Seni, Suara & Jakarta bersama Sari Sartje

19.08.15

Seni, Suara & Jakarta bersama Sari Sartje

Mariati Galatio (M) berbincang dengan seniman dan musisi Sari Sartje (S).

by Ken Jenie

 

M

Bagaimana awal ketertarikan Sari di dunia seni?

S

Mungkin awal ketertarikan saya pada dunia seni berawal pada masa TK. Saat itu meski tak terlalu paham akan seni itu sendiri, saya sudah suka menggambar dan menyanyi. Perkenalan paling awal saya tentang medium berkarya juga terjadi ketika itu, di sebuah workshop yang diadakan oleh guru TK saya untuk persiapan lomba, saya lalu dikenalkan dengan krayon, karena sebelumnya saya hanya menggambar dengan alat tulis seadanya. Selain itu, kebetulan ibu saya cukup sering mengajari anak-anak sekitar menyanyi dan menari, hingga koreografi sederhana. Dari situ saya lalu mulai mengerti tentang seni. Keluarga saya memang cukup sering menyanyi bersama ketika ada acara keluarga. Sedari kecil, lingkungan keluarga saya tersebut secara tidak langsung membangun kecintaan saya terhadap dunia seni.

M

Berangkat dari situ, lalu Sari memutuskan untuk melanjutkan ke IKJ selepas SMA?

S

Ketika SMA, saya masuk di sekolah unggulan, SMA 6 Bekasi, dengan teman-teman yang rata-rata NEM-nya tinggi. Ketika masa sekolah SMA saya lalu tak pernah lagi masuk ranking 10 besar di kelas, padahal semasa SMP saya cukup sering masuk. Dari situ saya menyadari bahwa teman-teman saya memang jago di ilmu pasti. Saya lalu mencari apa yang saya bisa dalami. Seni kemudian menjadi opsi bagi saya karena memang sedari SMP saya tertarik dengan komik, animasi, hingga kartun. Saat itu saya lalu mulai belajar menggambar, kebetulan saya memiliki teman yang kakaknya mengajar gambar, berbekal dari pengalaman di dunia seni rupa Jogja. Saya lantas mengambil les privat menggambar dengan kakak teman saya tadi, dari masa les tersebut saya banyak belajar teknik menggambar dasar, termasuk untuk teknik gambar still life.

Waktu itu, internet belum menjadi komoditas umum seperti sekarang. Saya banyak belajar dari buku serta majalah yang biasanya saya dapatkan di toko buku di Jatinegara. Dari berbagai buku serta majalah yang saya beli, kakak teman saya tadi sering menjelaskan teknik pengerjaan artwork-artwork yang ada di halaman-halaman buku tadi. Saya banyak mendalami aspek teknik dari beliau, yang ternyata sangat membantu ketika saya kuliah IKJ.

M

Sejauh ini medium apa yang paling nyaman bagi Sari untuk berkarya?

S

Saya termasuk orang yang selalu tertantang untuk mencoba berbagai medium yang ada. Tapi kadang, waktu tak memungkinkan bagi saya untuk menjajal semua bentuk medium berkesenian. Sampai sekarang sebenarnya saya tidak memiliki satu medium pasti yang sayang paling enjoy ketika mengerjakannya. Karena kadang hasil karya terbaik justru muncul dari medium di luar comfort zone kita.

Secara personal, saya sebenarnya tidak terlalu nyaman untuk menggambar hitam putih. Saya mulai menggambar dalam format hitam putih ketika saya mengalami kejenuhan dengan gambar realis. Dulunya, saya banyak menggambar ilustrasi realis dan banyak mendapat pesanan gambar realis karena orang-orang bilang bahwa saya cukup bisa menggambar potret secara bagus. Tapi di tengah mendalami ilustrasi realis, saya sering merasakan adanya batasan seperti harus menggambar dengan akurat, semirip mungkin dengan aslinya. Saya takut dan tidak mau terjebak disitu. Setelah itu saya sempat vakum menggambar selama hampir satu setengah tahun. Di masa vakum tersebut saya hanya menggambar vector melalui software, tapi tak lama, saya merasa stuck juga disitu. Di satu waktu, saya mencoba untuk kembali menggambar menggunakan kuas, tapi entah kenapa, bisa jadi karena saya sudah lama tidak menggambar secara langsung saya jadi kagok dalam menggunakan kuas. Ketika saya mencoba untuk menggambar realis, gambar saya tidak bisa sebagus sewaktu dulu.

Saya sempat khawatir bahwa saya kehilangan kemampuan saya karena saya tidak pernah mengasah kemampuan menggambar manual. Saya takut kemalasan saya membuat saya kehilangan salah satu talenta saya. Ketakutan itu cukup membuat saya sedih, karena saya sempat kehilangan kepercayaan diri untuk memamerkan karya saya kepada publik. Secara tak sengaja, saya membuka kembali tugas-tugas semasa kuliah saya, dan dari situ kemudian saya menyadari bahwa menggambar dengan pensil saja bisa terlihat bagus. Sebuah hal yang sedikit terlupa karena saya terlalu sibuk untuk berkutat dengan vector dan ilustrasi realis.

Kebetulan pula, pada saat yang bersamaan, Pak Raden sempat sering ke Ruang Rupa untuk menjadi bintang tamu di acara dongeng dan gambar yang diadakan disana. Momen itu membuat saya kembali teringat pada bagaimana saya menggemari gaya menggambar Pak Raden. Saya teringat kembali juga pada saat dimana Pak Raden menjadi dosen tamu di IKJ, termasuk momen-momen ketika saya mempelajari gambar dasar. Akhirnya, momen tersebut membuat saya untuk menekuni apa yang saya lakukan hingga sekarang, yakni menggambar dalam format hitam putih. Sebuah gaya menggambar yang dulunya saya sempat remehkan. Tapi menjadi sebuah bidang yang saya tekuni hingga sekarang. Saya masih menerima commission work untuk menggambar dengan warna, tapi sebisa mungkin saya menyatakan di awal bahwa saya lebih nyaman untuk menggambar dalam format hitam putih.

M

Beberapa alias yang digunakan oleh Sari dalam berkarya ada nuansa Belanda, seperti Stroom Fabriek dan Sari Sartje. Apa alasan dibalik penggunaan nama-nama tersebut?

S

Awalnya saya ingin memiliki studio sendiri yang bentuknya dinamis. Saya tidak memiliki tempat produksi, dan biaya untuk menyewa tempat cukup mahal. Dengan kondisi demikian, saya lalu menginisiasi Stroom Fabriek sebagai studio digital dimana saya bisa mengumpulkan berbagai karya saya dalam satu wadah. Saya juga melihat Stroom Fabriek sebagai motivasi bagi saya untuk lebih rapi dalam mendokumentasikan proses saya dalam berkarya. Platform online juga lebih memudahkan bagi orang-orang untuk mengakses karya-karya saya. Kapanpun orang butuh, terlepas saya sedang manggung atau di luar kota, siapa saja bisa membuka kumpulan karya saya pada studio maya saya itu.

Untuk nama, saya selalu suka dengan hal-hal yang berbau listrik, energi. Dari beberapa nama yang saya cari, saya akhirnya menemukan term “stroom”, sebuah kata yang pelafalannya sama dalam Bahasa Inggris juga Indonesia. Akhirnya saya kombinasikan dengan “fabriek”, menjadi “Stroom Fabriek”. Banyak orang yang menyangka fabriek disini sebagai bentuk lain dari fabric yang berarti bahan, padahal saya merujuk “fabriek” dari Bahasa Belanda yang berarti pabrik, jadi stroom fabriek artinya adalah pabrik energi. Saya berharap dengan nama tersebut, saya bisa terus kontinyu dalam berkarya.

Kalau nama Sari Sartje sendiri berdasar dari panggilan sewaktu kecil. Dalam Bahasa Belanda, Sari Sartje berarti Sari Kecil. Banyak orang yang menyangka “Sartje” tersebut saya adaptasi dari nama musisi senior Silvia Sartje, saya sendiri mengagumi sosoknya, tapi nama “Sartje” yang melekat pada nama saya berasal dari panggilan yang diberikan Ibu saya semasa saya kecil. Ada beberapa nama panggilan kecil yang diberikan Ibu kepada saya, termasuk “unyil”, “ai” dan “sartje”. Saya memilih untuk menggunakan nama “Sartje” karena nama ini cukup spesial dibanding misalnya nama “Ai” yang cukup umum digunakan. Akhirnya sampai sekarang “Sartje” saya gunakan sebagai nama kuas yang menandai lukisan bikinan saya. Nama tersebut juga memiliki time stamp dimana “Sartje” adalah nama kuas yang saya gunakan dalam era Stroom Fabriek, sebelum itu saya menggunakan nama Sari atau Aprilia Apsari. Hanya untuk memberi penanda waktu. Jadi Stroom Fabriek berdiri hampir bersamaan dengan penggunaan nama Sartje.

M

Karya-karya Sari bernuansa Indonesia, khususnya retro. Menurut Sari, seperti apa karakter budaya Indonesia?

S

Indonesia mau dibilang tradisional bisa, modern bisa, kolonial juga bisa. Jadi kadang inspirasinya berasal dari tiga sisi tersebut. Kadang, ada karya saya yang berbau grafis vintage Belanda, entah dari ejaan atau apa. Kadang-kadang hal seperti ini cukup bermakna bagi beberapa orang. Bahwa sejarah Indonesia bisa membawa mereka ke nuansa-nuansa tertentu. Saya rasa, banyak sebenarnya yang tertarik dengan grafis-grafis vintage Belanda selain saya.

Awalnya, saya terinspirasi dengan grafis Indonesia lama seperti karya firma desain Hermawan Tanzil, LeBoYe. Beliau dulu dosen saya. Waktu kuliah, anak-anak kampus pernah dibawa tur ke kantornya, dan disana kita bisa melihat pajangan plat-plat seng lama, dan hal-hal seperti itu. Beliau sangat respect terhadap budaya Indonesia, dalam berbagai sudut pandangnya. Secara tidak sengaja, beliau berusaha memperkenalkan kecintaan tersebut ke generasi di bawah beliau.

Pada akhirnya, saya merasa nyaman karena saya menyukai screenprinting. Dan proses desain yang terinspirasi oleh vintage Belanda ini cukup mudah diaplikasikan dengan teknis screenprinting karena mereka pada umunya tampil dalam satu atau dua warna. Mereka juga banyak menggunakan iklan-iklan lama, entah itu iklan sabun cuci atau pakaian dalam. Hal-hal seperti ini sangat membuka mata saya, terutama dengan tagline yang mereka pakai. Dan akhirnya itu membuat saya juga untuk lebih mencermati tagline.

M

Jadi bisa dibilang bahwa Pak Hermawan Tanzil dan LeBoYe adalah salah satu inspirasi Sari?

S

Iya. Termasuk juga dengan Pak Raden dengan karya hitam-putihnya yang sangat menghibur. Bagi saya, beliau bisa membuat media hitam putih menjadi sangat berharga.

M

Adakah seniman lain yang menginspirasi Sari?

S

Ada. Saya suka karya-karya Raymond Pettibon, dia banyak membuat artwork hitam-putih. Sekarang cukup banyak seniman yang mengeksplor karya dalam format hitam putih, tapi entah kenapa, saya sangat menyukai cara Raymond Pettibon mengambil garis, dan cara dia dalam mengambil angle. Mungkin, ada hubungannya juga dengan backgroundnya dari komik, dan kebetulan memang saya menyukai dunia komik. Di luar itu, yang menjadi nilai plus pada karya-karyanya adalah keterlibatannya dalam pembuatan berbagai logo dan ilustrasi band keren seperti Black Flag dan Sonic Youth. Hal ini mengajarkan pada saya bahwa dunia musik dan dunia seni itu tidak jauh, dan keadaan sekarang di Jakarta juga seperti demikian.

M

Sebagai vokalis White Shoes and the Couples Company, persona dan suara Sari sangat khas dan menjadi karakter tersendiri. Bagaimana awal mula kemunculannya?

S

Segala sesuatu pasti ada prosesnya, tidak mungkin begitu saja terjadi. Saya sendiri tidak tahu persis siapa influence karakter ini karena banyak sekali sumbernya, mulai dari penyanyi dalam dan luar negeri hingga penari dalam dan luar negeri. Saya belajar banyak dari film musikal seperti “Singing in the Rain” dan “The Sound of Music.” Cara mereka mengambil improvisasi berbeda dengan tipikal vokalis komersil seperti Celine Dion dan Whitney Houston, yang sebenarnya saya juga sukai -mereka punya skill vokal yang tinggi, tapi saya tidak bisa mengaplikasikan skill semacam itu di band saya, karena memang musiknya berbeda. Jadi saya harus menyederhanakan kadar improvisasi vokal untuk menciptakan nilai lebih pada lagunya. Itu menurut saya tidak gampang, karena kadang memang suka gatel kepingin meliuk-liukkan suara saat bernyanyi.

Saya ingin bernyanyi seperti itu juga, tetapi tidak bisa karena fokus utama White Shoes adalah lagu yang bagus, bukan vokalnya saja. Yang membuat sebuah lagu menjadi materi yang bagus adalah lagu dimana semua personil mempentingkan kualitas lagunya, bukan untuk menonjolkan diri masing-masing, ego harus dijaga.

Pada akhirnya, saya sadar bahwa bermusik itu all about the song, kalau lagunya bagus, orang akan ingat terus. Saya belajar banyak referensi dari band-band Indonesia lama seperti lagu-lagu pagelaran Guruh Sukarnoputra, atau soundtrack film Badai Pasti Berlalu. Di album Badai Pasti Berlalu, ada lagu Chrisye yang aransemennya sangat berbeda dengan versi di album solonya, dan saya lebih suka versi album soundtracknya ini. Mereka memikirkan bagaimana lagunya bisa naik – jadi bukan tentang vokalisnya, gitarisnya, atau pianisnya. Secara tidak sengaja, di luar kesadaran, kami mengaplikasikan pendekatan tersebut dalam penampilan kami.

Kalau dari performance di atas panggung sendiri, dulu sering banget tampil dan penontonnya diam saja, tidak ada interaksi nyata di antara kami – mungkin mayoritas penonton malu-malu. Kemudian, saya menonton satu konser dimana penyanyinya sebenarnya tidak banyak gaya, tetapi dengan santai dia berjoget mengikuti lagu. Gaya tersebut memacu penonton untuk ingin berjoget. Mungkin memang menular, kalau melihat satu orang joget, secara tidak sadar jadi ingin joget juga. Momen itu membuat saya untuk memberanikan diri berjoget ketika manggung. Sebelumnya, saya merasa silly banget joget-joget ketika manggung, ditambah memang saat itu rasanya sebagai band independen, kesannya kami bermain untuk scene yang anti banget dengan jogetan (tertawa). Akhirnya saya sampai pada poin dimana saya merasa, ya sudah, saya tidak bisa berbohong, kalau memang lagu ini membuat saya mau joget, saya akan joget saja, terserah jika penonton tertular ingin joget, atau tidak. Setidaknya mereka bisa pulang membawa pengalaman tersendiri. Kita memberi pengalaman musik live kepada mereka, jadi bukan hanya seperti pengalaman mendengarkan CD, ada dimensi lebih yang mereka dapat dibandingkan pengalaman mendengarkan CD di rumah.

M

Kembali ke bahasan dunia seni. Tadi Sari sempat bercerita tentang screenprinting dan menggambar mural, dan kalau tidak salah, Sari sempat mempelajari pembuatan skatedeck. Dari sedemikian banyak cara untuk membuat karya, adakah satu pendekatan yang mendapat perhatian lebih dan ingin didalami lebih jauh lagi?

S

Ada. Sebenarnya banyak (tertawa). Saya suka banget dengan kriya kayu. Dulu saya melihat teman-teman saya di jurusan kriya kayu itu keren, mereka tidak hanya bekerja dalam tataran ide, tetapi juga merealisasikan dengan tangan mereka sendiri. Berkarya dalam bidang kriya kayu memerlukan konsentrasi dan intensitas yang cukup tinggi. Dan akhirnya, secara tidak sengaja mereka menjadi semacam ilmuwan, menciptakan benda yang bisa dipakai sehari-hari, melewati segala macam trial and error. Hal-hal demikian menurut saya memberikan nilai lebih kepada sebuah karya, dimana karyanya bukan hanya dilihat, tetapi juga memiliki fungsi, bisa dipakai. Saya juga suka logam, tetapi sepertinya sedikit susah mengerjakan mediumnya. Saya juga suka menjahit. Pada intinya, saya sangat suka dengan seni kriya. Kalau saya punya waktu yang lebih banyak, selain menggambar saya sangat tertarik untuk mendalami seni kriya. Saya mencoba mengaplikasikan diantaranya dalam karya screenprinting yang saya jahit bahannya menjadi totebag atau sarung bantal.

Screen printing adalah salah satu medium yang sangat membantu saya saat kuliah. Saya bisa mendapatkan uang lebih untuk membeli peralatan dan lain-lain dari menyablon. Banyak benefit yang saya dapatkan dari mempelajari seni kriya.

M

Sebagai alumnus Institut Kesenian Jakarta, perbedaan apa yang Sari lihat di kampus dari era Sari kuliah dengan kondisi sekarang?

S

Walaupun saya sudah lulus, saya sempat sering datang ke kampus dan nongkrong, mungkin sampai tahun 2011. Setelah itu, saya cukup jarang main ke kampus. Tahun lalu, saya sempat menyablon di kampus karena studio rumah saya kurang memungkinkan untuk produksi. Saat saya datang, saya melihat banyak sekali yang berubah di kampus IKJ. Studionya berubah, atmosfirnya berubah. Menurut saya, secara general atmosfir IKJ masih sangat menyenangkan dan sangat nyaman untuk nongkrong, tapi mungkin karena saya sudah tidak kuliah disitu, saya merasakan perubahan pada atmosfir kebersamaannya. Dulu, semua orang saling kenal, satu sama lain. Dulu di dalam juga ada kantin yang selalu sedia untuk menyediakan makanan bagi para mahasiswa, pada jam berapapun. Kami juga bisa berhutang di kantin tersebut. Bisa dibilang, kantin tersebut sayang sama kita, mahasiswa IKJ. Ikatannya dalam sekali, baik di dalam maupun di luar lingkaran mahasiswa. Saya memang sudah tidak kuliah di IKJ lagi, tapi saat saya datang ke kampus saya masih menikmati suasananya.

M

Sari cukup aktif di dunia seni Jakarta, apakah bisa mendeskripsikan bagaimana karakter seni kota Jakarta?

S

Beberapa waktu lalu, saya sempat membicarakan topic ini dengan teman-teman. Karakter kesenian Jakarta mungkin memang tidak bisa dilihat dari segi visual, tetapi dari jika dilihat dari proses berkaryanya, bisa dilihat bahwa seniman Jakarta melakukan kegiatan kesenian untuk memuaskan batin mereka, yakni dengan mengekspresikan diri, dan mereka juga mau orang lain untuk bisa menikmati karya yang mereka bikin. Karakter seni Jakarta cenderung tidak memaksa orang untuk berpikir. Maksudnya seperti karya The Popo atau Komikazer yang menyenangkan dan selalu kontekstual dengan situasi sekarang. Bentuknya seperti apa? Karakternya cenderung random. Seniman Jakarta banyak mencoba berbagai macam media, tetapi karakter yang saya lihat adalah bagaimana mereka selalu ingin menyenangkan hati orang lain melalui karyanya.

M

Apakah itu karena orang Jakarta hidupnya keras?

S

Bisa jadi, banyak orang yang berkata bahwa Jakarta itu keras. Kalau secara personal, dalam kehidupan sehari-hari tidak spenuhnya berkutat dengan traffic. Tapi memang disini untuk menuju ke satu tempat saja susah, dan mungkin itu menjadi inspirasi tersendiri bagi beberapa seniman, karena memang bagi saya hal seperti itu sangat inspiratif. Kalau terjebak macet, memang lucu kalau kita melihat mural yang bisa menghibur dan bisa membuat kita ketawa. Ini mungkin spirit seni Jakarta menurut saya.

Jadi menurut saya, seniman ini menikmati kehidupan Jakarta. Jakarta adalah kota yang sangat inspiratif.

M

Mungkin, Jakarta adalah tempat dimana orang-orang menumbuhkan sense of humor karena harus mencari hiburan untuk diri sendiri dan menghibur orang lain dengan kerasnya situasi kota ini.

S

Iya, dan menurut saya juga karena mereka keluar dari comfort zone. Kalau orang berani keluar dari comfort zone, mereka akan terdorong untuk berkreasi supaya tidak bosan – saya juga mengalami hal seperti ini. Apapun yang kita alami, hidup tidak mungkin lancar dan lurus saja, jadi orang berkarya – baik di dalam atau di luar konteks seni rupa. Semua orang perlu berlibur, dan berkarya adalah bentuk liburan menurut saya. Kalau tidak mau bosan, berkaryalah. Berkarya itu bukan bekerja, justru liburan.

Tanpa itu, di Jakarta pasti bakal banyak orang gila. Jadi idealnya, akan lebih baik lebih banyak seniman daripada orang gila. Karena menurut saya batas antara kegilaan dan kreatif itu tipis.

M

Apa rencana mendatang bagi Sari, dan kapan akan ada eksibisi solo seperti “Rayuan Pulau Kelapa” lagi?

S

Kalau eksibisi solo, saya belum merencanakan. Saya benar-benar menahan pameran solo karena saya tidak mau isi pameran sekarang sama dengan yang sebelumnya. Saya harus menemukan media baru supaya saya bisa keluar dari comfort zone saya. Sehingga akan ada bentuk baru, dan orang juga bisa melihat bahwa eksibisi solo mendatang saya adalah suatu hal yang saya belum pernah lakukan. Sekarang ini, saya masih dalam proses belajar, mungkin bahasa ilmiahnya sedang dalam fase riset data. Menurut saya, proses ini tidak bisa sebentar, dan saya percaya bahwa sesuatu yang instan akhirnya cenderung tidak bagus. Saya lebih suka berkarya jika saya sudah terbiasa dengan suatu medium, dan sekarang ini saya sedang membiasakan diri dengan medium baru itu.

Sekarang ini saya sedang suka merekam video. Saya membuat proyek bersama beberapa teman saya, namanya Jakarta Above and Beyond. Inspirasinya kota Jakarta, dan kita mencoba memberi sudut pandang dari diri kita masing-masing. Kita orang dengan berbagai pekerjaan, tetapi sama-sama menikmati hang out di Jakarta. Jadi menurut kita, orang tidak perlu takut dengan kota Jakarta. Meskipun traffic-nya sucks, tetapi orang masih bisa berkarya di kota ini. Jadi intinya kami mau memberi jendela mengenai orang-orang Jakarta yang bisa membangun subculture-subculturenya disini. Bahwa dibalik semua yang diberitakan, Jakarta adalah kota yang hidup. Jadi, sekarang saya sedang mencoba mendalami media ini. Sebuah hal yang mungkin bisa menjadi inspirasi pameran tunggal saya nantinya. Saya tidak pernag memposisikan pameran tunggal sebagai tujuan utama. Bagi saya, sekali lagi pameran tunggal, sudah cukup, dan saya tidak mau melakukannya dengan terburu waktu.whiteboardjournal, logo