Jakarta dan Seni Rupa bersama Indra Ameng

06.01.16

Jakarta dan Seni Rupa bersama Indra Ameng

Whiteboard Journal (W) berbincang dengan Indra Ameng (A).

by Ken Jenie

 

W

Sebelum aktif di ruangrupa, mungkin bisa diceritakan background Indra Ameng?

A

Dari tahun 1993 sampai tahun 1998, saya kuliah di IKJ jurusan desain grafis. Dan di situ saya yang awalnya masuk dunia baru, dunia seni, akhirnya memutuskan untuk terjun dan benar-benar hidup dari bidang seni rupa. Walaupun waktu itu di IKJ kampusnya ada berbagai macam cabang, ada film, theatre, ada musik dan semuanya, tapi hubungannya kami saat itu dekat jadi kami masing-masing bereksperimen pada masa itu. Jadi anak seni rupa ikut bantuin theatre, anak seni rupa ikut bantuin film, anak seni rupa ikut bantuin acara musik. Dari situ akhirnya kami tidak cuma bekerja di wilayah yang hubungannya seni rupa saja, tapi juga ke berbagai area lain.

W

Apa yang kemudian mendorong Ameng untuk terjun sepenuhnya ke dunia seni?

A

Itu dari kecil banget. Saya ingat waktu SD, kalau ditanyain mau jadi apa, saya selalu jawab mau jadi seniman.

W

Bagaimana ketertarikan Ameng terhadap seni saat usia muda?

A

Intinya sebenarnya sampai sekarang pun saya masih menggunakan background atau sense seni rupa saya untuk melihat segala macam peristiwa. Kalaupun saya bekerja di bidang lain, saya tetap mengandalkan sense seni rupa saya untuk cara melihatnya. Saya melihat segala sesuatu dan mengawalinya dari visual untuk dianalisa, atau untuk men-develop-nya lebih jauh kemudian.

W

Apakah visi ini terbentuk sejak kuliah di IKJ atau sedari kecil?

A

Sebenarnya sih sepertinya dari kecil, tapi kalau pas di IKJ itu, mungkin saya jadi mempertajam wawasan saya saja sih. Di IKJ, saya banyak belajar dari teman-teman, terutama dari para senior, mereka banyak banget berpengaruh kepada pola pikir saya.

W

Bagaimana Ameng mulai terlibat dengan Ruang Rupa?

A

Setelah lulus, saya sempat bekerja di production house bersama beberapa teman. Disana saya bikin video dan segala macam aktivitas production house. Kebetulan ruangrupa dijalankan oleh teman-teman saya dari jaman kuliah, jadi kita memang sudah dekat, dulu kami sering mengerjakan projek bareng, di satu kesempatan saya diajak bergabung untuk mengerjakan salah satu project.

Ruangrupa berdiri tahun 2000. Di tahun 2001, saya diajak untuk menjadi project officer dari satu project bernama Jakarta Habitus Public. Project ini sebenarnya berkonsep public art project, bagian dari Jak Art di tahun 2001. Jadi waktu itu kita membuat suatu projek yang mengundang sekitar 70 seniman untuk membuat karya di ruang publik. Nah awalnya dari situ, terus sesudah itu saya pindah ke ruangrupa.

W

Kalau begitu, memang ruangrupa itu memiliki visi yang sama dengan Ameng, atau Ameng yang beradaptasi dengan visi ruangrupa?

A

Dari awal kami memiliki kesamaan visi, terus kami sama-sama merasakan kebutuhan untuk tempat seperti ini. Karena memang di masa itu, di tahun 2000, keadaannya memang hampir bisa dibilang belum ada tempat yang mampu mewadahi. Kita membutuhkan arts initiative, arts space yang bisa mengakomodasi seniman muda, juga untuk wadah bagi wacana mengenai hal-hal baru yang berhubungan dengan visual culture. Seperti ketika di satu waktu, kami membicarakan masalah kota, sebagai salah satu dari efek politik 98 gitu, dimana semua orang jadi lebih open. Ada banyak banget yang tertahan dan semua orang ingin membikin sesuatu, ruangrupa menjadi salah satunya, dan juga mendapatkan momentum dari kejadian tadi.

W

Jadi itu visi dari awal atau memang organik?

A

Visi awal kami adalah untuk membuat space, makanya ruangrupa sebenarnya ngomongin space di awal tahunnya. Jadi menurut saya, entry-nya itu dari space, kami membicarakan masalah kurangnya ruang alternatif di Jakarta untuk kegiatan seni rupa.

W

Mengapa ruangrupa sangat berfokus kepada lingkungan urban?

A

Mungkin karena kami berbasis di Jakarta dan itu yang kita alamai. Yakni tentang masalah urban dan concern-nya itu tentang space. Dimana di kegiatan sehari-hari itu kita mau jalani trotoar sudah ada warung. Di sini kita memang membahas perkembangan kota melalui seni rupa. Kami memakai seni rupa untuk melihat kejadian di kota dan untuk kita mencoba membahas dan mendevelop itu sebagai project seni rupa. Terutama mungkin karena, kami membutuhkan tempat yang men-support seniman seniman muda yang tidak mendapat tempat, juga mungkin untuk semacam laboratorium seni rupa.

W

Bagaimana keadaan seniman Jakarta sebelum kejadian ‘98?

A

Menurut saya, ada institusi yang kuat, mulai dari eksistensi tim yang tadinya mendukung banyak aktivitas tapi udah mengarah ke stagnant. Kebanyakan galeri yang ada tidak lagi bisa menampung ide-ide baru.

Galeri-galeri lebih berfungsi ke seni komersil, jadi akhirnya, tempat untuk seni eksperimental, untuk ide-ide baru sudah bisa dianggap tidak ada. Padahal sebenarnya kita memiliki kuantitas dan kualitas secara potensi. Tetapi pada akhirnya, pikiran-pikiran baru yang tadinya memiliki gagasan yang bisa dianggap maju, atau bisa dianggap sebagai pemikiran yang lebih maju atau kritis, itu akhirnya tidak bisa berkembang karena tempat pamerannya tidak ada, atau tempat presentasinya tidak ada. Mereka harus berkompromi sepenuhnya dengan pemikiran konservatif atau berkompromi sama yang komersial. Jadi akhirnya tidak ada tempat. Jadi impoten.

W

Apa yang terjadi pada seniman-seniman dengan gagasan yang maju di Jakarta, sebelum adanya ruangrupa?

A

Mungkin kalau seniman tersebut masih mahasiswa, di kampus, atau selepas kuliah, jadinya mereka terjun ke industri saja.

Padahal, sebenarnya potensinya banyak. Dan, satu lagi sebenarnya, kami merasa Jakarta punya potensi untuk bisa membuat aksinya sendiri, tapi saat itu lebih ke Jogja dan Bandung yang lebih kuat pergerakannya.

W

Jadi menurut Ameng, seperti apa karakter seni Jakarta?

A

Kalau lihat Kota Jakarta, sebenarnya kesan pertama tentang karya seninya adalah tipe karya yang cenderung kasar, banyak yang brutal, straightfoward, raw. Di satu sisi ada lagi karakter karya yang sifatnya cepat. Ada kecepatan pada karyanya, sifatnya instan, terutama dari cara pengerjaannya, karena sepertinya tidak ada waktu. Waktu sangat menentukan sebuah karya, saya pikir waktu adalah satu hal yang sangat menentukan untuk etos kerja seorang seniman. Jadi pergantian di Jakarta itu cepat sekali. Sifatnya sangat responsf. Dan ya itu, cara ekspresinya cenderung kasar. Walaupun pasti pandangan ini tidak bisa merangkum karakter seni Jakarta secara menyeluruh, tapi tendensinya seperti ini.

W

Apakah karena sifat ruangrupa yang demikian organik, makanya ada program-program seperti okevideo? Sekarang ini, di atas tahun 2010, seni Jakarta itu makin berkembang atau bagaimana sebenarnya? Fase apa yang sedang dijalani oleh seni di Jakarta?

A

Kalau saya melihatnya seperti ini, kalau sekarang, yang menyenangkan adalah banyaknya kantong kreatif, lebih banyak tempat baru, banyak juga komunitas, atau artist group yang muncul dan tumbuh. Yang paling menyenangkan adalah dengan begini, ada teman-teman yang juga berkerja di field yang sama tetapi dengan ideologi masing-masing. Ada dari bidang film, photo, hingga street art. Tapi sebenarnya kalau dilihat lagi, semuanya memiliki visi yang sama, yakni untuk perkembangan visual culture. Ada yang membicarakan kritik terhadap society, terutama yang membangun ide-ide baru. Yang kontekstual dengan jamannya, mungkin bisa dibilang sebagai seni kontemporer. Nah keadaan yang demikian akhirnya menciptakan kompetisi yang sehat, dan sebenarnya keadaan yang demikian sangat menyenangkan. Karena masing-masing akan semakin berkompetisi untuk menjadi yang paling dikenal.

W

Ameng sendiri pernah berkarya dalam bentuk video klip, meski fokusnya lebih ke foto. Kenapa Ameng memilih medium foto?

A

Dasar saya memang awalnya dari grafis, karena saya berbasis di desain grafis. Awalnya pasti lebih ke print ya, tapi kemudian keterusan disitu. Begitu masuk semester-semester akhir di kuliah, dan bekerja bareng anak cinema kemudian mulai tertarik ngerjain video. Waktu itu, memang kita lagi tumbuh bersama di Jakarta music scene yang baru, ketika itu muncul banyak band-band keren. Lalu kepikiran, “Wah kita bikinin aja videonya.”

Kalau transisi video ke foto juga seperti itu biasanya, saya pikir kalau anak yang kuliah di seni rupa pasti tertarik dengan medium foto. Tapi kalau untuk akhirnya, saya memilih untuk fokus di hal-hal yang basic dari bidang fotografi. Saya lebih melihat posisi saya seperti observer. Dan, fotografi sepertinya merupakan medium yang paling cocok dengan karakter observer itu tadi.

W

Ameng pertama kali terjerumus di musik gitu gimana? Pernah ngeband tidak?

A

Saya tidak bisa bermain musik sama sekali.

W

Sama sekali? Nyanyi?

A

Tidak bisa… bernyanyi bisa sih kayaknya (tertawa). Musik memang salah satu hal yang saya suka, saya senang, tetapi saya tidak ada keinginan untuk menjadi performer. Kalau mungkin saya suatu waktu membuat musik, mungkin sifatnya saya bikin studio, tetapi untuk menjadi performer, saya tidak tertarik.

Awalnya saya senang musik waktu kuliah, jadi mulai di IKJ terus sempat bikin acara-acara musik di Poster tahun 90an dan di kampus. Saat itu lagi tumbuh scene musik baru, dan saya diminta teman-teman kampus yang punya band bernama Rumah Sakit untuk menjadi manajer mereka. Awalnya disitu, jadi otomatis aya langsung masuk ke scene musiknya dari situ.

Di jaman itu saya juga terlibat membantu biro desain bernama Satellite of Love yang sering mengerjakan album cover. Setelah itu saya mulai ke video klip. Tapi saya hitungannya lebih banyak produserin dibandingin jadi sutradaranya.

Musik sifatnya lebih cair dibanding seni rupa menurut saya. Seni rupa sering dianggap lebih rumit atau lebih berat. Seni rupa berkesan lebih berat, dan musik lebih aksesibel. Aksesibilitas seni rupa adalah hal yang ruangrupa ingin, mencoba membuat seni hal yang santai dan lebih relatable, yang sebagian dari kehidupan biasa.

W

Saya setuju sih kalau fine art itu agak intimidasi gitu karena lu takut ga ngerti gitu kan?

A

Iya bener. Itu yang kayak ada semacam, udah ada semacam jarak yang dibangun dari dulu antara si produksi di seni rupa, di karya seni karena sebenarnya transformasi pengetahuannya ke masyarakat itu emang kayak terbatas juga kan aksesnya dan juga kayak nih, yang tau tau aja lah gitu. Apalagi menggunakan bahasa bahasa yang semakin susah. *Laughs*

W

Kesannya cuma orang yang belajar tentang seni ini yang bisa menikmati seni.

A

Iya .

W

Sebagai orang yang sangat visual, menurut Ameng bagaimana pentingnya hubungan antara musik dan visual?

A

Penting banget menurut saya. Ok, musik yang paling penting, tetapi yang akan diingat orang selamanya atau yang akan diingat dalam sejarah selamanya adalah imagenya. Contohnya seperti Iron Maiden atau David Bowie – semua akan ingat imej mereka, jadi penting sekali untuk memiliki visual yang bisa merepresentasikan musik dan attitude-nya. Tidak bisa lepas menurut saya.

W

Apakah arahan visual untuk White Shoes and the Couples Company datang dari Ameng atau dari band-nya sendiri?

A

Arahannya datang dari White Shoes, saya hanya memberi mereka beberapa ide dan saran. Tapi pasti awalnya dari anak-anak. Saya bekerja sebagai fasilitator dan mediator saja.

W

Selama ini berapa band sih yang Ameng manage? Rumah Sakit dan White Shoes saja?

A

Tiga sih sebenarnya. Dulu di awal tahun 1994 atau 1993. Dulu ada band bernama Pepper Light, mereka meng-cover The Cure, Smashing Pumkins dan band jaman 90an lainnya. Mereka berusaha mengarang lagu sendiri, tetapi band-nya tidak terlalu jala. Pepper Light akhirnya bubar jadi saya fokus kepada Rumah Sakit sampai tahun 2004. Nah, setelah itu saya baru bersama White Shoes. Kalau White Shoes, saya menawarkan diri menjadi manajernya. Kalau waktu Rumah Sakit saya yang diajak.

W

Apa yang membuat Ameng tertarik dengan White Shoes & the Couples Company?

A

Di tahun 2000an awal saya aktif di musik dan sangat tertarik terutama dengan scene musik independen. Saya perhatikan bahwa band di tahun 90an dan 2000an kebanyakan ter-influence oleh scene musik Inggris dan Amerika dengan genre seperti Garage atau New Wave. Tiba-tiba saya dengerin White Shoes, saya nonton dan dengarkan – gila ini band reference Indonesianya yang asik.

White Shoes memiliki unsur Indonesia yang kental, dan saya anggap jarang banget yang bisa mengcapture esensi musik seperti mereka. Kalau kita lihat sebenarnya banyak yang bisa dibilang retro – ada Naif yang angkat era 60an di awal karirnya. White Shoes sangat unik dalam menggarap inspirasi dan karya mereka. Dan meng-organize gig itu adiktif menurut saya.

W

Adiktif seperti apa?

A

Tidak tau sih – menurut saya itu salah satu pekerjaan yang buat saya senang karena kita coba membuat satu acara yang bisa bikin senang banyak orang. Itu sih… adiktif aja buat saya.

W

Bisa bercerita dikit mengenai The Secret Agents?

A

The Secret Agents kebentuk saat diundang membuat pameran foto oleh Unkle 347. Saat itu saya lagi senang banget motret, saya juga tahu bahwa Keke senang motret dan saya suka karyanya. Setelah pameran bersama Unkle 347 kami di undang untuk pameran beberapa kali lagi – keterusan.

W

Jadi sebelum mengorganisir acara musik The Secret Agents adalah grup fotografi?

A

Betul, itu dulu baru organise music. Kalau organize acara musik awalnya gara-gara bareng bareng dulu di Park atau di sini [ruangrupa]. Kalau di ruangrupa dulu kalau kita bikin pameran pembukaannya selalu ada musik – biasanya bersama Keke, Nasta dan Batman. Dulu banyak acara di Parc dan Keke juga membuat acara di West Pacific – mulainya dari situ.

Superbad didirikan karena kami kangen acara-acara reguler yang dulu diadakan di venue seprti Parc. Kita membuat Superbad acara bulanan karena selalu ada band baru, dan karena berkumpul dengan teman menyenangkan. Jadi kami bisa ketemu teman lama sekaligus menikmati musik yang bagus.

W

Imej Jakarta kalau dari segi musiknya seperti apa?

A

Yah untuk saya Jakarta seperti yang saya alami di jaman IBIS, BIBIS, dan Parc. Ternyata momen-momen itu yang paling memorable buat saya, tahun 90-an. Tetapi di jaman itu alat rekaman belum gampang di akses, jadi yang terjadi dulu susah menginspirasi atau menjadi referensi bagi anak jaman sekarang.

W

Ameng adalah Program Director ruangrupa sekaligus seniman. Bagaimana Ameng mengimbangi karya personal dengan proyek sebagai koordinator?

A

Itu adalah sebuah dilema. Di satu sisi, kami ingin mendukung program untuk seniman muda – mengfasilitasi ekspresi seni mereka, setelah itu sadar mediasi ini adalah sebuah karya seni tersendiri. Kadang terpikir apakah ada waktu untuk karya personal kalau tidak berhenti, tetapi pada intinya karya harus dijalanin saja. Kadang di ruangrupa kami mengingatkan satu sama lain bahwa kita sudah lama tidak berkarya atau pameran.whiteboardjournal, logo