“Aruna dan Lidahnya”, Sajian Film yang Nyata dan Dekat dengan Keseharian

Film
21.09.18

“Aruna dan Lidahnya”, Sajian Film yang Nyata dan Dekat dengan Keseharian

Sebuah sajian film yang relatable bagi penonton di Indonesia.

by Febrina Anindita

 

Foto: Palari Films

Ketika seseorang ingin menonton film, biasanya aksi tersebut muncul atas alasan tertentu, misalnya karena ingin menghibur diri sejenak dari penatnya rutinitas atau justru mencari realita alternatif yang bisa memuaskan imajinasi. Terlepas subjektivitas yang ada dari tiap diri penonton, sesungguhnya perasaan puas atau senang adalah hal yang dicari setelah menonton film – baik itu senang menonton film horror atau puas melihat film action. Tapi kemudian timbul pertanyaan, apakah film-film lokal sudah bisa menjawab hasrat penonton dengan memberi pilihan film-film feel-good?

Berdasarkan hal tersebut, Palari Films selaku rumah produksi lokal pun berupaya menawarkan sajian film yang relatable bagi penonton lewat adaptasi novel Laksmi Pamuntjak, “Aruna dan Lidahnya”. Kembali mengajak Edwin selaku sutradara, film ini turut menjadi warna segar dalam filmografinya. Jika sebelumnya pada “Posesif”, ia mengaduk emosi penonton dengan isu antara sepasang manusia, di film kali ini, ia mengajak penonton untuk ikut wisata kuliner dari Surabaya hingga Pontianak dan melihat makanan sebagai medium yang mampu mendeskripsikan suasana hati.

Kekuatan film ini tak hanya datang dari arahan sutradara tapi juga sang penulis naskah yakni Titien Wattimena yang mampu merangkum novel menjadi tontonan padat dengan fragmen seamless. Berisi obrolan keseharian, curahan hati serta perasaan gundah gulana seseorang yang tak bisa memisahkan urusan kerja dan personal, film ini sukses membangun relasi dengan penontonnya lewat potret sosok yang realistis – sebuah hal yang jarang ada dalam film-film, baik di Indonesia maupun secara global.

Di lain sisi, para aktor Dian Sastrowardoyo (Aruna), Nicholas Saputra (Bono), Hannah Al Rashid (Nad) dan Oka Antara (Farish) yang tampil natural dalam menggambarkan karakternya pada tiap situasi, membuat penonton seakan ikut hadir di antara mereka, ikut mencicipi makanan baru di pasar maupun pinggir jalan. Banyaknya cameo pun turut mewarnai film ini menjadi lebih menyenangkan untuk ditonton, terutama penampilan Anggun Priambodo yang mampu mencuri perhatian walau hanya sejenak. Tak berhenti di situ, elemen musik dalam film ini kembali tampil tepat jitu dalam menekankan tiap scene dan emosi. Sejak awal film, penonton bukan hanya dimanjakan dengan visual makanan menggugah selera, tapi juga musik yang memanjakan telinga, beberapa di antaranya adalah lagu dari January Christy, Mondo Gascaro hingga Monita Tahalea yang menyanyikan ulang lagu Rida Sita Dewi, “Antara Kita”.

Memang, ketika memasuki pintu teater, penonton selalu datang dengan ekspektasi sehingga seringkali melupakan bahwa sesungguhnya yang mereka cari adalah perasaan senang (feel good), rehat sejenak, melupakan waktu dan menikmati sajian apapun yang ada di layar. Kami pun salah satu yang datang dengan ekspektasi. Namun setelah film usai, teringat bahwa sudah lama sekali publik tidak diberikan tontonan menyenangkan seperti potongan kehidupan sehari-hari bersama teman. Menonton “Aruna dan Lidahnya” serasa mengingat kembali janji sarapan bakmi dengan teman di Glodok atau justru membuat siapapun ingin segera mengajak sahabat ke Surabaya untuk mencari rawon ternikmat sembari membahas keluh kesah kantor atau percintaan. Nyata dan dekat dengan siapapun.whiteboardjournal, logo