Surfing dan Subkultur bersama Lucky Widiantara

09.03.16

Surfing dan Subkultur bersama Lucky Widiantara

Whiteboard Journal (W) berbincang dengan Lucky Widiantara dari Lucas & Sons (L).

by Ken Jenie

 

W

Bagaimana awal mula ketertarikan Lucky dalam menelusuri budaya skate/surfing? Dan elemen apa dari budaya tersebut yang ingin Lucky angkat melalui label Lucas & Sons?

L

Sejak kecil saya sudah dekat dengan subkultur tersebut. Mungkin ini juga didukung karena saat itu trendnya begitu, mulai dari BMX dan skateboard semua menjadi bagian dari mainan anak kecil di lingkungan saya pada saat itu. Ketika beranjak memasuki usia remaja, ketertarikan ini semakin berkembang jauh, tidak hanya sebagai mainan tapi sudah menjadi bagian dari sikap dan gaya hidup. Karena faktor usia remaja yang selalu butuh pengakuan. Untuk surfing, karena saya tinggal di Bandung saya baru bisa mencoba main surf ketika saya kuliah, karena pada saat tersebut saya baru bisa mengatur waktu untuk tinggal lebih lama di pantai.

W

Apa latar belakang Lucky dalam memulai label Lucas & Sons?

L

Dari dulu, banyak sekali surfer yang datang ke pantai-pantai di Indonesia. Saya melihat bahwa banyak dari mereka itu berprofesi sebagai professional surfer, video maker atau shaper (seniman papan surfing handmade). Ketika berinteraksi, saya banyak bertukar pikiran dengan mereka dan ingin sekali satu hari melakukan apa yang mereka lakukan, yakni untuk menyumbangkan buah pikirannya dalam bidang yang mereka suka.

Akhirnya pada tahun 2009 dengan maraknya internet, saya mulai belajar tentang apa yang diperlukan untuk menjadi shaper, termasuk tentang bagaimana cara membeli material dan tools secara online. Awalnya, saya memulai dengan wooden surfboard berbahan dasar kayu albasia. Setelah berhasil membuat papan pertama dari kayu, saya langsung membuat brand berjudul Lucas and Sons. Kebetulan pada saat itu, saya sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak laki-laki, dan kebetulan saya biasa dipanggil teman-teman sebagai ‘Lucas’. Dalam perjalanan, saya merasa bahwa pengerjaan papan surfing berbahan kayu sangat berat dan lama, jadi saya tidak lagi membuatnya. Saya lantas beralih ke material surfboard seperti pada umumnya, yaitu foam dan resin

W

Produk surfing, khususnya papan surfing lokal tidak terlalu populer, kenapa Anda mulai tertarik untuk membuat papan surfing?

L

Di Indonesia khususnya Jawa Barat, surfing memang kurang populer untuk masyarakat urban. Karena letak kota besar di Jawa Barat jauh dari pantai, tapi mungkin justru karena tidak terlalu populer, sebagian orang mungkin malah justru menikmati status scene surfing Jawa Barat yang bisa dibilang sebagai kelompok minoritas. Komunitas sering surfing di Jawa Barat tidak meledak dan jadi besar, tapi tak pernah mati.

W

Papan surf Lucas & Sons dikenal dengan ilustrasi trompe l’oeil’/optical illusion yang menampilkan desain truck dan roda skateboard. Apa cerita dibalik pemilihan estetika ini?

L

Pada umumnya surfboard yang saya buat selalu menampilkan corak warna atau grafis. Awal mulanya karakter ini lahir dari striping dua classic surfboard atau icon illustrasi dari customer. Dari kebiasaan tersebut, muncul kebosanan dalam membuat grafis yang yang sudah ada. Saya lalu melihat ada kemiripan antara mini simmons surfboard dan oldschool skateboard, dan dari situ kemudian lahirlah graphic trucks yang tampilannya mirip seperti skateboard raksasa.

Tapi penjelajahan saya tak berhenti disitu, setelah berulangkali menggunakan graphic trucks raksasa, rasa bosan itu datang kembali. Muncul keinginan untuk membuat konsep grafis yang sifatnya eksperimental. Kebetulan pada saat itu, saya mendapatkan kesempatan untuk berkolaborasi dengan Nike dalam program yang bernama Seeding, pada program ini seniman yang diajak berkolaborasi akan mendapat kesempatan untuk berpameran dengan karya berbau Nike. Maka muncullah ide membuat Nike Airmax Surfboard.

W

Meskipun berakar di daerah pantai, lifestyle fashion yang berkaitan dengan budaya surfing sering berkembang pula di berbagai daerah-daerah yang tidak memiliki aktifitas tersebut. Menurut Lucky, apa yang membuat budaya surfing relevan dan menarik secara global?

L

Adalah wajar budaya surfing bisa masuk ke segala lapisan masyarakat, bahkan yang hidup jauh dari pantai, karena arus informasi saat ini sangat deras. Dan selalu ada keinginan bagi individu untuk memiliki ketertarikan khusus terhadap sebuah budaya, salah satunya gaya hidup surfing, bahkan meskipun mereka tidak bermain atau bahkan belum mencoba surfing sama sekali. Tapi sering juga, orang-orang tersebut justru “lebih surfing” dari kita yang bermain surfing, dalam artian orang umum kadang seperti lebih paham tentang siapa selebriti di dunia surfing, kontes dunia terpopuler, aksesoris surfing, gaya hidup atau apapun itu. Bisa dibayangkan kalau orang-orang tadi tinggal di pantai dan bisa bermain surfing, mungkin bisa jadi selebriti surfing itu sendiri.

W

Pada umumnya, surfing lokal identik dengan Bali, apakah ada karakter tertentu pada scene surfing di Jawa Barat dengan yang ada di Bali?

L

Surfing di Jawa barat sangat berbeda jauh dengan budaya surfing di Bali. Di Bali, pada satu meja makan malam orang akan bercerita berbeda pengalaman surfing di sore harinya, karena mereka bisa bermain di berbagai macam tempat dengan berbagai macam kondisinya. Di Jawa Barat, spot surfing biasanya hanya ada satu atau dua di satu desa. Jadi kalaupun kita bercerita surfing session di sore hari, ceritanya akan sama di satu meja makan malam. Belum lagi banyaknya surfer yang datang ke Jawa Barat dan ke Bali berbeda karakter, dan itupun membentuk karakter penduduk setempat berbeda.

Spot surfing yang paling populer di Jawa barat biasanya di Pelabuhan Ratu dan Pangandaran, meskipun masih sangat banyak yang masih belum terjamah, ataupun sudah terjamah dan biasa dipakai main tetapi sulit untuk mendatanginya seperti di pulau Panaitan.

W

Dimana spot berselancar favorit Lucky?

L

Biasanya sih saya main di Batu Karas, ombaknya fun, tidak terlalu besar, dan yang paling penting kegiatan setelah main surfing lebih banyak dengan suasana lingkungannya yang santai.

W

Siapa shaper yang menjadi inspirasi dari Lucas & Sons?

L

Kalau berbicara masalah shaper favorit, mungkin saya terlalu banyak karena semua shaper ada karakternya sendiri, contohnya George Greenough dengan inovasinya, Carl Ekstrom dengan gaya asymmetric-nya, Tom Wegener dengan estetika classic-nya, Daniel Thompson dengan futuristisnya. Di luar nama-nama tadi, masih banyak lagi shaper dengan ciri khasnya yang bisa saya teladani.

W

Tahun lalu, Lucas & Sons mengirimkan sebuah papan surfing untuk ulang tahun ikon skateboard Steve Caballero. Bagaimana Lucas & Sons menjalin hubungan bersama Steve Caballero? Apakah ada cerita kolaborasi bersama Steve Caballero dan apa cerita di balik ilustrasi sneaker Half-Cab yang digambar di papannya?

L

Cerita dibalik papan Steve Caballero bermula dari instagram. Saat itu instagram belum terlalu populer, jadi follower Caballero di Instagram masih sangat sedikit, jadi masih sangat mungkin untuk membangun hubungan disana.

Jauh sebelum itu, saya pernah iseng membuat papan dengan graphic ala Caballero, tapi itu proyek senang-senang saja dan papan yang saya buat dipakai untuk pribadi saja. Ternyata, dia tahu dan kami lalu saling kontak. Kemudian berlanjutlah relasi ini ke proyek-proyek selanjutnya, seperti membuat sneaker Halfcab Surfboard, Funboard Cab untuk dia dan keluarganya. Sekarang saya sedang dalam proses kolaborasi lagi untuk exhibition di Kuala Lumpur di bulan Mei tahun ini.

W

Lucky juga bermain musik, bahkan sempat merilis album dimana Lucky dengan organ hammond memainkan lagu-lagu Jazz klasik. Bagaimana perkenalan Lucky kepada musik dan bagaimana sampai akhirnya berpentas musik jazz dengan band Lucas and AB?

L

Perkenalan music saya pada umumnya seperti remaja yang lain, selau mengikuti apa yang sedang trend. Tapi setelah bertualang mengeksplorasi macam-macam musik, saya mulai fokus menyukai jazz yang klasik, yang sebenarnya saya sudah dengarkan sejak kecil meskipun saya ngga tau jenis jazz apa itu. Dan setelah berusaha memainkannya dengan berbagai instrument, mulai dari upright bass, piano, gitar dan akhirnya saya focus ke Hammond Organ.

W

Dari skate, surfing, fashion, sampai dengan musik, menurut Lucky bagaimana hubungan antara subculture dan seni di era sekarang? Apakah batas-batas yang ada di antara subculture-subculture sudah melebur?

L

Menurut saya, subculture itu “sub” dari subculture itu sendiri. Maksud saya disini adalah berbagai macam “sub-sub” itu akan terus datang lagi dalam berbagai bentuk. Ini akan menciptakan subculture yang baru lagi, yang sebenarnya kitapun tidak tahu akan seperti apa bentuk culture yang baru ini.

Saat ini, orang sudah bebas menentukan arah sikap mereka, contohnya longboard surfing pada saat ini sudah tidak membawa icon classic lagi, graphic punk sudah bisa ditempel di longboard surfboard, dan semua perjalanan culture ini tergantung dari pelaku yang ada di dalamnya.

W

Apa cerita dibalik kolaborasi Lucas & Sons dengan Freeform Fabrication?

L

Cerita dibalik kolaborasi Lucas & Sons dengan Freeform Fabrication berawal dari ketertarikan saya terhadap graphic Freeform Fabrication. Mereka memiliki gaya yang sangat sulit ditiru. Dari situ muncul keinginan untuk berkolaborasi, toh secara personal kami dekat satu sama lain, jadi kami bisa menonjolkan kelebihan masing-masing untuk karya yang lebih baik.

W

Apa proyek-proyek mendatang dari Lucky secara pribadi dan Lucas & Sons?

L

Sekarang Lucas and Sons sedang mengerjakan proyek surfboard model. Jadi nanti akan dihasilkan surfboard 1:1 tapi nanti tersedia juga surfboard 1:64, 1:55, 1:43, 1:32, 1:18, 1:12 dan mungkin ada lagi perbandingan lain sesuai dengan permintaan.



Bagi kalian yang tertarik dengan produk karya Lucky Widiantara di Lucas & Sons, silahkan berkunjung ke situs Footurama.com.
whiteboardjournal, logo