Esensi Desain bersama Hanny Kardinata

01.07.15

Esensi Desain bersama Hanny Kardinata

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan desainer Hanny Kardinata (HK)

by Ken Jenie

 

H

Apa yang membuat Bapak tertarik dengan dunia desain?

HK

Awalnya tak lepas dari kegemaran saya menggambar sejak kecil. Sesudahnya, mengalir begitu saja. Dan ketika corak gambar saya perlahan-lahan bergeser dari lukis ke ilustrasi—ini terjadi ketika saya di sekolah menengah—maka seusai SMA saya pun memutuskan untuk melanjutkan studi saya ke jurusan desain grafis (waktu itu disebut Seni Reklame) di STSRI ‘Asri’ (sekarang ISI), Yogyakarta.

H

Setelah menjadi salah satu senior di dunia desain grafis Indonesia, apakah alasan tersebut tadi masih relevan?

HK

Walau ketika itu sistem pendidikan desain grafis di STSRI ‘Asri’ masih dalam “transisi”, dimana kurikulum desain masih bertumpang tindih dengan kurikulum seni [ada mata kuliah Sejarah Seni Rupa, Kritik Seni, Filsafat Seni, dsb.], ketertarikan saya pada sisi komunikasi dari desain grafis semakin besar saja. Juga setelah berkarya di Jakarta. Tapi tetap saja saya selalu mencoba mengelaborasinya ke gaya-gaya seni yang ada. Dan sekarang setelah “pensiun” dari industri [pensiun dini karena “dipaksa” oleh kondisi fisik saya], ketertarikan saya pada desain malah melebar ke area-area yang bersinggungan dengannya, yang barangkali telah membuat pandangan (view) saya jadi lebih holistik.

H

Sebagai salah satu angkatan awal di bidang desain grafis di Indonesia, bagaimana perebedaan antara era itu sampai era sekarang?

HK

Sekarang ini kan eranya Fast Design. Kita hidup di dunia yang sangat materialistik, ukuran sukses adalah dalam segi materi, yang mesti diraih dengan cepat, serba instan. Kalau tidak akan “ketinggalan”, atau ditinggalkan. Akibatnya ada langkah-langkah atau proses (tahapan) yang dikorbankan, paralel dengan kejadian ketika Fast Food sukses menghegemoni kuliner lokal.

Bahkan menggagas konsep desain pun kini dilakukan langsung di komputer, yang sebetulnya fungsinya adalah untuk mengeksekusi suatu konsep! Dulu, gagasan dituangkan dalam bentuk sketsa-sketsa di atas kertas, dan guna memperoleh hasil eksplorasi terbaik tidak jarang menghabiskan kertas hingga puluhan lembar.

Tetapi, sebagaimana dengan segala hal yang terjadi di dunia ini, dalam desain pun mulai timbul gerakan yang pola dasarnya menuju ke arah sebaliknya. Gejala munculnya gerakan Slow Design ini sudah bisa dilihat akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia. Pola yang sama pernah terjadi sebelumnya, dan berulang terus, sejak Revolusi Industri pada akhir abad ke-19. Ketika ancaman mesin semakin meresahkan, kerja kekriyaan dan sentuhan yang sifatnya personal pun dirindukan kembali.

H

Apakah Anda melihat kondisi sosial politik sebuah Negara berdampak pada perkembangan gaya desain?

HK

Tentu saja.

Pada masa Perang Dunia I (1914–1918) banyak negara mengemukakan pembenaran terhadap keterlibatannya melalui media poster, bahwa tujuan mereka ‘ikut berperang adalah untuk mengakhiri perang’. Poster menjadi media propaganda guna menggalang dukungan publik. Sejak itu, desain grafis memperoleh peran barunya (selain sebagai alat promosi), yaitu sebagai media propaganda.

Di Rusia misalnya, tradisi seni grafisnya, Lubok, dibangkitkan kembali dan diadaptasi, dijadikan alat propaganda. Telegram yang diterima hari itu, dari pasukan Garda Merah yang bertempur di garis depan, diubah menjadi poster dengan ilustrasi komik naratif. Dengan cara demikian, publik diharapkan bisa memahami pesannya dengan mudah, bahkan bagi yang tidak bisa membaca sekali pun.

Pada era Bolshevik (1917–1921), gagasan ‘seni untuk seni’ dikecam, dan seniman yang menolak untuk mematuhinya dihukum berat. Maka berkembanglah pergerakan Konstruktivisme. Kaum Konstruktivis meyakini bahwa seni murni tidak memiliki tujuan dalam masyarakat, bahwa praktik-praktik seni seharusnya mengabdi pada tujuantujuan sosial. Dalam upaya menyebarkan ideologi sosialisme, kaum Konstruktivis Rusia mengadopsi prinsip-prinsip Kubisme (juga Futurisme). Mereka memakai desain grafis sebagai alat propaganda yang masif untuk mendukung perjuangan kaum Bolshevik.

Lalu ketika Stalin memegang kendali kekuasaan pada 1930-an, gaya Konstruktivisme mulai dikecam sebagai tidak realistis, terlalu sulit untuk dipahami, atau terlalu individualistis. Program propaganda partai dianggap tidak cocok dengan citarasa estetik seniman Konstruktivis yang elitis. Desainer Konstruktivis mengalami kesulitan besar, hanya Realisme Sosialis yang diperbolehkan. Wajah-wajah bahagia dan sehat kaum muda-mudi, buruh, petani dan tentara ditetapkan sebagai subjek utama (subject matter) poster; serta, tentu saja, wajah Stalin tersenyum ramah.

Dengan versi berbeda, dampak serupa bisa ditelusuri di mana saja, terutama pada masa revolusi, di Amerika, atau di Indonesia sendiri.

H

Anda menggagas ’Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit’ yang kemudian disebut sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis Indonesia, apa visinya saat itu?

HK

Ketika menggagas pameran itu, kami berada dalam kondisi di mana kehadiran profesi perancang grafis tak begitu disadari oleh masyarakat, walau hasil karya desain merupakan benda sehari-hari yang banyak dijumpai di sekitarnya, seperti uang, kartu kredit, perangko, tiket, koran, brosur, logo. Keinginan memperkenalkan profesi ini menjadi fokus pameran ini. Karena itu apa yang dipamerkan bukan hanya meliputi karya jadi tapi juga proses terjadinya. Dari sketsa hingga pra-cetak. Ada unsur edukasinya. Dan ada juga keinginan agar desain grafis dipandang sebagai seni, atau sejajar dengan seni lainnya. Itu sebabnya kami memilih mengadakannya di sebuah pusat kebudayaan.

H

Bagaimana Anda melihat esensi pameran bagi seorang desainer?

HK

Berbeda dengan karya seni, karya desain grafis tidak mencantumkan nama perancangnya. Berpameran menjadi salah satu opsi untuk memperkenalkan siapa orang yang berada di balik sebuah karya. Serta membuka dan membangun koneksi dengan publik. Melalui kontaknya dengan publik, desainer akan memperoleh masukanmasukan. Bagi seorang desainer grafis, berpameran seharusnya bahkan lebih penting daripada bagi seniman. Aktivitas berpameran bisa mendorong desainer grafis mengelaborasi karya-karya yang bukan pesanan, menginisasi proyek-proyek personalnya. Berkesempatan mencipta karya-karya eksperimental, yang esensial guna lebih mengenal kemampuannya, yang pada akhirnya akan membantunya untuk lebih mengenal dirinya.

H

Bagaimana Anda melihat profesi desainer grafis di era sekarang?

HK

Sebagai agen perubahan. Desainer grafis bisa berperan lebih daripada sekadar membantu menjual produk-produk industri, atau berkarya bagi kepentingan komersial semata. Desainer profesional memiliki kemampuan untuk membantu organisasi-organisasi atau masyarakatnya mengatasi masalah-masalah sosial dan lingkungannya. Menghadapi terjangan ekonomi global yang dikendalikan sepenuhnya oleh perilaku konsumsi, atau merespons terjadinya perubahan iklim dunia, desainer grafis bisa berperanserta dalam mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat.

H

Dalam sebuah artikel disebutkan bahwa salah satu misi ketika Anda mendirikan DGI adalah untuk archiving, menurut Anda apa yang bisa dilakukan para desainer untuk memahami pentingnya archiving?

HK

Memulainya dengan mengoleksi benda-benda sederhana, seperti bungkus rokok, kemasan korek api, label makanan ringan, tiket moda-moda transportasi, poster pertunjukan, poster pemilu, perangko, dsb. Lalu membuat kajiannya, misalnya mengenai tren tipografi atau tren gaya visual pada masanya. Lebih menarik lagi kalau bisa mengaitkannya dengan pergerakan-pergerakan seni di dunia, budaya-budaya, atau peradaban yang memengaruhi [atau mungkin dipengaruhi]nya. Dan akan lebih baik kalau tidak dilakukan sendirian, melainkan secara kolaboratif. Dengan membentuk kelompok studi bersama, sebagai wahana untuk saling berinteraksi atau bertukar pikiran. Kelompok yang sebisanya melibatkan interdisiplin, ada yang berlatarbelakang seni, sejarah, sosiologi, filsafat, dsb. Saya kira temanteman saya di DGI akan senang bila ada yang mau mengajak mereka berkolaborasi. Hasil penelitiannya pun bisa disumbangkan bagi perkembangan keilmuan, misalnya dengan mempublikasikannya di Situs DGI. Atau menerbitkannya dalam bentuk buku.

H

Anda pernah mengalami kejadian yang berhubungan dengan orisinalitas pada lomba poster 1987, bagaimana Anda melihat isu ini pada era sekarang dimana ada term “sudah tak ada lagi yang orisinal”?

HK

Isu tahun 1987 adalah contoh yang ekstrim, masalahnya sebenarnya bukan sekadar pengaruh-memengaruhi tapi telah terjadi tindakan pengambilalihan secara mentah-mentah. Dalam era yang serba terbuka seperti sekarang ini, pengaruh dari mana saja tidak bisa dicegah. Atau anda harus menyimpan semua buku koleksi anda di lemari, dan menguncinya. Atau berhenti sama sekali menjelajahi internet, dan tidak melakukan perjalanan ke mana saja. Tetap saja, di bawah sadar, apa yang telah anda lihat di masa lampau tidak mungkin dihapus. Jadi, memang tidak ada yang betul-betul orisinal.

H

Apakah Anda memiliki kritik terhadap pendidikan desain grafis di Indonesia?

HK

Saya belum pernah mengajar, juga sudah lama “dipaksa” pensiun dari industri, saya kurang mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan desain grafis saat ini. Tapi alangkah baiknya bila pendidikan DKV diarahkan pada mengembalikan desain grafis pada aspek-aspek humanisnya, bukan hanya pada sisi komersialnya saja. Seperti untuk mengabdi kepada tugas-tugas pendidikan dan pelayanan publik, yang semata-mata demi pengembangan masyarakat yang lebih baik. Jadi lebih sebagai media informasi, daripada sebagai alat persuasi.

Sekadar saran saja, untuk juga tidak “melupakan” ketrampilan tangan (kerja manual), yang lebih manusiawi; sementara komputer diperlakukan sebagai alat bantu guna mengeksekusi saja. Kembali menghargai proses dalam berkarya.

H

Apakah Anda melihat ada karakter khusus dari desain grafis Indonesia?

HK

Masih dalam pencarian. Tapi semakin banyak saja yang menyadari kebutuhan memiliki identitas khas Indonesia ini. Pilihannya selalu ada dua: keindonesiaan itu akan datang dengan sendirinya, atau harus dicari. Studio Decenta (Design Center Association) yang didirikan oleh A.D. Pirous dkk. pada 1973 percaya dan meyakini pilihan yang kedua. Demikian juga dengan studio saya, Citra Indonesia yang saya dirikan bersama alm. Tjahjono Abdi, Soedarmadji J.H. Damais, dll. pada 1980. Dan yang sekarang dilakukan secara intens oleh studio grafisnya Hermawan Tanzil, LeBoYe.

H

Bagaimana proses Anda dalam menemukan teknik “dry brush” yang menjadi salah satu signature karya Anda?

HK

Sekitar 1972, saya sedang makan pagi di kamar kos di Yogyakarta. Saya mengambil sebuah kuas yang catnya sudah agak kering yang kebetulan berada di atas meja, mencoretkannya pada kertas koran yang membalut meja, dan terpesona dengan efek yang terjadi. Saya lupa melanjutkan makan pagi saya, karena terdorong untuk melanjutkan temuan itu pada kertas-kertas bertekstur lainnya yang ada di kamar saya. Saya pun terbenam dalam pencarian kemungkinan-kemungkinan artistiknya. Setelahnya, saya mencoba mengaplikasikannya ke berbagai gaya seni: realis, surealis, kubistis, dsb. Dan membahagiakan sekali ketika mengetahui bahwa pengaplikasiannya pada semua gaya ternyata dimungkinkan, walau kemudian terasa paling pas pada gaya Art Deco [yang geometris, kubistis, repetitif, serta menampilkan gradasi warna yang kontras itu], atau pada gaya gambar bercorak dekoratif.

H

Apa proyek mendatang?

HK

Ada beberapa buku sedang saya siapkan. Yang direncanakan terbit dalam waktu dekat ini adalah yang berjudul Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (DGIDPDGD) Edisi I. Ini merupakan kompilasi dari catatan dan arsip saya selama ini mengenai perjalanan desain grafis Indonesia, disajikan beriringan dengan perjalanan desain grafis dunia. Tujuannya, agar pembacanya bisa menyimak apa yang terjadi di dalam negeri dan di belahan dunia lainnya pada periode yang sama. Mudah-mudahan tulisan yang bersifat introduksi ini kelak akan merangsang terjadinya penelitianpenelitian yang lebih mendalam mengenai subjek-subjek yang ada di dalam buku ini. Seorang peneliti misalnya, sudah bersedia menuangkan hasil penelitiannya mengenai jejak pendudukan Jepang dalam desain grafis di Indonesia pada periode 1942–1945. Tulisannya akan diterbitkan sebagai perpanjangan dari buku DGIDPDGD. Mudah-mudahan inisiatif sedemikian ini akan berlanjut dengan topiktopik lainnya yang dilakukan oleh para peneliti kita lainnya. Dengan cara keroyokan sedemikian, saya yakin perlahan-lahan sejarah desain grafis Indonesia yang komprehensif bisa tuntas dituliskan. whiteboardjournal, logo