Progresi Musik Bersama Cholil Mahmud

12.08.15

Progresi Musik Bersama Cholil Mahmud

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan musisi Cholil Mahmud (C).

by Muhammad Hilmi

 

M

Bagaimana momen perkenalan Cholil dengan musik?

C

Sebenarnya saya juga tidak mengetahui asal muasal pastinya. Keluarga saya memang penggemar musik, tapi tidak ada diantaranya yang merupakan pemain musik. Kenapa saya suka memain musik, menurut salah satu om saya, kemungkinan saya suka bermain musik adalah karena kakek saya ternyata adalah pemain biola di Banjarnegara, Jawa. Kakak-kakak saya punya gitar, tipikal anak tongkrongan, tetapi mereka bukan pemain musik, cuma sebatas penggemar musik. Mereka menggemari musik jazz, progressive rock, dan berbagai lagu Indonesia jaman dulu.

Menurut cerita kakak saya, saat saya rewel ketika kecil, jika disetelin musik langsung adem dan tidur – cukup lumayan gampang ditenangkan. Sedari kecil, saya cukup bisa menghafalkan lagu. Ketika era sekolah, sepulang ke rumah saya sering mendengarkan kaset-kaset kakak saya yang berisi jazz, progressive rock, dan musik Indonesia seperti Fariz RM dan Chrisye. Karena saya lebih muda, saya pulang sekolah lebih cepat daripada kakak-kakak saya, dan momen antara siang sampai sore adalah waktu bagi saya untuk mendengarkan kaset-kaset mereka. Di tahun 90an, kakak saya sudah mulai tidak beli kaset lagi, sejak saat itu, saya mencari musik sendiri.

Saya belajar main gitar kelas 5-6 SD, dan mulai ngeband dari SMP kelas 2, dari saat itu saya mulai manggung.

M

Musik seperti apa yang dimainkan ketika itu?

C

Metallica, Anthrax, Helloween, sampai Skid Row. Waktu SMA, sempat bikin band lagi. Semasa kuliah, saya tidak terlalu banyak nongkrong bareng sama teman kampus, saya lebih sering bermain dengan teman-teman SMA karena ingin melanjutkan band SMA tadi. Dulu band itu menjadi perwakilan SMA, yang mempermudah kesempatan manggung dan main di kompetisi ketimbang band-band yang tidak memakai nama SMA-nya. Pas keluar dari SMA, baru nih merasakan dunia band yang sebenarnya. Kami juga bikin lagu, ngajuin demo ke label-label gede. Waktu itu, nyaris kami direkrut oleh Sony – kalau nggak salah, waktu itu Sony baru buka cabang di Indonesia.

Tak lama setelah itu, Indonesia krismon di tahun 1998. Yang akhirnya berdampak pada kegagalan band kami tadi untuk direkrut oleh Sony. Bandnya mulai tidak serius, dan personilnya mulai membuat proyek sendiri-sendiri. Di saat itu, saya mulai bikin-bikin lagu dengan Adrian. Saya kenal dengan Adrian sedari SMA, tapi waktu kita sekolah kita tidak ngeband bareng. Saya dan Adrian mulai membuat lagu dan demo, mulai tahun 1999. Tahun 2001 kami ketemu Akbar, Hendra dan Sita. Kami main berlima, saat itu, band kita namanya belum jelas. Musik yang kita mainkan berlima sudah mulai seperti Efek Rumah Kaca.

M

Waktu mau direkrut oleh Sony, musiknya seperti apa?

C

Kita ikut festival-festival dan sering menang kompetisi. Kita main lagu kita sendiri, juga mainin musik progressive rock seperti Dream Theater era awal; sebelum mereka terlalu metal; selain itu juga musik grunge seperti Smashing Pumpkins, Soundgarden, dan Pearl Jam. Saat kita mau dirilis Sony, gampangnya musik kita seperti Smashing Pumpkins dengan lirik Bahasa Indonesia. Saat itu, bukan saya yang menulis lirik, gitaris kita, Tamar yang menulis liriknya. Saya lumayan banyak terpengaruh oleh gitaris ini dalam penulisan lirik. Dulu saya tidak pernah membuat lirik, dan mungkin saya berusaha menghentikan ketergantungan kepada Tamar dengan mulai menulis lirik sendiri.

M

Seperti apa lirik yang pertama ditulis oleh Cholil?

C

Saya sendiri lupa. Pertama kali saya membuat lagu itu tahun 1991, sewaktu saya SMA, dan judul lagunya Ngepot. Jaman itu orang-orang lagi suka bolak balik bahasa, “ngepot” dibalik menjadi “topeng”. Jadi ada dua makna, dan liriknya seputar itu. Saya tidak ingat lirik persisnya seperti apa.

M

Dengan basis musik progressive rock, mulai dari mendengarkan musiknya saat kecil sampai nge-band di SMA. Apakah ini kemudian yang mendasari eksplorasi musik Efek Rumah Kaca?

C

Bisa dibilang begitu. Di tahun 1999, bahkan sampai 2005 saya masih sering ke rumah Adrian dan kami berbincang banyak mengenai lagu. Kecintaan sama progressive rocknya masih ada, tapi kami tidak bisa membuat lagu seperti mereka. Dalam artian, kami tidak mau membuat lagu yang susah didengar. Entah kenapa begitu, mungkin karena kami sendiri senang mendengarkan lagu yang tidak susah, tapi ternyata pas dimainin tidak se-simpel itu. Jadi ada banyak progresi chord yang menurut kita kelihatannya tidak susah, padahal susah, dan tidak mengganggu saat di dengarkan. Jadi ada tantangan di saat kita mencoba memainkannya. Ini yang sangat kami idamkan. Dulu kami tidak bisa membuat lagu seperti itu karena kami tidak punya kemampuan untuk meramu musik seperti itu. Kami tidak se-advanced itu.

Kadang-kadang kami iri dengan band yang punya part musik instrumental yang enak. Kok kami tidak seberani itu ya? Akhirnya kami mencobanya di album ketiga. Kami mulai mencoba membuat musik seperti itu, tapi saya tidak tahu apakah kami berhasil atau tidak dalam prakteknya nanti. Kami ingin musik kita tetap enteng, tidak berat, tetapi lebih lama di durasi. Tantangannya adalah bagaimana membuat orang tetap mau mendengarkan lamanya durasi ini.

M

Jadi setelah di album pertama dan kedua yang lebih straightforward dan bereksplorasi di lirik, di album ketiga ini fokusnya lebih ke eksplorasi komposisi musiknya sendiri?

C

Kayaknya seperti itu. Lagu-lagu di album ketiga panjang-panjang karena kita menggabung part-part dari berbagai lagu-lagu pendek. Tantangannya bagi kami adalah bagaimana untuk menjahit potongan lagu-lagu yang terpisah, juga untuk menjembatani antara musik-musik yang sejenis dan tidak sejenis. Proses membuat albumnya juga berbeda. Waktu rekaman album pertama dan kedua, saat kami ke studio rekaman, kami sudah punya bentuk pasti lagunya. Sekarang, kami membuat part lagunya di rumah dan tidak sempat dicoba di studio latihan karena berbagai macam hal. Akhirnya kami membuat lagunya di studio rekaman. Sayangnya kami tidak punya deadline, jadi proses rekamannya molor. Waktu itu, melihat tidak adanya deadline adalah suatu hal yang bagus – jadi kami bisa membuat musiknya sampai kami puas. Belakangan ini, saya pikir ketidakadaan deadline justru bikin rekaman molor, dan tidak berpengaruh kepada bagus atau tidak karya kita. Mungkin idealnya, kami membuat deadline yang tidak terlalu rigid.

Jadi memang di album ketiga nantinya, cara kita membuat lagunya beda banget dari yang sebelum-sebelumnya. Kami membuat lagunya di studio, dimana komposisi lagunya bisa berubah di saat rekaman.

M

Mengenai lirik. Menurut Cholil, apakah lirik itu musikal atau tidak? Dan bagaimana penerapannya dalam konsep musik yang bisa diterima tetapi kompleks dalam permainannya?

C

Teknik kami dalam composing lagu adalah selalu mengerjakan nadanya, lalu, liriknya belakangan. Kami menggunakan metode ini karena lebih susah bagi kami untuk merubah nada yang sudah enak. Dan, menurut kami, lirik cenderung lebih mudah untuk dimodifikasi. Kalau misalnya lirik lagunya sudah enak, tapi lagunya nggak enak, lirik masih bisa banget untuk dirubah. Kami mendahulukan lagu karena lebih banyak cara untuk membuat lirik yang bagus. Perbandingan probabilitas penciptaan lirik yang bagus lebih banyak ketimbang penciptaan lagu yang enak, membuat kita akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan lagu dulu. Saya tidak ingin penggalan-penggalan lirik kami tidak enak dilafalkan. Maksud yang mau disampaikan harus dirangkum dalam beberapa suku kata, dan tujuan cerita termasuk metafora harus sesuai dengan nada yang telah diciptakan.

Kalau substansi liriknya, kadang-kadang saya suka mencoba bernegosiasi dengan diri sendiri. Contohnya, ketika saya ingin untuk ngomong soal Munir, judul “Ode untuk Munir” justru akan cenderung lebih tidak berguna. Dalam artian disini, resistansi terhadap lagu tersebut akan lebih banyak.

Hegemoni yang melihat lagu bukan merupakan wahana ekspresi politik itu cukup tinggi di Indonesia. Dan bagi saya, tidak ada gunanya melawan itu. Dari situ, judulnya saya ubah menjadi “Di Udara” – pertama karena itu ambigu. Saya kadang perlu mengukur mana yang perlu saya tulis secara straight forward dan mana yang akan ditulis secara ambigu. Kalau tujuannya bercerita tentang Munir, apakah ada jalan lain yang bisa membuat kisah tentang sosok Munir menjadi lebih diterima? Jangan-jangan kalau kami beri judul “Ode Untuk Munir”, orang justru akan antipati terhadap kisah dari sosok Munir, karena hegemoni musik bukan tempat untuk berpolitik sudah terlalu kuat. Jadi akhirnya kami beri judul “Di Udara.” Judul yang lebih ambigu tersebut membuka kemungkinan bagi orang apolitis untuk mendengarkan lagunya juga. Dan mungkin setelah dia kena dengan lagunya, bisa jadi dia berpikir “kok liriknya begini ya? liriknya tentang apa ya?”

Kalau secara judul saja memancing penolakan, maka sepenting apapun misi lagu tersebut akan tidak berguna. Karena kami memiliki tujuan untuk membuat orang mengetahui kisah Munir, maka pesan kami tersebut harus bisa melewati berbagai medium. Akhirnya saya melakukan pilihan-pilihan seperti itu, dan saya menganggap bahwa itu masih dalam rangkaian dimana musiknya enteng, walaupun ada substansi yang mungkin tidak enteng di dalamnya.

M

Salah satu misi Efek Rumah Kaca adalah untuk membuat lagu yang tidak gampang dimainkan tetapi enak didengar. Kalau begitu, bagaimana sebenarnya Efek Rumah kaca memposisikan pendengar dalam proses berkarya?

C

Pertama, kami memang menyukai musik yang tidak susah didengar, tetapi saat dimainkan susah. Menurut kami, orang yang mau berjibaku untuk menciptakan suatu hal yang susah menjadi sesuatu yang ringan untuk dicerna adalah sebuah hal yang spesial. Biarkan kesusahan itu dihadapi oleh kreatornya. Menurut saya, itu pilihan yang menarik untuk diikuti. Kalau mau cari yang susah bisa, tetapi skill yang dibutuhkan untuk meramu musik yang ringan di telinga pendengar seperti itu lebih tinggi. Kami ingin mencoba untuk mengejar proses seperti itu, dan kami tidak tahu apakah kami akan berhasil atau tidak.

Apakah ini berarti kami mencoba mentoleransi selera pendengar, bahwa ini adalah kompromi dengan pendengar? Saya rasa tidak, karena tidak ada pendengar yang mengintervensi kita untuk bikin musik yang terlalu mudah. Jadi kalau ada pendengar yang merasa sama seperti kita, silahkan dengar. Kalau tidak ya tidak apa-apa. Adalah tidak apa-apa kalau ada yang menganggap musik kita tidak gampang didengar.

M

Bagaimana Cholil melihat posisi pemasaran di musik independent. Dengan metode Efek Rumah Kaca berkarya secara independent tanpa adanya intervensi, apakah artinya pemasaran adalah tugas semata-mata bagi tim management?

C

Sebenarnya kalau memikirkan cara memasarkan musik, kami pun melakukannya. Tetapi jangan sampai itu terjadi di saat karyanya sendiri belum jadi. Karyanya harus sudah jadi dan telah melewati segala macam proses kreatif. Jangan sampai tim marketing turun tangan sebelum karyanya sudah jadi. Mungkin nggak bisa dibilang bahwa ketika kami dalam proses kreatif, fokus kami serratus persen pada karya, tapi paling tidak kami meminimalisir pemikiran marketing pada momen tersebut. Jadi ketika barangnya sudah jadi, kami baru duduk dan berpikir bersama tentang bagaimana cara memasarkannya.

Kalau yang selama ini saya lakukan adalah saya berusaha tidak mempersulit diri kita sendiri- gampangin aja. Ada saat-saat dimana suatu band memiliki karakter dan pendengar tertentu – kami tidak ingin seperti itu. Kadang-kadang bandnya sendiri yang menghambat pergerakannya – misalnya “Ah, Efek Rumah Kaca tidak mau main di acara tertentu.” Menurut saya, selama tidak ada hal yang terlalu bertolak dengan ideologi prinsipil, hajar saja. Main di TV, mall, ada beberapa orang yang males bermain di acara seperti itu – memang, itu pilihan masing-masing. Tapi kalau kami, dengan struktur lagu yang sudah cukup tidak familiar untuk penggemar musik casual, saya pikir konteks manggungnya pun jadi berbeda. Jadi kalau kita memberi batasan-batasan yang menghambat laju kita untuk menyiarkan lagunya, lama-lama kita sendiri yang membuat band ini eksklusif dan tidak banyak didengar orang. Kami tidak mau seperti itu. Cukup hambatannya pada materi lagu yang sedikit berbeda dengan lagu pada umumnya. Mungkin yang nonton sepi, bahkan sampai sekarang masih ada orang yang baru tahu Efek Rumah Kaca, dan akan terus menerus begitu. Pasti masih banyak orang yang tidak mengetahui eksistensi Efek Rumah Kaca dan band-band independent lainnya. Untuk Efek Rumah Kaca, cukup hambatannya di materi lagunya saa, tapi untuk hal lain, kami mencoba untuk lebih fleksibel. Dan ini demi kepentingan lagunya – supaya lagunya bisa lebih banyak didengarkan oleh khalayak umum.

M

Jadi posisi Efek Rumah Kaca adalah untuk lebih dinamis dalam memaknai konsep independensi. Seperti yang Cholil ceritakan tadi, banyak band yang masih anti main di acara-acara tertentu.

C

Mungkin memang begitu adanya, selama tidak prinsipil, kami berusaha untuk fleksibel. Dan sebenarnya, prinsipil itu case by case. Misalnya, kita belum pernah bermain di acara yang partai politik banget. Meskipun kita pernah mendukung sosok seperti Teten Masduki, yang saya kenal dan tahu persis orangnya seperti apa, tapi saya tidak mendukung dia sebagai kader partai politik. Ujung-ujungnya kalau Anda memiliki pandangan politik, apakah memang orang yang berpolitik itu jelek? Kan nggak juga sebenarnya. Kalau kita ingin negaranya benar, harus ada orang yang urusin, dan kalau ada orang baik yang mau mengurusi, kita harus mendukungnya. Jadi kita memang sempat ikut campaign Teten Masduki, tetapi dalam konteks kita percaya pada orang ini, bukan pada partai politiknya.

Selain itu, kami tidak pernah main di acara partai politik karena memang secara prinsip, kami belum sreg untuk main di acara seperti itu. Kita semua tahu sistem kepartaian Indonesia seperti apa. Tetapi kalau mendukung orang yang bagus untuk mengurus kita, kami justru dengan senang hati mendukung sosok tersebut dalam sebagai Efek Rumah Kaca atau individu.

M

Apakah Efek Rumah Kaca sempat mendapatkan backlash setelah main di acara Teten Masduki? Bahwa Efek Rumah Kaca berpartisipasi di acara seperti itu?

C

Kalau konfrontasi secara langsung belum pernah. Saya cukup sadar bahwa keputusan-keputusan ini sudah saya pertimbangkan dalam-dalam. Kalau orang nggak suka, tidak apa-apa. Saya tidak disini untuk memuaskan banyak orang. Ujung-ujungnya, saya akan menjalani kehidupan ini berdasarkan sesuatu yang saya pegang, bukan atas sesuatu yang orang lain minta saya pegang.

Misalnya, untuk kasus Teten Masduki tersebut, saya tidak melihatnya sebagai blunder, tapi mungkin saja bagi orang lain, dukungan tersebut adalah blunder. Saat kita membuat Pandai Besi, banyak orang yang tidak setuju, karena mereka merasa bahwa Pandai Besi merusak lagu Efek Rumah Kaca, atau bisa jadi mereka tidak menyukai Efek Rumah Kaca karena adanya Pandai Besi, saya tidak terlalu memperdulikan hal seperti itu. Kalau orang tidak suka Pandai Besi atau Efek Rumah Kaca, saya tidak peduli.

Dan hal seperti ini bisa jadi semakin parah nantinya, karena ada salah persepsi. Para pendengar bisa jadi akan bisa sangat kecewa kalau tahu album Efek Rumah Kaca ketiga, yang menurut saya pribadi, jauh lebih mirip dengan karakter musikal Pandai Besi. Padahal sebenarnya bukan Efek Rumah Kaca yang mengikuti gaya Pandai Besi, tapi bisa dianggap seperti itu karena Pandai Besi keluar album duluan. Saya sebagai creator Pandai Besi, atau yang ikut berkontribusi di Pandai Besi, sangat terinspirasi oleh album ketiga Efek Rumah Kaca yang sayangnya tidak keluar-keluar. Tapi, orang-orang di Pandai Besi punya input sendiri sesuai dengan style mereka. Kalu di tanya ke Poppie Airil apakah dia terinspirasi album ketiga Efek Rumah Kaca? Itu belum tentu. Tapi kalau saya dan Akbar, bisa bilang bahwa album Pandai Besi terinspirasi oleh album ketiga Efek Rumah Kaca.

Jadi nanti saat album ketiga Efek Rumah Kaca keluar, nggak mustahil orang akan bilang “ih, ini Pandai Besi banget” – Ini dugaan saya. Dan bagi orang yang tidak suka Pandai Besi tapi suka Efek Rumah Kaca saya rasa mereka semakin tidak suka. Single pertama kami dari album ketiga yang baru keluar, “Pasar Bisa Diciptakan” itu masih sangat Efek Rumah Kaca. Lagu-lagu lain dari album tiga akan cukup berbeda.

M

Mungkin bisa balik lagi ke peran musik di perubahan sosial. Di satu kesempatan, Cholil sempat bilang bahwa salah satu ide besar dari musik Efek Rumah Kaca adalah membuat masyarakat lebih peka akan hak-haknya terhadap pemerintahan dan negaranya. Menurut Cholil sendiri, apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk bisa lebih peka terhadap hal-hal seperti itu?

C

Untuk tidak anti kepada politik. Cukup banyak orang yang memanggil dirinya apolitis, padahal itu sebenarnya justru politis – itu politik untuk tidak berpolitik. Sudahlah, orang tidak akan lepas dari politik, politik itu ada di kehidupan sehari-hari. Tinggal bagaimana orang turun tangan, dalam artian bahwa apapun yang dilakukan akan berdampak. Berdampak pada apa? Misalnya kalau kita tidak peduli dengan politik, secara tidak langsung, sikap tersebut membiarkan orang yang tidak capable untuk terus menerus ada di pemerintahan dan mengelola negara ini. Kalau orang tidak bermasalah dengan ini, ya sudah. Saya pribadi bermasalah dengan hal tersebut.

Mau tidak mau, kita harus melakukan sesuatu. Kenapa? Karena kita sepakat untuk memakai sistem demokrasi, yang menurut pemahaman saya, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Kita sudah atur distribusi powernya: ada eksekutif, ada legislatif, ada judikatif, ada media – ini pilarnya. Sebenarnya masyarakatnya sendiri tidak punya saluran langsung untuk menarik balik suara mereka kalau sudah memilih di legislatif. Mungkin ini memang desain sistem demokrasi, yakni supaya orang-orang tidak harus berpolitik setiap hari – cukup lima tahun sekali, yakni pas pemilu dan ketika membayar pajak saja. Sudah jelas. Tapi kalau kita tidak memantaunya, pasti akan kacau. Sebenarnya kalau mau, kita bisa memakai sistem demokrasi yang sistem politiknya bekerja setiap hari, nyatanya kita sebagai warga negara sudah sepakat dengan sistem demokrasi lima tahun ini.
Kecuali kalau tidak sepakat dengan sistem ini, seperti anarkis yang tidak percaya dengan sistem-sistem tertentu. Anarkis membuat sistem sendiri dan membangun masyarakat supaya mereka lebih mandiri tanpa pemerintah. Tapi dengan keadaan sekarang, mereka selalu kalah cepat dengan teknologi, juga dengan mereka yang ingin merusak negara. Orang-orang yang mau merusak negara jauh lebih banyak daripada orang-orang anarkis yang mau turun kebawah dan membangun kesadaran publik dari hal-hal yang terkecil. Jika tidak sepakat dan tidak melakukan sesuatu, ya kita harus nyaman dengan sistem demokrasi ini.

Mau tidak mau, dengan sistem ini kita harus sadar bahwa di semua lini yang kita bisa berkontribusi, harusnya kita mau untuk berkontribusi. Paling tidak adalah untuk menuntut hak-hak yang harusnya kita dapatkan dari pemerintah. Kesadaran untuk hak-hak menuntut itu harus lebih tinggi.

Misalnya, di luar negeri salah satunya, dan ini bukan hanya pemerintah, bisa juga meliputi hubungan orang biasa dengan usahawan, ada sistem rating. Rating itu berpengaruh banget, kalau ada apa-apa seperti fasilitas yang jelek, orang akan memberi rate, dimana rate tersebut akan diperhatkan oleh pemerintah. Mungkin dulu sistem rate ini tidak terlalu dipedulikan, tapi semakin lama mereka lalu merasakan pengaruh rating-rating yang jelek itu terhadap apa yang mereka kerjakan, sehingga mereka lantas mau memberi layanan publik yang lebih baik. Ada juga cara-cara lain seperti demonstrasi. Intinya adalah upaya-upaya untuk menuntut hak terhadap pemerintah yang lebih tinggi.

Sistem kita itu demokratis, lain cerita kalau sistem kita kerajaan, dimana kita tinggal bayar pajak dan selebihnya semua diurusin negara dan kita tinggal mengikuti kemauan negara – apakah ini yang kita inginkan? Pada kenyataanya sistem kita demokratis, tapi kita tidak memanfaatkan itu. Bukan berarti kita harus mikirin negara setiap hari, tetapi kalau ada hak-hak yang di langgar, hak itu harus di tuntut. Di Indonesia, ini tidak terjadi. Orang diperlakukan buruk oleh baik pemerintah atau perusahaan, kita kan “ya sudahlah, biarin saja” dan orang lain akan mendapatkan dampaknya. Orang lain akan di treat buruk juga karena kita tidak menuntut hak kita.

M

Kita cenderung terlalu mudah maklum.

C

Tepat sekali. Kenapa kita berani untuk menuntut hak? Pendidikan juga sih. Orang yang sudah berpendidikan mungkin akan lebih peka akan haknya, lebih paham dan mau menuntut haknya, dan tidak hanya disitu, mereka juga lebih mau ngerem kalau dia melanggar hak orang lain.

M

Kembali ke musik. Setelah kembali dari sekolah di Amerika, apakah pengalaman tersebut merubah cara pandang dan metode Cholil dalam berkarya?

C

Nggak juga sih. Saya memang mendapat banyak hal baru, pastinya karena saya sekolah, tapi kalau mengenai cara berpikir, saya tidak menganggap cara berpikir sebelum saya ke Amerika salah. Menurut saya, yang dipikiran saya sudah hampir sejalan, sekarang tinggal dipertajam saja. Kalau di penulisan lirik, saya rasa tidak terlalu berdampak. Sekolah bagi saya lebih mengenai pendalaman sebuah topik, dan kerangka berpikir. Malah setelah sekolah, saya jadi lebih takut.

M

Takut dalam artian?

C

Karena harus lebih berhati-hati. Di sana saya belajar bahwa orang tidak bisa ngomong ceplas-ceplos tanpa data yang akurat – lebih akademik dalam menilai sesuatu karena pertimbangannya lebih luas.

M

Bagaimana Cholil melihat musisi sebagai profesi di Indonesia? Bagaimana idealnya? Apakah senimaan yang ideal itu benar-benar harus berfokus kepada keseniannya sendiri atau bisa sambil bekerja?

C

Idealnya untuk saya sendiri, dulu saya menganggap adalah cukup ideal bagi seniman untuk memiliki kerja di luar aktivitas kesenian, karena pada kenyataanya saya tidak menjalani kehidupan bermusik setiap hari – jadi itu ideal dalam kondisi tertentu. Untuk orang yang bermusik setiap hari, mungkin kondisi seperti itu tidak ideal.

Kadang-kadang memang, pekerjaan itu bikin kita nggak punya waktu untuk bikin musik. Menurut saya itu ada dampaknya di album ketiga Efek Rumah Kaca. Salah satu faktornya adalah kebanyakan kerja. Saat itu, saya kebanyakan megang kerjaan, akhirnya album ketiganya nggak bisa segera selesai, ada juga faktor kesalahan saya dalam me-manage waktu. Jadi untuk menebus itu, saya nggak mau kerja dulu sementara ini, saya mau selesain album ketiga dulu, abis itu kerja atau nggak? Belum tahu, saya akan melihat perkembangan situasi terlebih dahulu.

Saya tidak bisa memastikan kerja atau tidak memiliki pekerjaan tetap itu lebih baik atau tidak untuk seorang seniman. Menurut saya, idealnya adalah seorang seniman yang memiliki waktu untuk bikin karya, tapi juga nggak terserabut dari kehidupan sosial. Sebuah karya cenderung akan jelek kalau setiap hari aktivitas senimannya melulu hanya dari rumah ke studio, bikin lagu, balik ke rumah, terus tidak ngapa-ngapain lagi. Kehilangan kehidupan sosial juga tidak bagus untuk pengembangan karya dan senimannya. Walaupun seorang seniman memiliki banyak waktu di studio, pasti akan ada yang kurang kalau dia tidak memiliki kehidupan sosial di luar aktivitas keseniannya. Jadi bagi saya, kehidupan harus balance, dalam artian seorang seniman memiliki waktu yang cukup untuk berkarya dan juga memiliki kehidupan sosial yang berguna bagi pengembangan karya dia. Begitu mungkin konsep yang ideal menurut saya.

Apakah dengan begitu, seniman harus bekerja? Ini tergantung dengan orangnya juga sih – lihat-lihat kebutuhan pribadi. Kadang-kadang dalam realitanya, nggak bisa dipungkirin juga, akan kebutuhan finansial yang mengharuskan kita untuk memiliki pekerjaan tetap. Tetapi, bisa juga seorang seniman mendapatkan uang yang cukup dari bermain musik, tinggal bagaimana seniman tersebut bisa mengelola fokusnya. Bahwa dia dalam segi finansial sudah cukup aman, tapi bila karya-karya dia kurang bagus – berarti dia butuh suatu hal yang lain.

M

Setelah sekian tahun ada “Cinta Melulu” dan ada gelombang musik independent yang lumayan kencang disini, bagaimana Cholil melihat perkembangan musik independent di Indonesia sekarang?

C

Sejujurnya saya tidak tahu setahu kamu. Misalnya kalau saya ikutin blog kamu dan lagu-lagu di channel Loka Suara-nya Whiteboard Journal, banyak musik baru yang saya tidak tahu. Tapi secara garis besar, memang sudah jamannya semakin nggak ada satu selera yang bisa disukai oleh banyak orang secara bersamaan – publik musik semakin tersebar. Ada orang yang menyukai satu band, maka musik dari satu band itu saja, atau paling tidak yang sejenis saja yang mereka dengarkan. Sekarang, genre musik tertentu semakin susah untuk bisa menjangkau pendengar-pendengar audiens yang lain. Pola konsumsi musik menjadi semakin segmented.

Ada fenomena lain juga yang saya lihat di scene independen lokal. Misalnya kalau memang perkembangan musik independen bagus dan bergairah banget, ketika Sore vakum dan setelah itu balik lagi, seharusnya mereka tidak bisa dengan serta merta masuk kembali ke khalayak karena pasar sudah berubah, tapi kenyaataannya nggak begitu. Sore bukan hanya masuk, tapi masih berada di level papan atas, manggung dimana-mana. Artinya tidak ada pergerakan yang signifikan di layer-layer atas musik independent lokal. Sejauh pengamatan saya, tidak terlalu banyak perubahan dan variasi disana.

Walaupun sebenarnya, saya yakin di tataran yang lebih dalam lagi, banyak terjadi pergerakan disana. Misalnya, banyak lagu yang saya belum pernah dengar di beberapa edisi Loka Suara- mungkin ini karena saya lagi di Amerika saat itu, dan mungkin juga, musiknya nggak terlalu beda dengan jaman dahulu. Mungkin gairah orang bikin sesuatu hal yang baru masih cukup besar, tapi jamannya sudah bergeser. Orang punya kesibukan masing-masing, pemain dan aktor-aktornya sudah ada yang baru, tapi nggak sebanyak yang dulu, dan akhirnya nggak bisa sedahsyat itu. Mereka akhirnya kesulitan untuk menggerus nama-nama lama di dunia musik independen. Harusnya ‘kan wave yang baru bisa datang, dan siapapun yang nggak mengikuti scene akan tergilas. Kalau aktornya banyak, pasti akan ada movement baru. Contohnya Studiorama. Studiorama sudah bagus dengan konsepnya, tapi sayangnya mereka tidak terlalu produktif. Meskipun memang tidak gampang untuk membuat sesuatu yang bagus secara terus-menerus – butuh waktu yang lama untuk membuat suatu performance, atau untuk support orang yang bagus. Bikin konsep seperti Studiorama memang susah, tapi kalau memang mau menggeser yang lama ya harus continue. Terus-menerus. Ini faktor endurance.

Kolibri Records adalah salah satu contoh yang cukup oke, tapi karena mereka masih baru banget, mereka harus terus membuktikan kapasitasnya. Karakter Kolibri gazing, tapi saya bisa merasakan ada bedanya karakter mereka dengan gazingnya Seaside, mereka memainkan gaya gazing era sekarang. Tapi mereka masih harus membuktikan stamina mereka dalam memproduksi musik yang bagus. Secara garis besar, kalau di musik independent lokal, belum ada pergerakan yang cukup progresif, kecuali mungkin Payung Teduh. Payung Teduh band paling muda, mereka pun layak untuk masuk mainstream karena lagu mereka enak dan easy listening.

M

Jadi mungkin salah satu kritik dari Cholil mengenai scene independent adalah walaupun pelakunya lebih banyak, tetapi progresinya stagnan?

C

Nggak stagnan juga sih sebenarnya. Menurut saya, harusnya band seperti Efek Rumah Kaca harusnya sudah tidak bisa masuk karena sudah digempur oleh dengan wave baru, sampai dimana kita mau masuk, kita harusnya udah dianggap norak dan old school. Setelah cuti selama satu setengah tahun, pas kita merilis single, ternyata masih cukup banyak orang yang tertarik. Apakah itu karena kangen, atau memang nggak ada kekuatan yang baru yang sekuat itu.

M

Apakah ada hubungannya juga dengan kuantitas band yang semakin tinggi, tapi jatuhnya perkembagannya ke arah copycat band luar, karena jaman sekarang musik major yang dulu bisa jadi lawan bersama sudah tidak ada. Dengan arus informasi yang lebih cepat, musisi sekarang susah untuk menemukan identitas mereka sendiri.

C

Kalau itu saya kurang tahu karena frekuensi saya untuk mendengar band-band yang baru sangat jarang. Label seperti Kolibri, kita mungkin bisa mengetahui siapa saja yang menginfluence mereka – mereka tidak totally original. Tapi paling nggak mereka konsisten bikin rilisan seperti itu, dan konsistensi mereka pasti akan ada dampaknya.

Jadi saya tidak menganggap bahwa kita harus bikin musik yang benar-benar baru, sudah pasti kita ter-influence oleh orang lain – dan itu sah-sah aja. Tapi masalahnya adalah bagaimana influence itu kita kelola untuk membangun nilai-nilai baru dari segala pengaruhnya tersebut. Atau mungkin, bisa jadi pada dasarnya band independen butuh produser untuk menggali apa yang mereka sudah punya tapi tidak bisa dikeluarkan dalam lagu. Mungkin, rata-rata band independen menganggap dirinya sudah tahu persis potensi di dirinya, atau mungkin juga mereka nggak ada uang untuk hire orang yang punya skill untuk memfasilitasi musik mereka. Jaman dulu, sebenarnya kita nggak secara literal memakai produser. Misalnya Aksara yang mencatat nama David Tarigan sebagai produser karena pengetahuan musiknya yang luas. Di kenyataannya, walaupun mungkin secara teknis dia nggak ikut masuk ke dalam penulisan lagu, tapi dia pasti memberi input kepada band-band di Aksara mengenai treatment lagu, dan itu pasti berpengaruh kepada karakter musik nantinya.

M

Apa proyek mendatang Cholil, dan bagaimana masa depan dari Pandai Besi dan Efek Rumah Kaca?

C

Kalau Pandai Besi, saya sudah sangat senang dengan perkembanganya sekarang, karena unit ini sudah menjadi sebuah kolektif. Sekarang, saya bisa melihat Pandai Besi sebagai kolekif, padahal sebelumnya, saya menganggap Pandai Besi sebagai band seperti pada umumnya. Sejalan dengan waktu, Pandai Besi berkembang ke arah yang positif. Ketika saya dan Irma pergi, mereka mampu jalan terus dan cukup bisa diterima orang-orang; manggungnya banyak. Kehadiran saya disini malah membuat mereka mencari lagi tempat bagi saya di band ini. Saya juga berpikir harus bagaimana, karena tanpa saya, mereka cukup berhasil dalam membetuk karakter baru yang mungkin akan berguna dalam album berikutnya. Mereka punya lagu-lagu baru yang menurut saya cukup bagus dalam songwriting dan berkarakter. Meskipun Pandai Besi tidak melihat diri kita sebagai kolektif, tapi pada kenyataanya kita bekerja sebagai kolektif. Ketiaadaan saya dan Irma tidak berpengaruh dalam proses karya mereka, jadi menurut saya mereka cukup sukses.

Untuk album ketiga Efek Rumah Kaca, sudah mendekati 90 persen, tinggal menulis lirik dan take vokal 4 lagu lagi. Dua lagu sudah kita mix. Mumpung lagi nggak kerja, saya juga sedang mulai bikin lagu.

Di luar hal itu, saya sedang ada kolaborasi dengan Zeke, belum tahu bentuknya bakal sepeerti apa, tapi kita ditawarin oleh Cliff Notes Records untuk merilis kolaborasi ini dalam bentuk kaset, jadi sepertinya bisa jadi lumayan menarik. Kami sudah cukup sering latihan, tapi belum siap direkam. Kebetulan si Zeke punya studio, jadi kita bisa lebih sering masuk studio. Mungkin sudah 6-7 kali kami latihan di studio untuk untuk buat lagu. Belum ada satupun lagu yang sudah jadi, tapi fragmen-fragmennya sudah ada, dan kita masih mencari kemungkinan-kemungkinan lain. Nanti kalau kita sudah ‘dapet,’ baru kita akan jahit menjadi satu keutuhan lagu.whiteboardjournal, logo