Harmonisasi Musik bersama Nikita Dompas

17.05.16

Harmonisasi Musik bersama Nikita Dompas

Febrina Anindita (F) berbincang dengan musisi Nikita Dompas (N).

by Febrina Anindita

 

F

Bagaimana Nikita menemukan bakat di musik?

N

Sama seperti anak kecil yang lain. Awalnya saya suka bernyanyi dan menirukan Brian May dengan raket, dan solo gitar album-album Michael Jackson di tahun 1980an. Seperti anak-anak zaman itu, almarhum ayah saya memaksa saya untuk les piano, waktu itu tahun 1986, supaya saya punya keahlian lain selain bela diri. Dulu saya memang lebih tertarik untuk mempelajari bela diri, namun kecintaan saya terhadap musik tidak pernah berhenti sejak kecil. Dari pertama kali beli kaset sampai akhirnya saya mendapat hadiah gitar elektrik saat ulangtahun ke-12. Sejak itu saya belajar bermain instrumen, belajar kord dengan tetangga. Sejak itu saya mulai mengenal gitar lebih dalam dan pada saat itu masih paralel juga untuk mendalami instrumen piano.

F

Kenapa memilih instrumen gitar?

N

Awalnya karena saat itu, saya merasa gitar jauh lebih maskulin saja. Sejak kelas 5 atau 6 SD memang ada hasrat untuk ngeband, lalu dulu dekat rumah saya ada studio legendaris di mana Iwan Fals, Fariz RM, Kantata Takwa sampai proyek solo Setiawan Djody latihan di situ. Di sana saya bermain sebagai pemain keyboard yang jika dibanding dengan gitaris tidak punya posisi vital dalam sebuah band, saya mulai timbul perang batin dimana saya mulai tergila-gila dengan Metallica dan Sepultura setelah sering melihat mereka latihan di saat saya mendalami piano klasik. Sejak itu saya mulai mendalami gitar.

F

Dasar sekolah formalnya bagaimana?

N

Saya termasuk telat belajarnya. Waktu SMP saya pernah les di Rossi Musik dan belajar ngulik gitar sebentar lalu berhenti. Saya dulu belajar teknik gitar yang menonjolkan speed dan teknik seperti yang biasa didengar di lagu-lagu Sepultura, Steve Vai dan Joe Satriani. Pada akhirnya saya mulai mendalami kord gitar yang tidak terlalu menggunakan teknik spesifik karena saat itu Seattle’s sound mulai naik, saya langsung merasa menemukan lingkungan yang pas karena kord gitar yang berkembang saat itu baru sebatas A, G saja yang bisa ditemukan di musik grunge. Saya mulai menyenangi Pearl Jam dan Nirvana dimana kord yang digunakan tidak sekompleks Sepultura, less skill dan tidak terlalu menggunakan speed dalam bermain gitar. Saat SMA saya mulai mengalami demam jazz karena ingin terlihat beda.

F

Bagaimana perkenalannya dengan jazz saat itu?

N

Awalnya saya mengenal jazz dari musik di mobil teman dekat saya. Langsung kenal acid jazz dari Incognito saat itu saya merasa, wah ini musik yang beda banget dan ribet. Tapi saya melihat itu sebagai jenis musik yang keren sekali, lalu saya tertarik untuk mendalami jazz dari awal bahkan buat band jazz sebelum paham teknik jazz. Lalu saya mulai belajar gitar jazz dengan Oele Pattiselano, gitaris jazz nomor satu di Indonesia. Kebetulan ia memang bukan tipe pengajar, jadi saya melihat dia bermain saja, modelnya self-taught teaching. Setelah diajar di bawah bimbingan Pak Oele, sejak saat situ saya mulai coba menjadi session guitarist bersama Andien dan pada tahun 2001 saya diajak teman untuk ikut workshop jazz dengan profesor dari Jerman, Tjut Nyak Deviana dimana saya mulai mendalami jazz secara progresif sampai akhirnya saya sekolah musik.

F

Apakah ada perbedaan ketika belajar gitar dari tokoh musik lokal seperti Oele Pattiselano, Tjut Nyak Deviana, dengan ketika belajar dari tokoh internasional seperti Ahmad Ananda, John Stowell hingga Hideaki Tokunaga? Apakah ada cerita menarik ketika belajar dari tokoh-tokoh tadi?

N

Wah banyak sekali. Dulu saat saya bersama Pak Oele karena ia bukan tipe pengajar yang menjelaskan step-by-step. Yang ia beri dan bawakan adalah pengalaman ia sekian tahun dalam dunia jazz Indonesia. Jadi untuk memahami dia, saya harus mengenal orang-orang di bawah dia, saya meraba apa yang ia mainkan di depan saya. Lalu justru saat saya belajar dari mentor-mentor luar negeri baru mengenal not balok yang baik dan benar dari dasar sekali. Ternyata susah sekali belajar membaca not yang baik.

F

Seberapa penting Nikita melihat pembelajaran teknik dalam bermusik?

N

Wah penting sekali. Teknik penting karena ibarat bagaimana caranya kita merangkai kata, apalagi kalau bicara jazz. Seperti ada pembeda antara bahasa baku dan kasual. Jika didengar secara langsung, akan ada perbedaan kata yang dipakai serta grammar, namun dasar yang membuat kalimat itu bisa dimengerti semua orang adalah adanya teknik yang memang dipahami dan disetujui banyak orang. Atau dalam konteks ini di antara dua orang, sehingga ide yang ingin disampaikan akan dimengerti oleh pendengar. Dengan teknik, seseorang bisa membaca konteks serta situasi dalam mengkomunikasikan idenya. Jadi kalau dalam bermusik, kalau kita sudah paham teknik, apa yang dimainkan di sini, di Jepang akan terdengar sama terlepas “bahasa” yang dipakai. Teknik juga mengasah respons untuk “ngobrol” dimana dua orang musisi bisa bermain secara impromptu.

F

Apakah ada periode musik tertentu yang Nikita anggap sangat kaya akan fenomena?

N

Saya sebenarnya suka semua periode, tapi salah satu yang saya suka dan menurut saya membuka pikiran adalah era Renaissance. Sebelum itu, musik eksklusif milik gereja Katolik, jauh sebelum gospel. Bach dan Mozart dulu tiap minggu menggubah musik untuk liturgi gereja dan memang dipakai utnuk kalangan tertentu saja. Era ini menurut saya semua rahasia dibuka. Dulu Kristen hanya satu, lalu muncul Protestan yang menuntut dokumen untuk dibuka ke masyarakat. Dari dokumen pengakuan dosa hingga liturgi musik dimana sejak saat itu musik dianggap menjadi milik masyarakat. Era ini menghasilkan efek domino yang juga mempengaruhi revolusi-revolusi di era selanjutnya. Dari era Renaissance, saya melihat betapa musik memiliki kekuatan besar dalam mengubah kultur di masyarakat.

F

Bagaimana seorang musisi menggubah aransemen baru untuk lagu lama tanpa menghilangkan rasa asli dari lagu yang telah dikenal sedemikian rupa?

N

Kalau konteksnya aransemen jazz, biasanya kami menggunakan intro atau bagian ikonik dari suatu lagu untuk mengingatkan pendengar akan lagu tertentu. Misalnya saat saya beberapa bulan lalu untuk acara Tribute to Madonna mengambil intro lagu Live to Tell cukup berdasarkan aransemen yang mengena di kuping. Jadi walaupun bagian lagunya diimprovisasi sedemikian lupa, kalau kami tetap membiarkan verse atau intro apa adanya, rasa asli dari lagu tersebut tidak akan hilang.

F

Nikita tergabung dalam banyak band, salah satunya Tomorrow People Ensemble (TPE). Bagaimana Nikita memposisikan diri untuk tiap proyek atau band?

N

Kalau untuk hal ini saya memposisikan diri sebagai musisi yang merepresentasikan suatu proyek. Misal saat bersama Andien, saya akan berusaha untuk membuat Andien lebih bagus dan membatasi diri untuk tidak terbawa dengan perspektif personal. Saat dengan Souleh Solehah sebenarnya juga tidak beda jauh dengan TPE, hanya ada kesan lebih pop. Intinya saya harus bisa melihat bagaimana caranya agar saya bisa melayani masing-masing proyek dan membuat diri fleksibel untuk bisa “melayani” artis yang tergabung dalam proyek itu.

F

Bagaimana dalam mengembangkan gaya untuk tiap proyek?

N

Saya selalu berusaha untuk kontekstual dalam tiap proyek yang saya ikuti. Misalkan ada proyek yang menjadikan saya sebagai Music Director untuk acara musik berisi duet lagu Indonesia, saya akan menilik dulu penontonnya, kalau dilihat dari jenisnya duet, saya tidak bisa membuat acara itu berbau jazz. Tapi tetap ada ciri khas nyeleneh yang memang sudah jadi kekuatan saya serta nilai jual.

F

Bagaimana Nikita melihat esensi karakteristik seorang pemain musik dalam karirnya?

N

Penting ya. Misalnya Barasuara, saya secara personal senang melihat mereka karena saat proses pembuatan Barasuara, saya melihat bagaimana Iga Massardi mengolah proyek ini sedemikian rupa. Saat itu saya melihat bagaimana kepentingan karakteristik seorang pemusik, bisa dari pembuatan lirik hingga penggabungan aransemennya yang tanpa cela. Saya selalu terprovokasi oleh groove yang disampaikan oleh sang pemusik, menurut saya itu esensi yang bisa terekam dalam karir musisi. Karena saya banyak mendengarkan musik, saya bisa menemukan karakteristik yang mungkin sebenarnya tidak nyaman atau tidak biasa ditampilkan oleh musisi tertentu, namun jika diproduksi dengan sempurna sehingga menghasilkan warna baru yang bisa membawa sang musisi ke posisi yang menarik bagi pendengar.

F

Bicara tentang jazz, jenis musik ini mendorong pemainnya untuk terus mengeksplorasi ruang luang dan ketukan nada antar instrumen. Bagaimana Nikita melihat esensi harmonisasi dalam musik jazz?

N

Menurut saya itu nomer satu dari daftar memainkan jazz. Misalnya antara saya sebagai gitaris dan Adra Karim (TPE) yang biasa memainkan piano dalam menampilkan sebuah komposisi. Saya perlu kompromi untuk membuat frekuensi lagu yang harmonis, jika tidak bisa timbul not atau interval yang bertabrakan atau sumbang. Harmonisasi dalam jazz memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan pop misalnya. Ada interval yang jika didengarkan oleh pendengar pop akan terkesan janggal karena ada ketukan-ketukan yang fals atau tidak biasa. Di musik jazz memang karena sudah terbiasa mengekplorasi ranah tersebut, antara pemain sudah memiliki kesamaan “bahasa” dalam mengkomunikasikan cerita dalam nada.

F

Nikita juga menjadi Music Director dan produser untuk Andien. Apa saja yang Music Director lakukan? Dan bagaimana bedanya ketika berperan sebagai musisi?

N

Kalau Music Director untuk proyek bersama Andien, yang saya lakukan adalah menentukan daftar lagu hingga isi band yang akan tampil untuk membantu performa Andien. Saya harus menemukan dan membaca situasi di panggung bahkan acaranya sendiri kadang Andien diundang tampil untuk acara tertentu dimana klien bisa tiba-tiba request lagu yang meleset atau tidak ada di daftar lagu, ya saya dan band harus bisa menampilkan lagu tersebut seamlessly. Saya juga mengatur alur penampilan hingga memilih anggota band jika saat tampil menggunakan band dari kota tempat kami tampil yang kadang kali menuntut saya untuk mengulang lagu yang sama berkali-kali dengan orang yang berbeda. Dari situ saya terlatih dan resisten untuk menilik musik dan performa dengan mendetail.

Dibandingkan saat menjadi musisi, saat jadi Music Director saya memang dituntut untuk lebih fleksibel, karena tugas utamanya adalah memilah komposisi dan memainkan harmonisasi antar personil band dan Andien. Karena bisa saja lagu berubah di panggung begitu saja. Pintar-pintar membaca konteks dan situasi panggung dan penonton karena saya bermain bukan untuk diri sendiri.

F

Bagaimana proses kreatif dalam berkarya saat bersama Potret yang sudah memiliki karakteristik yang cukup spesifik? Bagaimana cara Nikita untuk bereksplorasi?

N

Saya melihat Potret adalah band yang antik. Waktu saya diajak Aksan, saya punya misi akan mengubah cara kerja Potret, saya bilang ke Mas Anto kalau saya mau band ini mulai buat musik dulu, baru Mbak Melly memasukkan lirik dan vokal. Ternyata setelah satu tahun dicoba, cara seperti itu tidak berhasil (tertawa). Dari situ saya mengenal dan mulai mengulik referensi musik Mbak Melly yang cukup mencengangkan. Dulu sekitar tahun 2013 setelah dia pulang dari Los Angeles, Mbak Melly cerita kalau dia mau coba untuk main musik seperti Mac DeMarco setelah nonton konsernya di sana. Saya waktu didengarkan musiknya saja butuh waktu untuk mencerna karena nuansanya vokal dan aransemennya nyeret-nyeret seperti itu. Dari situ saya paham bagaimana mereka mecari referensi untuk diolah dengan gaya mereka. Tapi Mbak Melly memang selalu menaruh perhatian lebih justru kepada musisi yang sidestream atau dianggap medioker oleh industri major. Eksplorasi yang yang saya lakukan untuk Potret justru didapat langsung dari keseharian mereka, misal di mobil bareng Mbak Melly yang memang seleranya cukup nyentrik (tertawa).

F

Bagaimana Nikita sebagai musisi melihat perkembangan industri musik di Indonesia dalam hal kualitas dan kreativitas dalam berkarya?

N

Wah sudah berkembang pesat sekali. Sekarang industri musik Indonesia sudah memiliki inisiatif besar dalam membawa musik lokal ke kancah lebih besar. Contohnya beberapa musisi yang sudah berani untuk mengajak produser luar negeri untuk membuat album saja menurut saya itu sudah brilian.

F

Apakah ada proyek yang sedang Nikita kerjakan?

N

Sejak Oktober tahun lalu saya sedang membuat proyek berupa safe space untuk musisi bersama Prajna Murdaya dan Harmoko Aguswan dimana kami menyediakan alat dan hal terbaik yang diperlukan mereka untuk berkarya atau rekaman. Kami membuat tempat ini agar musisi berpotensi bisa leluasa memikirkan musik saja, tanpa embel-embel bagaimana jalannya karya ini, pemasarannya, dan lain sebagainya. Lalu lambat laun, proyek ini berkembang menjadi sebuah wadah untuk interactive live streaming concert berkerja sama dengan ampli.fi dari Silicon Valley dimana semua orang bisa menyaksikan konser bergenre apapun dari rumah masing-masing yang kami kemas dengan visual dan audio terbaik. Proyek ini bisa dilihat di http://www.shoemakerstudios.com/whiteboardjournal, logo