Seleksi Karya: Tsai Ming-liang

04.07.16

Seleksi Karya: Tsai Ming-liang

8 Film Pilihan.

by Febrina Anindita

 

Vive L’Amour (1994)
Jarang rasanya menemukan film dengan minim dialog namun memberikan impresi kuat. Tsai Ming-liang bisa dijadikan panutan untuk hal tersebut. Sutradara jenius ini membuat film keduanya, Vive L’Amour, dengan memainkan kontradiktif itu. Cinta di film ini ditunjukkan dengan sangat pedih dan membingungkan. Film ini digambarkan dengan setting di Taipei tentang 3 individu yang secara tidak sadar berbagi apartmen. Ada banyak hasrat tersurat di film ini, lengkap dengan adegan vulgar namun disturbing yang membuat Ming-liang terkenal. Namun cinta atau asmara yang tertera di judul film hadir dengan rasa yang tak terdeskripsikan. Tonton video di atas untuk tahu seperti apa rasanya jatuh cinta dalam arti literal.

The Hole (1998)
Menciptakan film yang menghibur di tahun 1998 yang lekat dengan masa depresif, merupakan tekanan tersendiri. Pada tahun tersebut, Ming-liang membuat The Hole yang lengkap dengan beberapa bagian musikal serta dengan konsep sinema yang lain dari biasanya. Lagi-lagi hadir memotret sudut Taiwan, ada elemen air yang menjadi penanda akan kondisi emosional sang tokoh utama. Semakin banyak air yang mucul dalam film Ming-liang, semakin tertekan nuansa yang terekam dalam filmnya.

The Wayward Cloud (2005)
Ini adalah film pertama yang akan dengan mudah membuat jatuh hati dengan karya Tsai Ming-liang. Kali ini air sebagai simbol diasosiasikan dengan buah semangka yang di Taiwan dikenal sebagai buah yang mendinginkan namun di saat yang bersamaan juga merupakan buah pembangkit gairah seksual. Tak perlu waktu lama untuk menemukan erotisme yang mengganggu di film ini. Sequence dengan sound design secara luar biasa melengkapi gambar tanpa dialog antara tokoh utama yang menghasilkan rasa tersendiri bagi penonton. Lagi-lagi Ming-liang membuat absurditas terlihat begitu ironis namun menarik untuk disimak.

What Time Is It There? (2001)
Butuh waktu khusus dan usaha lebih untuk menonton film ini. Ada romantisme yang menyedihkan terpaut konsep waktu dan manusia dalam “What Time Is It There?” Alih-alih menghadirkan sebuah cerita mendayu-dayu lengkap dengan dialog klise, Ming-liang memberikan alternatif teks berupa kemungkinan akan apa yang terjadi jika kita jatuh cinta secara platonis. Ketika sang tokoh utama bertemu dengan sosok perempuan yang membuatnya jatuh hati, ia mendapat kabar bahwa perempuan itu akan beranjak ke Paris esok hari. Sontak ia mengubah semua jam di Taipei yang ia temui mengikuti waktu di Paris. Sebuah cerita cinta yang tak kenal waktu.

Stray Dogs (2013)
Roger Ebert memberikan 3,5 dari 4 bintang untuk film ini. Sebuah alasan kuat untuk melirik film yang membuat kritikus film tersebut berani menilai begitu tinggi. Ada potongan yang membuat penonton jeri karena Ming-liang berhasil menangkap emosi tanpa perlu menatanya dengan gestur berlebihan atau dialog tak berarti. Penonton diajak untuk melihat sang ayah; yang digambarkan tak dapat membahagiakan keluarganya, putus asa dan hilang arah. Kengerian yang tercipta begitu sederhana sehingga dalam hitungan detik, penonton dapat merasakan kegagalan yang mungkin, suatu saat, bisa terjadi.

I Don’t Want To Sleep Alone (2006)
Berfokus pada kemiskinan, pertemanan serta segala hal di antaranya, film ini membawa ruang urban ke sisi terekspos secara biner. Diskoneksi yang selalu terpapar di filmnya merupakan pengalaman Ming-liang sebagai lelaki gay di masyarakat Taipei yang terstruktur telah membuat pergolakan rasa dalam cerita menjadi sangat kuat. Di film ini, kita bisa menemukan nuansa ketergantungan yang selama ini dikesampingkan baik dalam realita maupun fiksi. Ini adalah sebuah manifestasi akan misteri kehidupan yang tertangkap oleh lensa kamera menjadi refleksi mendalam bagi penontonnya.

No No Sleep (2015)
Bahwasanya kematian dekat rasanya dengan sensualitas merupakah hal yang lumrah, kali ini Tsai Ming-liang mencoba merekam tensi dalam kedamaian. Tersebar trailer berisi dua orang lelaki berendam air panas tanpa berucap kata saja telah membuat jengah penonton yang melihatnya. Walau hanya dibuat sepanjang 34 menit, film pendek ini menjadi tolak ukur bahwa tangan dingin dan kejelian Ming-liang dalam mengolah rasa secara presisi masih tidak diragukan oleh para pencinta film arthouse.


Rebels of the Neon God (1992)
Ini adalah debut film Tsai Ming-liang yang membawanya ke blantika perfilman, pun pertemuan pertamanya dengan Lee Kang-sheng yang selalu terlihat di filmnya sebagai tokoh utama. Bayangkan situasi keseharian yang dialami orang-orang pinggir kota lengkap dengan kesederhanaan yang menyentuh ranah tabu tanpa takut anggapan orang lain. Di film ini Ming-liang memberikan gambaran mentah akan apa yang didapat di Taipei pada masa itu. Warna yang kekuningan semakin memperkuat cerita aneh yang biasanya tak tertangkap kamera, seperti gerak gerik natural yang hanya bisa disaksikan langsung oleh orang yang mengalaminya. Sebuah kacamata menyegarkan untuk penonton yang ingin lari sejenak dari gaya film Hollywood.whiteboardjournal, logo

Tags