O.K. Video 2015

22.06.15

O.K. Video 2015

Melangkah Maju dari Orde Baru

by Ken Jenie

 

Dalam sebuah obrolan, Mahardika Yudha, kurator dari festival OK Video 2015 mengungkapkan sebuah poin yang cukup menarik, “Di pemilu kemarin kita bisa melihat bahwa posisi Negara sudah mulai tergeser. Dengan teknologi, masyarakat mengambil alih alur informasi. Publik tak lagi menjadi objek, melainkan menjadi subjek. Respon juga semakin cepat, hitungan menit peristiwa-tak peduli sesakral apapun itu, menjadi meme. Ini gila. Dan ini belum pernah terjadi sebelumnya”.

Entah, sadar atau tidak, sebenarnya Mahardika pun adalah bagian dari publik yang sedang memberikan batasan baru dalam konsep masyarakat modern tersebut. Bersama ruangrupa sebagai organisasi seni kontemporer yang selalu mengeksplor masalah-masalah dalam konteks urban dalam berbagai aktifitas keseniannya, baik itu pameran, festival, ataupun workshop, Mahardika ada dalam garda terdepan pergolakan konsep masyarakat modern itu sendiri. Dan kali ini, dengan dipilihnya tema orde baru pada festival OK Video 2015, ruangrupa telah mengambil posisi yang cukup sentral dalam pergerakan masyarakat tersebut.

okvideosmall01

Sejatinya, pemilihan “Orde Baru” sebagai tema besar di OK Video 2015 ini adalah pilihan yang rasional. Jika reformasi tidak pernah terjadi, maka bisa jadi tahun ini, Orde Baru akan memperingati kekuasaannya yang ke 50 tahun. Untungnya, pada tahun 1998 terjadi reformasi hingga adikaranya berhenti di usia 32. Tapi tetap saja, sisa-sisa otoritas era itu terus terasa hingga sekarang, hampir 18 tahun kemudian. Bukan hanya sisa masalah lama seperti hutang Negara, tetapi juga tentang mentalitas sekaligus cara berpikir yang sampai sekarang masih tertinggal di kepala. Belum lagi luka lama tak terselesaikan jejak-jejak represi pemerintahan otoriter Soeharto yang tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Terlalu banyak tilas yang membekas. Dengan demikian, mau tak mau, fakta bahwa kita adalah produk orde baru adalah hal yang harus diterima dengan lapang dada. Ok Video 2015 bisa dimaknai sebagai salah satu usaha untuk memaklumi fakta tersebut.

Dari 68 karya yang ditampilkan, bisa dilihat bahwa banyak seniman mencoba menafsirkan tema tersebut di atas dengan bermain-main menggunakan memori kolektif atas apa yang terjadi di era orde baru. Ada pula beberapa karya yang berusaha mengenang kejadian-kejadian yang memiliki hubungan dengan sang seniman secara personal. Tapi yang paling menarik adalah bahwa mayoritas karya yang ditampilkan sadar akan pentingnya memanipulasi memori-memori tersebut menjadi sebuah entitas baru daripada hanya untuk bernostalgia dengan fragmen-fragmen sejarah yang mereka tampilkan.

Dari sini, kemudian bisa pula dilihat bahwa “orde baru” sebagai tema pameran mampu menggiring seniman untuk melihat kembali esensi arsip dalam sebuah karya seni. Secara tidak langsung, dengan berpartisipasi dalam pameran ini, para seniman seolah dipaksa untuk melakukan riset sejarah dalam proses berkarya mereka. Jelas ini merupakan preseden yang cukup positif bagi iklim kesenian Indonesia yang masih sering menafikkan riset sebagai elemen utama di pameran seni pada umumnya.

okvideosmall02

Hasilnya bisa dilihat dengan ditampilkannya beberapa artefak sejarah di beberapa sudut gedung Galeri Nasional. Secara umum, OK Video membagi section pameran secara genealogis pada dua gedung. Pada gedung A ditampilkan karya seni yang memaknai orde baru sebagai relasi vertikal antara pemerintah dengan warga negaranya. Pada gedung C, karya-karya yang dipamerkan melihat orde baru sebagai konteks hubungan horizontal antara warga satu dengan warga lainnya. Kedua gedung menawarkan gambaran yang cukup menyeluruh tentang interpretasi seniman terhadap kata kunci utama dari orde baru sebagai tema.

Poin positif lain adalah bahwa meski OK Video 2015 mengangkat tema yang cukup politis, eksibisi ini tak lantas menjadi pameran yang berat untuk dicerna khalayak. Memang, ada cukup banyak karya yang mencoba untuk mengurai kasus-kasus lama dari era Soeharto, tapi karya-karya tersebut mampu menyampaikan pesan mereka masing-masing dalam tone yang tidak penuh amarah dan tidak menggurui. Romantisme yang juga muncul di beberapa karya pun juga tampil dalam kadar yang pas, tidak kurang sehingga publik bisa terhubung dengan pesan pada karya, namun juga tak berlebihan hingga membuat pameran menjadi ajang kangen-kangenan masa lalu.

okvideosmall03

Hasilnya bisa terlihat jelas pada antusiasme khalayak dalam mengapresiasi pameran. Khususnya dari kaum muda. Antusiasme terbesar justru datang dari mereka yang mungkin tak secara langsung mengalami 32 tahun masa pemerintahan Soeharto. Ini fakta yang cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Antusiasme ini juga konsisten terasa pada beberapa rangkaian acara dari festival ini. Beberapa simposium yang digelar sebagai bagian dari runtutan acara pameran berjalan dengan cukup ramai dan sukses. Indra Ameng yang menjadi pembicara di salah satu simposium mengungkapkan, “Simposium judi di sebelah penuh banget”, sebuah pernyataan yang cukup akurat untuk mendeskripsikan antusiasme publik terhadap konten pameran.

Perubahan konsep pameran menjadi media art festival (sebelumnya video festival) juga membuka pintu-pintu baru untuk seniman yang terpilih untuk mengeksplor karya masing-masing melalui pendekatan kesenian yang lebih luas. Banyak metode berkesenian baru yang diakomodir dengan pergeseran label pameran ini. Instalasi serta interaktivitas yang memang sedang cukup populer di dunia seni mendapatkan porsi khusus. Tak hanya itu, produk era 2.0 seperti meme, sampai video berekstensi .gif juga berada pada sorotan utama. Membuat pameran menjadi semakin menarik sekaligus terhubung secara langsung dengan apa yang terjadi di publik. Produk-produk teknologi, terutamanya teknologi media diakomodir dan menjadi garis merah dalam festival ini.

okvideosmall04

Namun di saat yang sama, teknologi juga menjadi ganjalan tersendiri bagi OK Video 2015. Dengan semakin masifnya karya yang mengadaptasi teknologi sebagai medium, diperlukan perhatian yang lebih dari penyelenggara. Memang, teknologi memberikan opsi-opsi baru bagi seniman untuk berkarya, tapi di sisi lain, teknologi pula memberi limitasi bagi sebuah karya seni. Limitasi dalam hal ini adalah bagaimana karya seni yang mengadaptasi teknologi memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu. Power supply dan sistem operasi adalah contoh limitasi dari teknologi itu.

Di minggu pertama pameran, terasa bahwa penyelenggara cukup kesulitan untuk menghadapi masalah-masalah yang berkenaan dengan dua hal tersebut. Cukup disayangkan untuk melihat beberapa karya tak bisa ditampilkan dengan sempurna karena masalah-masalah seperti komputer yang crash, televisi yang tidak menyala, atau bahkan ipad yang mati. Walaupun hal-hal tersebut masih berada pada level yang bisa dimaklumi, nyatanya cukup mengganggu juga untuk mengalami gangguan tersebut di level pameran seperti OK Video ini.

Yang jelas, ke depan akan sangat menarik untuk melihat bagaimana publik akan bereaksi terhadap pameran yang cukup berani dalam memilih konten, sekaligus cukup maju dalam hal konteks ini. Dan juga, dengan diangkatnya tema sosio-politikal untuk OK Video 2015 ini, kolektif ruangrupa bisa mengambil momen ini sebagai turning point bagi mereka untuk memetakan langkah mereka ke depan, apakah sekiranya masih relevan untuk mengangkat masalah sosial, ataukah sudah saatnya untuk berfokus pada konten-konten domestik seni rupa, setidaknya untuk gelaran OK Video berikutnya yang akan diadakan pada tahun 2017 mendatang.

okvideosmall05

OK Video – Orde Baru
14-28 Juni 2015
Galeri Nasional Indonesia
Jalan Medan Merdeka Timur No.14
Gambir, Jakarta Pusat 10110whiteboardjournal, logo