Mengelola Seni bersama Amna Kusumo

26.08.15

Mengelola Seni bersama Amna Kusumo

Ken Jenie (K) berbincang dengan Direktur Yayasan Kelola, Amna Kusumo (A).

by Ken Jenie

 

K

Bagaimana awal mula ketertarikan Ibu Amna kepada dunia kesenian? Apakah ada background sebagai praktisi seni sebelum berkonsentrasi di bidang managerial dan memulai Kelola?

A

Saya bukan seniman, sama sekali bukan (tertawa), tetapi entah kenapa saya selalu senang dengan dunia seni, padahal saya tidak berasal dari keluarga yang berseni atau yang suka nonton pertunjukan seni. Tapi memang dari dahulu saya senang nonton dan datang ke Taman Ismail Marzuki.

K

Apakah ketertarikan ini sejak usia muda?

A

Nggak juga, saya sewaktu SMA sudah mulai tertarik, lalu ketika saya ada pada usia mahasiswa, ketertarikan saya semakin berkembang dengan semakin seringnya saya untuk datang ke Taman ismail Marzuki (TIM) menonton pertunjukan.

K

Di sebuah wawancara antara ibu dengan Performance Arts Japan, Ibu Amna menyatakan bahwa dibawah Gubernur Ali Sadikin, TIM dan seni Indonesia mengalami ‘Golden Age.’ Sedangkan sekarang, seniman visual tidak terlalu sering menonton performance art, dan performance artist jadi juga jarang mendatangi eksibisi seni visual. Apakah ini berhubungan dengan kebijakan pemerintah? Bagaimana Ibu melihat kebijakan sekarang dan bagaimana dampaknya ke dunia seni?

A

Pemerintah sekarang sebenarnya tidak ada kebijakan spesifik yang ditujukan untuk perkembangan seni – tidak ada hal jelas yang dilakukan. Kalau pada zaman Ali Sadikin dulu kebijakannya jelas, beliau ingin menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Beliau membangun TIM di tahun 1969, dan menjadi pusat kesenian pertama di Asia Tenggara. TIM menjadi satu pusat kebudayaan, dan tempat yang keren. Dimana anak muda mau datang kesana karena tempatnya ‘cool’ – ada tempat ngopi, nongkrong, dan lain-lain.

Ketika kemudian masa jabatan Ali Sadikin habis, kebijakannya juga ikut pergi bersama beliau. Sebuah hal yang cukup disayangkan, meskipun program beliau bagus. Pak Ali Sadikin sebenarnya orang yang tidak terlalu mengerti kesenian, tetapi beliau mengerti dan bisa menghargai bahwa kesenian itu penting, jadi beliau selalu mengandalkan dan mendengarkan orang-orang yang paham kesenian. Sekarang, kelihatannya kita sudah tidak punya orang seperti itu. Semoga dengan adanya Badan Ekonomi Kreatif, akan ada harapan baru.

K

Karena TIM adalah pusat kebudayaan, apakah karena sekarang kegiatan di TIM sudah tidak terlalu aktif lagi, dunia seni di Jakarta sekarang jadi terpecah-belah?

A

Sebenarnya tidak terpecah-belah. TIM memang pada awalnya mendasari seni di Jakarta, tetapi dalam perkembangannya kemudian ada kesadaran bahwa Jakarta bukan hanya milik orang Jakarta, tetapi juga milik Indonesia. Banyak seniman dari luar daerah diundang untuk berpentas di TIM, dan kalau seniman dari luar daerah di undang ke TIM, itu adalah suatu kebanggaan. Kalau sekarang, TIM di sewa-sewakan, mereka tidak punya dana untuk program seperti dulu sehingga menghasilkan seniman-seniman legendaris seperti Arifin C. Noer dan Teguh Karya .

K

Apakah program-program di zaman Gubernur Ali Sadikin bisa menjadi solusi untuk masalah-masalah seni jaman sekarang?

A

Tentu saja tidak, karena zaman dan kondisi komunitas seni telah berubah. Yang diperlukan adalah sikap pemerintah untuk mau melihat bahwa seni adalah sesuatu yang penting dan bisa menjadi identitas bangsa, dan dari situ mereka bisa berangkat. Kalau sekarang, seni tidak dilihat sebagai sesuatu yang penting.

Kalau sekarang sepertinya yang diperlukan adalah pendekatan yang berbeda. Dengan kemacetan di Jakarta, kita pecinta seni saja mau nonton di Gedung Kesenian Jakarta harus berpikir dulu, apalagi orang biasa. Jadi memang perlu ada perubahan, tapi pada dasarnya yang diperlukan adalah seni yang dianggap penting dan didukung.

K

Apakah kita memerlukan suatu pusat kesenian?

A

Mungkin perlu beberapa pusat kesenian yang diberi anggaran dan dijalankan oleh orang-orang profesional, bukan yang dijalankan oleh pegawai negeri yang tidak mengerti kesenian.

K

Ada asumsi bahwa pemerintah lebih mementingkan seni tradisional dibanding seni kontemporer, apakah Ibu setuju?

A

Seni tradisional juga tidak terlalu didukung sebenarnya, tetapi masih lebih mendingan karena seni tradisional terjadinya di daerah dan terkait dengan upacara spiritual daerah etnis itu, sehingga masih berjalan. Seni kontemporer sedikit lepas dari faktor seperti ini, tetapi bukan berarti seni tradisional mendapat dukungan yang lebih.

Kita perlu skema besar dimana seniman-seniman bisa mendaftarkan diri mereka berdasarkan suatu merit system. Ini yang kami berusaha lakukan melalui Kelola, tetapi kami adalah organisasi yang kecil. Seharusnya pemerintah yang melakukan ini.

K

Menurut Ibu, kenapa pemerintah tidak menerapkan sistem jangka panjang tersebut?

A

Saya rasa memang tidak ada visi yang jelas untuk Indonesia. Saya ingat di tahun 70 dan 80an banyak cendekiawan seni dari luar negeri yang datang karena Indonesia kaya dalam berbagai macam bentuk budaya. Sekarang saya rasa ini sudah jarang terjadi. Kita sudah tertinggal karena kita tidak mampu mengasuh apa yang kami miliki.

Contohnya, sekolah film di Institut Kesenian Jakarta dibuka, kalau tidak salah, pada tahun 70an dan menjadi sekolah film pertama di Asia. Setelah 45 tahun, sekolah ini masih satu-satunya di Indonesia – bagaimana industrinya mau maju? Sementara di Korea sekarang sudah ada 40 sekolah film.

Orang-orang di dunia film terus memperjuangkan visi mereka. Harusnya film Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, mungkin seperti Bollywood in India.

Jadi memang kalau kita tidak memiliki visi, kita akan ketinggalan. Seni perlu dukungan.

K

Apakah ada harapan dari pemerintah kita untuk lebih mendukung seni?

A

Saya berharap begitu, saya belum kehilangan harapan. Kalau suatu saat itu terjadi, saya akan tutup Kelola dan pergi (tertawa). Saya seorang optimis.

K

Apakah dunia seni di Indonesia berbeda sebelum dan setelah 1998?

A

Kalau dulu, masalah utamanya adalah perijinan. Dulu, semua harus dimintakan ijin, dan setelah 1998 lebih ada kebebasan. Dulu kita harus meminta ijin kepada 7 instansi untuk membuat pertunjukan di luar TIM, yang memiliki ijin tahunan. Dan kalau pertunjukan teater, mereka akan meminta naskahnya – mereka sangat sensitif dengan apa yang dibicarakan di dalamnya.

Penguasa takut pada seni, karena seniman berbicara dengan apa adanya. Seniman jujur dalam mengatakan apa yang mereka rasakan dan pikirkan – dan itu tidak selalu menyenangkan untuk pemerintah. Sekarang sudah lebih bebas.

K

Menurut ibu, secara konten apakah ada perubahan?

A

Mungkin kalau perubahan di dalam konten bukan karena reformasi 98, tetapi karena internet. Saya rasa internet merevolusioner banyak hal. Kalau dulu, orang seni rupa harus mencari inspirasi dari buku, dan buku itu mahal. Sekarang tinggal meriset melalui internet. Dampak ke dalam karyanya sendiri itu sangat individual, tetapi dampak internet sangat terasa.

Banyak yang mencari referensi dari internet yang berisi konten banyak dari luar negeri, dan sedikit ada informasi dari Indonesia, padahal kita punya ragam desain yang luar biasa banyaknya. Kenapa pemerintah tidak membuat sebuah database online untuk desain Indonesia supaya bisa diakses oleh orang Indonesia sendiri? Seorang mahasiswa tidak mau repot-repot pergi ke suatu daerah untuk meriset. Dia akan melakukan risetnya melalui internet, dan jika tidak ada materi dari Indonesia, ya sudah, materi Indonesia tidak akan menjadi bagian dari referensi mereka.

Di sisi lain, saya rasa referensi internet saja tidak cukup. Salah satu yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberi kesempatan bagi seniman Indonesia untuk pergi ke tempat lain. Tidak usah ke luar negeri dulu, tetapi pergi ke tempat-tempat lain di Indonesia. Kita perlu memfasilitasi program untuk saling mengenal.

K

Saya rasa juga begitu, bahwa di Indonesia kita kadang susah untuk mengakses archive kesenian Indonesia yang komprehensif.

A

Anak Indonesia yang muda jadi semakin berjarak dengan seni lokal. Saya rasa ini adalah sesuatu yang konkrit dan bisa langsung berdampak pada banyak hal.

K

Dengan kurangnya dukungan dari pemerintah, menurut ibu, apa yang bisa dilakukan oleh di dunia seni dari level individual sampai organisasi?

A

Semua orang yang aktif di dunia seni telah melakukan apa yang mereka bisa lakukan untuk mendukung perkembangan seni, tetapi memang tanpa dukungan pemerintah, skalanya lebih kecil. Kami di Kelola memberi hibah kepada seniman, tetapi kami hanya bisa memberi 13 hibah pertahun. Kalau kami mampu, kami ingin memberi 100 hibah setiap tahun.

Terutama dalam seni pertunjukan, hampir semua seniman memiliki perkerjaan sehari-hari karena mereka tidak bisa survive meskipun banyak sekali yang datang ke pertunjukan mereka.

Di Amerika saja, orkestra New York philharmonic yang pentasnya selalu sold out, meskipun tiketnya sangat mahal, hanya menutupi 45 persen dari anggaran tahunan mereka. Sisa anggarannya mereka dapat dukungan kotanya, endowment – disana ada tradisi dermawan.

K

Apakah Ibu Amna bisa bercerita tentang Kelola dan bagaimana organisasi ini di bentuk?

A

Ini adalah suatu perjalanan yang personal. Saat saya bekerja di manajemen seni, saya dan rekan-rekan saya sering melihat seniman berbakat, tetapi karena tidak ada manajer, sering diantaranya tiba tiba menghilang. Seniman-seniman yang berhasil, cenderung juga pintar manajemen, dan itu hal yang ingin kami bantu. Banyak seniman yang datang dan bertanya bagaimana cara untuk memanajeri diri mereka, dan ini, bagi saya sangat inspirasional.

Waktu kita mulai di tahun 1998, Kelola adalah sebuah project. Di saat itu, banyak seniman yang berkata bahwa mereka tidak memerlukan manajer, bahwa mereka bisa melakukan semuanya sendiri. Kalau sekarang, kebanyakan seniman akan berkata bahwa mereka perlu seorang manajer, dan menurut saya, ini sebuah hal yang baik – bahwa ada kesadaran positif.

Kita melakukan workshop yang sangat intensif bersama lembaga manajemen PPM. Workshop kami 6 hari, 8 jam perhari, dan setiap malam ada pekerjaan rumah – jadi program ini sekitar 56 jam dalam satu minggu. Pengalamannya setelah partisipan pulang, mereka biasanya bingung menerapkan informasi yang banyak sekali. Jadi setelah pengalaman tersebut, Kelola bertumbuh secara organik, dan berdasarkan respons tadi kami berpikir bahwa program ini perlu menaruh partisipan-partisipan di tempat yang baik dimana mereka bisa belajar cara operasional, bagaimana keputusan-keputusan dicapai, dan sebagainya. Program magang kita muncul dari situ.

Ketika ada kesempatan untuk residensi di luar negeri, kami selalu mengambilnya karena kami rasa ini adalah kesempatan yang penting. Kami telah melakukan ini selama 10 tahun, dan kami mengirim seniman dan manajer seni ke Australia dan Amerika dengan bekerja sama dengan Asian Cultural Council di New York, dan Asialink Center di Melbourne.

Di 10 tahun itu, ada 40 pekerja seni dari berbagai macam bidang yang pergi. Banyak dari mereka yang masih aktif seperti Rifky Effendy, Agung Hujatnikajenong, Asmudjo Jono Irianto, dan Alia Swastika.

Menurut saya pengalaman program kami sangat bermanfaat.

K

Di website Kelola tertulis “… bila kebutuhan masyarakat-masyarakat seni dan budaya bergeser dan berubah, program Kelola pun akan berubah.” Dalam 17 tahun adanya Kelola, perubahan apa saja yang terjadi dan bagimana Kelola mengakomodir perubahan-perubahan ini.

A

Seperti yang saya tadi ceritakan, tentang perubahan organik Kelola, kami selalu berusaha membuka wawasan dan network kita dan menyesuaikannya. Kalau mengenai hibah, kamipun memberi hibah kepada seniman meskipun jumlahnya kecil – 25 juta rupiah. Kami juga mencoba sistem yang lebih transparan, jadi seniman-seniman melamar, dan kami mengundang panel rekan-rekan di dunia seni untuk membuat keputusannya. Yang kami ingin lakukan adalah membuat suatu merit system dimana seniman-seniman bisa mendapatkan keuntungan berdasarkan merit mereka, bukan berdasarkan siapa yang mereka kenal yang berkuasa. Kami menerapkan ini di semua program kelola.

Waktu hibah itu sudah kami lakukan selama 6 tahun, kami mengevaluasi data dan menemukan bahwa hanya 25 persen dari penerima hibah itu perempuan.

K

Saya juga memperhatikan di website Kelola bahwa dari 5 program Kelola, 2 dari mereka, Pemberdayaan Seniman Perempuan dan Hibah Cipta Perempuan. Apakah seniman perempuan kurang di representasikan di seni Indonesia?

A

Betul sekali, bisa dilihat dari hibah itu penerimanya hanya 25 persen yang perempuan. Mungkin di tradisi kita, perempuan jarang mau mengambil posisi pemimpin. Banyak perempuan yang menjadi penari, aktor, dan pemusik, tetapi komposer dan koreografer tidak banyak. Makanya kami dulu namakan program kami Pemberdayaan Seniman Perempuan, dimana kita tidak hanya memberi hibah, tetapi juga banyak hal yang kami lakukan seperti workshop mengenai gender, mengenai leadership, dan mereka semua mempunyai mentor yang mendampingi mereka.

Biasanya seniman mempunyai core-group, perkumpukan teman-teman seniman dimana mereka bisa bertukaran pikiran saat tidak berkarya. Kalau perempuan ternyata tidak memiliki ini. Jadi setelah mereka membuat karya, mereka sendiri lagi. Mungkin mereka tidak mempunyai teman perempuan yang sebidang – saya tidak tahu, tapi realitanya begitu. Ini yang kami coba bangun – membuat mereka sadar bahwa karya bukan hanya terjadi di saat produksi, dan selain melakukan riset personal mendiskusi ide dengan orang-orang yang mereka percaya adalah sesuatu yang sehat.

Waktu saya mau memulai program ini, saya mengirim email ke banyak orang; relasi-relasi kami; saya mengirim 40-50 email bertanya untuk merekomendasi seniman perempuan dari daerah mereka. Banyak jawabannya yang “siapa ya?” dan “nanti dulu deh saya pikirin dulu” – dari semua email yang saya kirim, saya hanya mendapatkan lima nama.

K

Apakah bisa dibilang bahwa dunia seni Indonesia didominasi oleh seniman pria?

A

Saya kurang tahu, tapi secara tradisi, tokoh-tokoh kesenian adalah laki-laki. Apa yang terjadi di ruang publik selalu didominasi oleh laki-laki. Di Padang Panjang saja, latihan teater itu hanya bisa dilakukan di siang hari. Setelah Maghrib aktor-aktornya sudah nggak boleh diluar oleh orang tuanya, kecuali laki-laki – mereka boleh terus di luar. Tidak kaget ‘kan kalau lebih banyak aktor yang laki-laki – banyak cultural constraints. Sering juga terjadi kepada penari, setelah mereka menikah suami mereka tidak mengijinkan mereka menari lagi.

K

Apakah ada perbaikan pada situasi ini?

A

Saya rasa tidak, keadaan ini tidak berubah. Workshop gender itu menarik, karena melalui kelas-kelas ini, seniman-seniman bisa melihat bahwa masalah ini bukan hanya masalah personal, tetapi masalah yang skalanya lebih besar – dan banyak yang sebelumnya tidak sadar dengan hal ini. Untuk mereka, medan perangnya di rumah tangga, jadi memang mereka harus melakukanya dengan diri mereka sendiri.

K

Secara general, apa sebenarnya persepsi publik tentang seni hingga perempuan cenderung tidak diperbolehkan berpartisipasi?

A

Memang kalau menjadi seniman harus berani bebas, dan saat berkarya seniman sering kali menaruh jiwa mereka di ruang publik. Ini membuat seniman rentan, dan seringkali juga, suatu karya tidak sukses. Mungkin banyak lelaki yang tidak suka melihat perempuan dalam kondisi ini.

K

Masalahnya adalah rasa bahwa pria memiliki perempuan.

A

Tentunya. “Kau milikku dan harus melakukan apa yang saya katakan… meskipun di jaman sekarang saya belum tentu menjadi pencari nafkah (tertawa).” Memang ada double-standards.

K

Apakah Ibu bisa bercerita sedikit tentang Festival Kelola, dan apa tujuan festival ini?

A

Setelah 15 tahun, kami ingin merayakan Kelola. Melakukan sesuatu – tidak harus berskala besar, dan ingin melibatkan orang-orang yang pernah menjadi peraih hibah dari kami. Dari situ kita berpikir membuat suatu pertunjukan di Jakarta, tetapi setelah kami berpikir, kalau kita lakukan di tempat seperti TIM, yang datang orang-orangnya akan yang sama seperti sebelumnya. Padahal ada banyak anak muda di Indonesia yang belum pernah melihat seniman-seniman ini. Setelah kami renungkan lagi, kami ber-ide: supaya kami bisa mengajak dan memperkenalkan anak muda kepada kesenian, kita saja yang datang ke mereka. Dari sini ide untuk membawa seni pertunjukan ke kampus-kampus.

K

Semua seniman yang berpartisipasi pernah mendapatkan hibah dari Kelola?

A

Semua kecuali Gilang Ramadhan, tapi kita pernah kerja dengan dia. Kemarin kita melakukan acaranya tanggal 17 Agustus, 2015 saat Universitas Indonesia menerima mahasiswa baru yang berjumlah 8500 mahasiswa baru. Kita tidak bisa melakukan tarian dan teater untuk penonton sebanyak ini.

Yang menarik dari Gilang adalah dia melakukan Komodo Projectnya dia. Dia mengundang musisi dari Flores yang memainkan ritme-ritme etnik, dan juga musisi-musisi lainnya. Pada akhirnya kita selalu kembali kepada prinsip bahwa kami ingin mempromosikan budaya Indonesia dan juga budaya kontemporernya.

K

Bagaimana respons dari para mahasiswa?

A

Tidak ada yang pergi sampai pertunjukannya selesai. Mereka tidak mengenal Komodo Project, dan ini pertama kali mereka menonton musisi-musisi ini. Saya sempat memberi sambutan untuk bercerita sedikit tentang Kelola, dan saya cerita bahwa banyak seniman Indonesia yang terkenal, diundang ke banyak negara, tetapi tidak dikenal di Indonesia sendiri – dan salah satu dari seniman ini akan pertunjukan di kampus mereka, yaitu Nan Jombang Group dari Padang. Saya sempat berkata bahwa Nan Jombang Group sedang berpentas di Chicago dan banyak yang bertepuk tangan – jadi memang banyak anak muda yang tidak tahu tentang seni di Indonesia.

Nggak usah tentang seni pentas, banyak sekali anak muda yang belum pernah membaca sastra Indonesia. Di sekolah sekarang tidak ada membaca novel atau puisi Indonesia, jadi masalahnya sangat dalam. Di Vienna, Austria, setiap hari ada 5000 penonton konser – dan apresiasi ini dimulai dari sekolah, musik masuk ke dalam pendidikan jadi rasa apresiasi sudah tertanam.

Seni harus diperkenalkan. Dan sebenarnya perkenalannya tidak hanya bisa dilakukan melalui pentas, seni juga harus dibaca. Ini salah pendidikan.

K

Ini masalah di level fundamental.

A

Betul. Bagaimana seni bisa diapresiasi kalau di sekolah saja tidak diajarkan. Semoga orang-orang mau mendukung seni Indonesia termasuk melalui Kelola dan berbagai organisasi-organisasi seni lainnya.

Amna Kusumo

Pendidikan:
Universitas Indonesia (Psikologi)

Kegiatan (Terpilih):
Founder dan Direktor Yayasan Kelola 1999-sekarang
Konsultan Budaya untuk Ford Foundation 1997-1998
Ketua Dewan Produksi untuk Art Summit Indonesia 1995
Produser Pertunjukan Budaya untuk World Expo 1986 (Vancouver, Canada)
Produser 4 pertunjukan berskala besar Guruh Sukarno Putra 1978-1986
Produser karya pertunjukan Sardono W. Kusumo 1974-2002

Penghargaan:
Travel Grant dari Asian Cultural Council untuk observasi 4 negara 2000
Grant dari Ford Foundation untuk the Festival in Indonesia in the United States 1988-2002

KELOLA
Jl. H. Abdul Madjid no. 44 R
Cipete Selatan, Jakarta 12410
Indonesia
T: +62.21.75906499
F: +62.21.7661966
e: info@kelola.or.id
FB: www.facebook.com/kelola.or.id
Twitter: @YayasanKelolawhiteboardjournal, logo