Bercerita Lewat Karya bersama Joko Anwar

21.10.15

Bercerita Lewat Karya bersama Joko Anwar

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Joko Anwar (J).

by Ken Jenie

 

H

Bagaimana awal mula ketertarikan Joko Anwar terhadap dunia film?

J

Saya nggak ingat kapan saya tidak tertarik dengan film. Sedari kecil, saya sudah suka film, waktu umur lima tahun saya sudah jalan ke bioskop. Jadi kalau ditanya kapan saya tertarik dengan film, saya tidak ingat kapan saya tidak tertarik dengan film. Kalau soal filmmaking, sejak saya tahu bahwa film itu ada yang bikin, saya sudah ingin bikin film. Itu pikiran yang muncul waktu saya masih SD. SMP kelas satu, saya sudah membuat sebuah play/theater, saya mengadaptasi karya Shakespeare berjudul “The Merchant of Venice.”

H

Joko Anwar berasal dari Medan, apakah di Medan sudah ada kultur sinema?

J

Nggak. Dulu di Medan ada sekitar 5 bioskop, tetapi yang saya bisa datangi karena murah atau bisa lihat dari lubang angin hanya dua – salah satunya Remaja Teater yang saya paling sering datangi. Saya datang dari keluarga menengah ke bawah yang selalu tertarik nonton di bioskop.

H

Darimana keinginan untuk membuat film itu muncul, apakah dari film lokal atau internasional?

J

Lokal dan internasional. Waktu saya kecil saya kira semua film sama.

H

Selain sutradara, Joko Anwar juga membuat musikal dan teater, dan menjadi aktor. Sebenarnya apa tujuan utama Anda?

J

Tujuan utama saya adalah storytelling. Baik film, teater, hingga peran sebagai aktor adalah cara saya untuk bercerita, bisa juga mungkin di masa depan melalui buku dan format-format lainnya.

H

Apakah ada pengalaman berbeda yang didapat sebagai sutradara film, teater, penulis screenplay dan akting?

J

Setiap pekerjaan memberikan hal yang baru. Semuanya berbeda karena kerjaannya berbeda. Menulis berbeda, akting didepan kamera berbeda, dan menjadi sutradara pun berbeda.

H

Bagaimana Joko Anwar memposisikan karakter dalam karya? Karena gaya Anda dalam membuat film selalu berubah, mulai dari komedi, horror, hingga thriller dan sebagainya. Bagaimana pula pandangan Joko Anwar mengenai Wes Anderson dan Alfred Hitchcock yang karakternya sangat kuat tercetak pada film-filmnya.

J

Untuk membuat film, saya tidak melihat genre. Saya tidak mengejar keinginan menjadi sutradara genre tertentu. Saya seorang film buff, dari kecil saya nonton film dan saya tidak pernah milih-milih film yang saya tonton – semua film saya tonton. Jadi membuat film jenis apapun sama saja.

Siapapun pencipta seni tidak pernah mengkarakterkan diri sendiri. Mereka berkarya sesuai dengan impulse yang mereka punya. Kalaupun Wes Anderson dan Hitchcock memiliki karakter, yang membuat definisinya adalah orang lain. Saya hanya ingin bercerita, dan filmmaking itu sesuai dengan impulse dan urge menghadapi ceritanya. Untuk bikin “Kala” misalnya, saya memilih untuk memakai format film noir dan thriller karena dengan style seperti itu lebih menarik bagi saya sebagai seorang filmmaker.

H

Di sebuah interview, Anda berkata bahwa cukup susah untuk memasarkan film di Indonesia karena ada berbagai macam suku yang menyulitkan untuk segmentasi. Bagaimana Joko Anwar melihat format yang universal bagi orang Indonesia itu seperti apa?

J

Itu yang masih dicari oleh semua filmmaker di Indonesia. Tapi memang begitu adanya, di Korea film dibuat untuk orang Korea, dan di Cina film dibuat untuk orang Cina. Kalau membuat film di Indonesia marketnya terdiri bukan hanya dengan latar belakang ekonomi yang berbeda tetapi juga berbagai macam ethnic groups dengan ketertarikan cara bercerita dan subject matter yang berbeda. Jadi untuk membuat film yang bisa mengcapture itu semua, ada beberapa yang berhasil tetapi belum bisa diformulasikan. Saya rasa semua sedang mencari formula storytelling atau marketing untuk keberagaman market Indonesia.

H

Jadi, dari beberapa film yang berhasil dalam skala nasional, belum ada formulasinya. Apakah berarti keberhasilan mereka tersebut adalah sebuah keberuntungan?

J

Bisa dibilang begitu. Saya bilang ini keberuntungan karena saat konsep tersebut diulang kembali, tidak menghasilkan hasil yang sama. Indonesia masih mencari storytelling dan marketing yang cocok untuk masyarakat Indonesia yang beragam.

H

Jika nantinya ada format storytelling yang bisa mencapai segala macam dimensi budaya di Indonesia, bukankah formula tersebut justru akan menyeragamkan film nasional?

J

Nggak juga. Pasti ada orang-orang yang mau membuat film dengan pakem yang berbeda. Di industry film yang sudah mapan seperti Hollywood atau yang di India pasti ada yang berusaha membuat film yang diluar pakemnya. Harusnya disini sama saja.

H

Salah satu masalah yang saya lihat di Indonesia adalah untuk film arthouse susah mencari tempat pemutaran sehingga film-film ini lebih diapresiasi di festival-festival dibanding oleh penonton lokal. Opini Joko Anwar mengenai hal ini seperti apa?

J

Wajar-wajar saja. Film-film yang menarik penonton ke bioskop adalah film yang memiliki cara bercerita yang accessible, lebih gampang dimengerti dan sederhana, sehingga bisa menarik perhatian masyarakat awam untuk menonton. Orang awam kan nonton film untuk terhibur, sebuah escapism, sesuatu yang tidak dimiliki oleh film kategori “arthouse.” Jadi kalau film arthouse di Indonesia tidak mendapat tempat di platform yang lebih komersil tidak apa-apa – dimana-mana juga seperti itu. Cuman memang, di negara yang industri filmnya lebih maju ada tempat-tempat film yang bisa memutar karya yang less-mainstream.

Di Indonesia ada Blitz art-cinema, yang ternyata penontonnya tidak terlalu banyak. Kalau kita berusaha menciptakan tempat-tempat baru untuk sinema alternatif tetapi tidak ada penontonnya bagaimana? Menurut saya, lebih baik membangun penontonnya dulu bebarengan dengan pembuatan venue, bukan venuenya duluan baru diisi.

Salah satu upaya yang paling efektif adalah pengadaan festival film khusus internasional ataupun lokal. Di Indonesia ‘kan tidak ada festival yang memiliki skala seperti JIFFEST dan INAFF seperti dulu – JIFFEST masih ada tapi skalanya lebih kecil, dan INAFF sudah tidak ada. Kita kehilangan sarana untuk mengedukasi penonton menengenai sinema, dan itu sangat disayangkan. Kalau misalnya mau bikin semacam penggerakan supaya orang lebih senang dengan film yang tidak mainstream harus ada festival seperti JIFFEST dan INAFF.

Di Jogjakarta sekarang ada JAFF dan itu bagus sekali, tetapi kita butuh lebih banyak lagi di kota-kota lain.

H

Saya sempat baca bahwa Buttonijo membuat USB Cinema, atau sekarang banyak yang menggunakan Youtube. Bagaimana Anda melihat perkembangan new media untuk medium siar film ini?

J

Semua usaha untuk menciptakan pasar harus diapresiasi dan didukung karena kalau misalnya stakeholder tidak bergerak secara sinergis akan susah. Kalau filmmakernya membuat film yang semakin bagus, penontonnya akan lebih aktif dalam menonton film yang berkualitas, eksibitornya lebih banyak dan beragam, dan pemerintah sebagai pembuat policy juga harus mencipatakan atmosfir dimana ecosystem perfilman bisa bertumbuh lebih baik. Hal-hal seperti USB Cinema membuat sistem distribusi baru yang bisa menciptakan pasar-pasar baru, dan ini kita harus dukung.

H

Perkembangan penonton film di Indonesia sendiri dari tahun ke tahun seperti apa?

J

Sekarang trennya menurun karena terlalu banyak film Indonesia yang dirilis per tahunnya. Dan, sebagian besar dari film-film tersebut memiliki kualitas yang membuat mereka tidak layak ditonton, sehingga ketika ada film Indonesia di bioskop orang terlanjur mengira bahwa film Indonesia tidak layak ditonton.

Ini bukan sepenuhnya salah penonton. Bisa dibilang, kesalahan berada pembuat keputusan. Kesalahannya ada pada orang yang memberi lampu hijau untuk film diproduksi, karena masih banyak sekali orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan film yang baik dan taste, jadi film-film yang diproduksi juga tidak memiliki kualitas dan citra rasa yang membuat penonton ingin nonton film Indonesia.

H

Apakah film-film yang bagus kalah marketingnya dengan film-film yang tidak baik?

J

Film Indonesia secara umum tidak memiliki marketing plan karena masih belum ada kesadaran yang cukup untuk mempromosikan film dengan cara yang baik. Sebagian masih memakai Twitter untuk berpromosi, dan ramai di Twitter bukan berarti ramai di bioskop.

H

Apakah ketiadaan marketing plan ini juga terjadi pada film-film berdana besar?

J

Masih belum cukup. Mungkin film-film yang diproduksi oleh production house yang memiliki hubungan dengan media yang lebih besar bisa melakukan promosi dengan cara yang lebih baik. Tapi, pada umumnya production house tidak memiliki kesadaran untuk menyiapkan uang yang cukup untuk promosi.

H

Idealnya seperti apa sebenarnya pola promosi untuk film?

J

Di luar, biasanya ada alokasi 50 persen dari biaya produksi – jadi setelah produksi akan ditambah setengah budgetnya untuk promo.

H

Apakah konsep promosi dari luar negeri tersebut bisa diterapkan disini?

J

Yang pertama kita tidak punya uang seperti diluar, jadi kita harus mencari model yang lebih cocok di Indonesia, dimana uang tidak terlalu banyak tapi bisa mencapai potential audience-nya.

Dalam film Joko Anwar ada banyak pengulangan aktor-aktor, apakah ada penjelasan mengenai hal ini.

Ah itu sudah biasa. Cocok saja.

H

Apakah ini adalah simbol dimana Joko Anwar merasa tidak puas dengan kualitas aktor di sini?

J

Nggak juga. Memang mereka diajak main film lagi, tetapi mereka juga diaudisi dan screen-test. Tidak ada hubungannya dengan kekurangan kualitas aktor.

H

Sekarang ini, banyak kisah-kisah pahlawan yang diangkat menjadi film, bagaimana pendapat Joko Anwar mengenai fenomena ini?

J

Ini tren saja, nanti juga akan habis. Dulu yang tren film religi, setelah itu nasionalis, sekarang biopic – tren aja sih. Di luar negeri juga begitu, sempat ada film-film yang mengangkat tema alien menyerbu bumi, sekarang sedang tren superhero. Tidak bisa digali lebih dalam daripada itu.

It is what it is – ini adalah sebuah tren dimana para produser mencari apa yang disuka penonton.

H

Apakah sejauh ini ada yang memuaskan Joko Anwar secara kualitas?

J

Saya sih tidak nonton.

H

Apakah sudah apatis duluan?

J

Nggak, Saya tidak ada waktu saja. Sepanjang tahun, saya shooting. Bukan karena apatis, saya senang nonton film Indonesia kok.

H

Beberapa Film Joko Anwar telah menang penghargaan di beberapa festival. Menurut Joko Anwar, nilai penghargaan dari festival seperti apa?

J

Kalau saya sendiri, masukin film ke festival karena dua alasan. Satu karena saya tidak ada uang untuk promo, jadi dengan festival setidaknya akan masuk berita – internasional maupun nasional. Jadi yang pertama itu: membuat awareness supaya orang kepingin nonton. Alasan kedua adalah keinginan untuk mengetahui posisi film kita di pemetaan dunia – apakah film kita bisa diterima di dunia. Ini penting bagi saya pribadi sebagai filmmaker karena saya ingin tahu apakah benchmark film saya naik atau turun. Kita bisa tahu apakah film kita bisa diterima di festival film yang penyaringannya lebih ketat, dan kita bisa menjadikan festival-festival ini sebagai alat pemetaan.

Untuk saya sendiri, penghargaan tidak terlalu penting. Saya juga lupa dapat berapa piala saya taruh dimana. Pemberian award sangat subyektif. Saya sempat menjadi juri di Indonesia dan juga di luar, jadi saya tahu betapa subyektif sebuah penghargaan.

H

Bagaimana melihat pasar internasional yang perhatiannya mulai berpaling ke film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir…

J

Saya kurang sepakat. Ketertarikan masyarakat internasional itu masih berupa ilusi. Orang-orang tertarik dengan film The Raid dan pemain-pemainnya karena nilai-nilai filmnya banyak yang menonjol. Apakah dunia sudah melirik ke Indonesia? Mungkin, tetapi tidak cukup signifikan. Tidak cukup untuk bikin ge-er, dan memang tidak perlu ge-er.

H

Jadi menurut Anda ini bukan momentum yang bisa dimanfaatkan karena perhatiannya tidak sebesar itu?

J

Semakin lama semakin banyak film Indonesia yang mendapat pengakuan dari festival bergengsi seperti Sundance, Cannes, Toronto dan lainnya. Tetapi belum cukup dengan 5 orang yang diterima di festival Internasional yang bergengsi, lalu dikatakan bahwa ada kemajuan pada perfilman seluruh Indonesia. Harus lebih banyak lagi filmmaker yang memiliki achievement, dan saya rasa ini adalah sesuatu yang kita perlu kembangkan.

H

Joko Anwar juga bergabung dengan Indonesian Film Directors Club (IFDC), esensi asosiasi ini dalam perkembangan sutradara seperti apa?

J

Kami setidaknya kumpul-kumpul berbagi pengalaman dan menghadapi masalah-masalah bareng. Tadinya belum ada tempat dimana semuanya melebur.

H

Apakah IFDC menjembatani antara beberapa geng/kelompok sineas?

J

Geng-gengan… saya kurang sepakat. Mungkin lebih ke klik-klik’an… saya rasa sudah tidak ada geng sekarang setahu saya. Mungkin masalah beda tongkrongan saja – ada yang kantornya di Jakarta Selatan, di Jakarta Utara dan lainnya.

H

Apakah IFDC memiliki misi besar seperti misalnya membuat tuntutan ke pemerintah atau standarisasi?

J

Sekarang ini kami belum menuju kesana, sekarang ini kami masih fokus dengan berkumpul.

H

Apakah ada agenda tahunan?

J

Kalau tahunan ada IFDC Awards, ada workshop, diskusi dengan sutradara dan kolaborator-kolaboratornya.

H

Joko Anwar juga sempat bikin workshop dimana penulis-penulis screenplay diundang. Bisa cerita sedikit mengenai workshop ini?

J

Tahun lalu (2014) saya membuat workshop untuk 10 penulis baru. Dari sekitar 700an orang yang daftar kami pilih yang menurut kami paling berbakat dan mereka mengikuti workshop 6 bulan gratis. Tujuannya adalah untuk membantu memberikan pintu masuk untuk orang-orang yang memiliki bakat di filmmaking. Selama ini banyak yang bikin film yang tidak punya bakat, dan banyak yang punya bakat tetapi tidak tahu belajar dimana dan tidak tahu cara mengasah skill mereka. Ini adalah salah satu dari misi saya, untuk membantu memunculkan penulis skenario baru.

H

Apakah bisa dimaknai juga bahwa program ini mengisi kekosongan edukasi film di Indonesia.

J

Iya, mungkin.

H

Joko Anwar sedang mengerjakan TV series. Bagaimana perbedaan antara membuat film dan TV Series.

J

TV series pasti berbeda dari segi storytellingnya. Kalau di bioskop orang siap untuk memberi perhatian mereka sepenuhnya terhadap sebuah film. Kalau TV series pace-nya lebih cepat supaya orang tidak bosan.

H

Di film-film Joko Anwar musik sidestream posisinya lumayan sentral. Apakah sepenting itu musik sidestream?

J

Saya tidak membedakan musik sidestream atau mainstream, yang penting good music saja. Good movies are good movies, bad movies are bad movies, dan saya pikir sama halnya dengan musik. Kebetulan taste gue musik-musik seperti itu, jadi saya tidak sengaja untuk mencari yang beda.

Dalam membuat film saya juga tidak berusaha menjadi yang berbeda, hanya memang taste saya disitu saja.

H

Bagaimana Joko Anwar memposisikan sebuah film, apakah sebagai kerjaan atau karya?

J

Harus bisa menjadi karya yang bisa dimonetisasi dong. Film adalah format karya seni yang membutuhkan sumber daya manusia dan finansial yang besar, jadi paling tidak harus bisa balik modal.

H

Tidak banyak film komedi yang berkualitas, padahal orang Indonesia humoris dan sering ada kejadian sehari-hari yang lucu. Menurut Joko Anwar kenapa?

J

Karena belum ada yang bisa membuat film komedi yang bagus saja. Ada kok beberapa yang bagus.

Komedi adalah suatu common sense yang dimiliki semua orang, jadi humor itu sesuatu yang tidak bisa bohong. Lelucon yang jelek tidak bisa ditutupi dengan editing, seperti pada film action. Either you have it or you don’t have it. Tadi Anda bilang banyak orang yang lucu… Maybe, tetapi bagaimana mentransformasikan cinematic storytelling adalah pekerjaan yang juga sulit.

Kalau misalnya orang membuat video 2 menit yang lucu mungkin bisa, tetapi untuk mengembangkannya menjadi feature film yang 90 menit adalah masalah baru.

H

Bisa bercerita mengenai proyek-proyek Joko Anwar yang akan datang?

J

Saya ada banyak ide. Salah satu yang pasti akan saya bikin tahun depan adalah Executors, bergenre action drama mengenai 5 anak muda yg membully politikus Indonesia. Terus ada drama 24 Frames per-Heartbreak aka Masturbation is the Perfect Cure for Insomnia, sama bagian kedua dari trilogy a Copy of My Soul. whiteboardjournal, logo