator), Kendra Ahimsa (ilustrator) dan masih banyak lagi juga turut serta.

Jika nama-nama di atas, bila dicabut dari konteksnya, menyerupai rentetan personil band atau sebuah kolektif seniman, itu karena hal tersebut tidaklah mengherankan. Dua pilihan bisa dipersembahkan bagi pengamat atau khalayak yang peduli: 1. Apa ini cukup unik untuk balik modal? 2. Ataukah ini hanya sekedar pemuasan inspirasi yang memang pada dasarnya adalah tulang punggung dari sebuah karya seni?

melekmata05
Beheadings oleh Aditya Kuncoro.

Kalau saya belum cukup jelas menyatakan ini, maka akan saya ulang: Apakah kemudian laba dipinggirkan? Tentu tidak, tapi secara sengaja saya tulis sebagai sesuatu yang implisit. Pada dasarnya, bagaimana Sajama Cut merevitalisasi metode pemasaran musik adalah dengan menempatkan pencarian laba di kursi belakang, bukan di luar mobil. Bagi industri yang reaksioner seperti sekarang (karena keberadaan media sosial ataupun penyalur musik secara mudah seperti SoundCloud), maka tidak ada salahnya memutar ide untuk memasarkan sebuah album ketimbang hanya bayar, terima, pulang.

Untuk menutup, maka ada baiknya kalau kita mengakui kalau ada yang masih kurang pas dari strategi pemasaran musik yang sekedar puas menyerahkan nasib ke pragmatisme. Bagaimana dong harusnya? Di surel yang dilayangkan kepada saya, Josh Rogers selaku kolaborator menuliskan sesuatu yang seharusnya menjadi pengingat bagi seluruh pihak yang terlibat di pemasaran sebuah album di era internet seperti sekarang, “Saya merasa terhormat dan senang melakukannya.”


Fantamorgana oleh Anggun Priambodo.whiteboardjournal, logo