Sastra Alternatif bersama Ayu Utami

26.05.16

Sastra Alternatif bersama Ayu Utami

Febrina Anindita (F) berbincang dengan penulis Ayu Utami (A).

by Febrina Anindita

 

F

Bagaimana perkenalan Ayu dengan dunia sastra?

A

Sebenarnya saya tidak merasa ada hubungan yang spesifik dengan dunia sastra. Saya mulai menulis sebagai wartawan, penulis kolom di media massa. Kalau membaca, saya memang dari kecil suka baca tapi ketika itu bukan baca buku sastra, lebih ke buku pop seperti Agatha Christie, Lima Sekawan. Meski memang pada saat itu saya juga membaca beberapa buku sastra seperti Umar Kayam dan Ahmad Tohari. Waktu itu ada pembredelan di tahun 1994, kami sebagai wartawan ketika itu memprotes gerakan tersebut. Ternyata kemudian saya dipecat dan beberapa teman saya dipenjara. Di saat itulah saya merasa bahwa saya tidak bisa hanya menulis sebagai wartawan, saya harus menulis novel.

F

Apakah memang keadaan yang mendesak atau Ayu saat itu ingin mencoba menulis fiksi?

A

Ya, tidak sesederhana itu. Sebagai wartawan kami tahu banyak kedalaman rasa yang tidak bisa dimuat dalam dunia jurnalistik. Lalu saat itu kami berhadapan dengan rezim militer, pemerintahan yang otoriter yang tidak mengizinkan wartawan menulis dengan benar. Pers dibungkam dan sastra menjadi alternatif penyampaian kebenaran saat itu. Fiksi dianggap menjadi jalur lain untuk menyampaikan informasi. Dan bukan saya saja yang melakukan itu, kita bisa lihat Seno Gumira Ajidarma yang dulu menjadi pemimpin redaksi majalah mendapat banyak informasi yang tidak bisa ia tulis, maka ia coba tuangkan dalam sebuah cerita pendek.

F

Kenapa Ayu memilih untuk menulis sastra fiksi? Apakah ini merupakan cara Ayu untuk menciptakan dunia sendiri?

A

Mungkin itu pertanyaan orang sekarang. Saat itu, tujuan saya menulis bukan untuk menciptakan dunia pribadi. Saat itu yang jadi perhatian saya adalah politik, melawan pemerintah yang otoriter. Zaman sekarang mungkin orang punya kebebasan untuk membuat dunia pribadi karena segalanya sudah terpapar sehingga orang bisa merancang dunianya.

F

Latar belakang Ayu memperoleh pendidikan formal dari Sastra Rusia UI, apakah ada pengaruh besar dari literatur Rusia dalam cara penulisan Ayu?

A

Tidak terlalu berpengaruh sih. Karena saya bukan orang yang dari kecil sangat ingin menulis novel. Dan waktu di Sastra Rusia UI, saya memilih untuk mendalami linguistik. Ditambah juga pada zaman saya tidak terlalu banyak yang bisa dipelajari dengan buku terbitan tahun 1950.

F

Bagaimana proses menemukan ide untuk salah satu buku Ayu yang paling dikenal, Saman?

A

Saman merupakan novel pertama saya, dimana saya menulis karena saya tidak boleh menjadi wartawan lagi. Jadi, suasana saat itu sangat tegang setelah represi, sekitar akhir Orde Baru. Saat itu saya lihat dibalik kesuksesan pembangunan Soeharto, ternyata banyak sekali penindasan dan ketidakadilan yang melanggar HAM. Saat itu wartawan habis dibredel, banyak yang diculik dan saya mendengar detail apa saja yang mereka alami saat itu. Di balik kesuksesan itu terdapat korban, mulai dari petani dan lain-lain. Dari situlah saya mengolah cerita Saman.

F

Ada kegelisahan di tiap novel Ayu yang dibalut dengan ekstrem dalam beberapa aspek. Apa yang ingin Ayu capai dibalik sikap yang diambil untuk menggambarkannya kepada pembaca?

A

Buat saya, dulu orang merasa hidup di bawah rezim Orde Baru itu nyaman. Tapi di dalam hati, saya merasa manusia itu perlu terganggu, keluar dari wilayah aman dengan cara mengakui kegelisahan. Misalnya bagaimana perempuan ditekan dengan sistem patriarkis, sedangkan banyak orang yang merasa itu adalah keadaan terperi dan baik-baik saja sehingga mereka tidak memiliki kegelisahan tertentu. Tapi sebenarnya dengan begitu mereka membohongi diri bahwa dunia ini baik dan seharusnya begitu. Kalau orang mau berpikir sedikit dan mengakui perasaannya, sebenarnya mereka dapat menemukan kegelisahan yang bersarang pada stuktur yang tidak adil. Misalnya pada masalah keperawanan yang mungkin terdengar sangat personal, namun sebenarnya bersarang pada stuktur yang tidak adil kepada perempuan yang mengharuskan perempuan untuk menjaga keperawanannya sementara laki-laki tidak diharuskan.

“Saman” tentu saja punya kegelisahan yang lain yang terekam dalam 2 level di novel itu. Ia terlihat memiliki kegelisahan mengenai ketidakadilan sosial padahal ia punya kegelisahan pribadi dengan masa lalunya. Sebenarnya semua tokoh dalam novel saya memiliki 2 lapisan yang berhubungan yaitu kegelisahan di level pribadi mereka tapi juga berhubungan dengan struktur nilai dalam masyarakat.

F

Ayu seringkali menggambarkan kondisi sosial budaya Indonesia dalam novel. Dan belakangan karya semacam ini semakin populer, bagaimana Ayu melihat peran tulisan dalam mengajak pembaca untuk lebih kritis dalam menyikapi situasi yang terkait?

A

Ya kondisi yang disayangkan memang tidak bisa diubah seketika. Tentu saya mencoba untuk menggerakkan dunia dimana semua orang setara dan memiliki kebebasan. Buat saya, perempuan perlu memperjuangkan diri agar memiliki hak yang sama atau dilindungi secara setara dengan laki-laki. Tapi di tempat lain ada orang-orang yang berpikir sebaliknya, yang akhirnya melahirkan peraturan seperti perempuan dilarang keluar malam. Jadi, di dunia ini ada gerakan dan kelompok yang bertolak belakang. Nah, jika orang-orang seperti saya tidak bergerak, mereka yang otoriter akan menang. Buat saya, usaha memelihara perjuangan ke arah emansipasi itu penting dan tidak main-main. Memang nanti langkahnya akan berbeda di tiap zaman, tapi kita tidak boleh putus asa.

Ada kasus seorang anak yang diperkosa 14 laki-laki dan sebagian orang masih berkomentar seperti “Mengapa anak perempuan kok jalan sendiri?” Itu sudah sebuah penyerahan kepada struktur yang sangat laki-laki yang membuat perempuan seperti objek, maka perempuan harus dilindungi laki-laki. Tapi pandangan semacam ini tidak mengusahakan sebuah struktur baru yang bagus dimana perempuan sama seperti laki-laki, dilindungi dengan nilai-nilai masyarakat sehingga ia tidak butuh pelindung laki-laki untuk menemaninya jalan-jalan.

F

Spiritualisme kritis didapuk sebagai istilah ketika Ayu merilis buku Bilangan Fu di tahun 2008. Apa latar belakang Ayu dalam mengemukakan ide spiritualisme kritis?

A

Bilangan Fu saya tulis di zaman yang berbeda dibanding Saman. Di Saman, musuhnya adalah rezim militer. Dalam suasana itu, kami percaya rakyat itu baik dan jika diberi informasi yang bebas, niscaya manusia dapat mengambil keputusan yang jernih dan rasional. Sejak era reformasi dan demokrasi, ternyata kekerasan meningkat dan dilakukan oleh masyarakat sendiri atas nama sentimen kedaerahan dan agama. Paling sering atas nama agama. Saat itu saya terkejut dengan situasi dimana bayangan kami akan masyarakat yang baik ternyata belum terlihat di beberapa elemen masyarakat yang sekarang cenderung bersikap intoleran menggunakan dalil agama. Dari situ saya melihat ada yang salah dari cara kita beragama, dimana kadang kita terlalu dogmatis dalam memahami agama, sehingga menghilangkan daya kritis. Penting bagi saya untuk mengingatkan bahwa kita bisa beragama dan kritis sekaligus.

Kalau kita masuk ke kalangan orang-orang kritis, kecenderungan untuk menjadi ateis itu tinggi. Misalnya orang-orang yang skeptis dan kritis juga punya kecenderungan tinggi untuk menghina agama. Hal itu sah-sah saja, tapi saya melihat itu sebagai kecenderungan yang tidak produktif. Tapi jika seseorang berkampanye untuk menistakan agama, menurut saya kurang bijaksana karena agama punya jasa membangun peradaban. Dari situ saya melihat bahwa agama memberi tempat kepada orang yang berada dalam ketidakpastian dan lemah untuk merasa dihargai. Masing-masing kelompok yang agamis maupun ateis bisa terjebak dalam kesombongannya sendiri, dan itu bisa berakhir dengan kekacauan yang tiada henti. Buat saya, masing-masing seharusnya tahu porsinya. Dan sesungguhnya, saya bisa mempertanggungjawabkan bahwa konsep spiritualisme kritis itu mungkin untuk diterapkan.

F

Apakah Ayu sudah melihat contoh nyatanya?

A

Oh ada. Contohnya para imam di Gereja Katolik, mereka harus belajar filsafat. Dan filsafat itu tidak berurusan dengan teologi, jadi mereka harus melihat ateisme dan kebenaran-kebenaran filosofis yang tidak berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan. Ketika saya tiba-tiba mengembangkan spiritualisme kritis, sejatinya ini bukan hal yang baru, tapi saya hanya ingin mengemukakannya melalui pengalaman otentik hidup di Indonesia. Misalnya tanpa harus menyebut filsafat secara spesifik, kita bisa masuk dari pengalaman bangsa seperti bagaimana agama bercampur dengan kebudayaan, bagaimana mereka beralkulturasi, bagaimana ketika nilai-nilai modern masuk mengenai HAM, berdialog dengan tradisi dan agama. Itu semua adalah pengalaman kita sendiri, tanpa harus melalui jalan filsafat Barat atau Timur Tengah.

F

Apakah Indonesia bisa memposisikan kritisisme di atas agama terlepas perkembangan yang telah terjadi yang mengubah kondisi sosial budayanya?

A

Zaman sekarang dengan media sosial, semua orang bisa bersuara. Zaman dulu hanya orang yang terpelajar bisa didengar. Sekarang yang terasa adalah keriuhan dari suara-suara yang chaotic. Kita harus siap dengan suasana chaos yang ribut dengan adanya jarak antara realita dan dunia maya. Kita masih harus menilai apa yang sedang terjadi sebenarnya. Mana yang lebih benar di antara keduanya.

F

Bagaimana Ayu melihat idealisme dalam dunia literatur Indonesia sekarang?

A

Buat saya, kita perlu memelihara idealisme tapi tak harus sepanjang hari melayani satu idealisme, karena manusia memiliki banyak aspek. Dalam menulis, ada beberapa karya saya yang saya pikir idealis akan saya proses sesuka hati saya, misalnya Bilangan Fu, Larung. Tapi di luar itu saya juga menulis untuk berkomunikasi dengan pembaca. Untuk jenis buku seperti itu saya menurunkan parameter, atau dalam kata lain, saya melakukan negosiasi. Karena dalam hidup komunikasi adalah salah satu kuncinya, dan orang seperti saya memiliki keinginan untuk menawarkan nilai-nilai tertentu. Jadi saya akan memakai bahasa yang dipahami pembaca. Tapi memang saya tidak pernah menulis buku semata-mata untuk tujuan komersil karena buat saya kurang nyaman.

F

Bicara estetika, di mana letak estetika sebuah karya tulis? Apakah dari diksi atau gambaran besar dari cerita itu sendiri?

A

Estetika dalam sastra memang berbeda dengan musik dan seni rupa, karena sastra menggunakan bahasa. Bahasa sendiri sebagai salah satu medium karya seni, sudah memiliki masalah sendiri, yaitu ia menggunakan sistem tanda dan memiliki makna yang hanya berlaku di lingkungan pemakainya. Sedangkan dalam musik ada sesuatu yang lebih universal, dimana dalam musik orang tak perlu belajar bahasanya tapi bisa menikmati ritme tertentu tanpa tahu apapun. Sementara bahasa lebih kontekstual, dimana jika seseorang tidak memahami bahasanya, pasti tidak akan paham. Begitupun dengan seni rupa yang berbasis realisme, orang mudah untuk mengerti atau mencari estetikannya.

Dalam sastra, akhirnya estetika tidak hanya pada bentuk, tapi juga pada konsep, pendapat, dan isi pemikirannya. Akhirnya sastra tak hanya terpaku pada diksi, ritme atau pilihan kata, permainan bunyi, aliterasi, dan lain-lain. Tapi tak bisa dilupakan juga adalah cerita dan struktur ceritanya. Apalagi jika sebuah cerita diterjemahkan, aliterasi diksi bisa hilang, karena harus dicarikan penggantinya. Tapi struktur dan isi cerita akan bertahan. Jadi, kedua hal tersebut harus dipertimbangkan.

F

Bagaimana Ayu mengimplementasikan nilai estetika ala Ayu dalam karyanya?

A

Tentu saja buat saya, elemen bahasa seperti ritme, bunyi justru diletakkan di akhir proses. Nomor satu buat saya adalah struktur dan keseimbangan. Estetika bisa didekati dengan sesuatu yang nikmat, yaitu pertama ada ketegangan, keindahan dan keseimbangan. Tentu saja nanti akan bergantung dengan isi cerita. Misalnya, jika kamu memperlakukan tokoh dalam cerita secara tidak seimbang dengan memilah tokoh protagonis yang sempurna sedangkan yang antagonis tidak demikian. Bagaimana kita membuat pertentangan akan dua hal yang tidak seimbang, itu menurut saya tidak estetik. Treatment terhadap karakter membutuhkan keseimbangan yang akan membuat sebuah cerita lebih estetik.

F

Ayu juga cukup aktif dalam berbagi ilmu penulisan, apakah ini merupakan simbol dari kurangnya pendidikan sastra di Indonesia?

A

Pendidikan sastra di manapun tidak pernah cukup. Selalu ada kebutuhan dari seseorang untuk mempelajari hal non-formal. Saya pun juga belajar otodidak, bagi saya orang yang berbakat akan menemukan jalannya sendiri, apakah dengan membaca atau berdiskusi. Nah, kelas-kelas yang saya dibuat untuk orang-orang yang ingin mempelajari itu.

F

Bagaimana pengalaman mengajar sejauh ini?

A

Mungkin yang paling banyak belajar dari kelas yang saya ajar, justru saya sendiri. Anak-anak sekarang lebih berani karena sewaktu kecil tidak banyak represi seperti zaman saya dulu. Dulu, untuk menulis orang harus berani, sekarang tidak. Dan generasi sekarang mempunyai kenikmatan menulis tersendiri yang bisa diraih di media sosial.

F

Apakah zaman sekarang jadinya konsep yang berkembang jadi lebih sederhana, dibanding dengan tulisan zaman lalu yang punya banyak makna implisit. Sedangkan sekarang lebih ekplisit dengan teknik penulisan yang dirancang sedemikian rupa untuk dijadikan karya?

A

Sekarang segalanya mudah, orang bisa menerbitkan buku tanpa editor. Di sini tak ada kekuasaan yang menilai. Jadi semuanya terbuka dan cair. Dengan demikian, sekarang ada banyak sekali ekspresi yang dulu tidak dimungkinkan untuk dicetak atau diterbitkan, sekarang justru bisa terbit.

F

Apakah munculnya pola kreasi baru ini menyalahi sistem yang ada? Apakah Ayu melihatnya sebagai konsep asing dimana mereka bisa menulis tanpa harus memperhatikan struktur cerita, dan justru bereksperimen dengan menggunakan tanda baca?

A

Mungkin kita yang harus mengubah ekspektasi kita mengenai teks. Di era sekarang, apa yang di zaman dahulu tidak mungkin untuk jadi teks publik, kini menjadi mungkin. Jadi jika dulu seseorang bisa menerbitkan teks untuk publik, berarti ia lulus dari screening berlapis-lapis. Sekarang proses screening itu bisa ditiadakan. Jadi memang sekarang tidak ada nilai spesifik karena tidak ada ujian yang dilalui sebuah buku, dan prestige sebuah buku pun telah turun. Sekarang kalau ditanya berapa buku yang sudah kamu terbitkan itu sudah bukan sesuatu yang istimewa lagi. Tapi sekarang di antara banyaknya buku, tetap ada yang berharga dan lebih berharga lagi.

Jadi, kita memang harus melihat dengan kacamata baru, yaitu sekarang konsep mutu yang sekarang lebih mencair. Dulu, penyaringan sebuah buku ada banyak macamnya, sementara dalam masyarakat, hasrat itu penting. Jadi buku yang memenuhi hasrat mereka, itulah yang disambut. Nah, hasrat tak selalu bagus dan tiap zaman memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Jadi, hasrat merupakan sesuatu yang labil. Tapi itulah zaman baru, sekarang kita tidak bisa mengharapkan kejelasan akan semua hal. Banyak hal penuh noise jadi kita kelebihan informasi, dan itulah situasi yang harus kita hadapi. Sebagai penulis, orang harus bersaing dengan hal itu, dan sebagai pembaca juga harus memilih di antara tumpukan jerami. Zaman yang kita hadapi sekarang memang lebih kompleks.

F

Bagaimana melihat posisi perempuan dalam dunia sastra?

A

Sebagai penulis, saya kira sekarang sudah bagus sekali. Misalnya kita harus ingat, salah satu penulis besar di Indonesia adalah Kartini, sekalipun ia tidak bertujuan menulis untuk publik. Ada beberapa penulis di awal kemerdekaan dan memang di tahun 1970-1980 memang ada semacam segregasi dimana sastra didominasi oleh penulis laki-laki, sementara novel populer didominasi oleh penulis perempuan. Tapi sejak tahun 1990, batas antara novel pop dan sastra menjadi cair dan pada saat yang sama penulis perempuan banyak mendominasi blantika sastra Indonesia.

F

Apakah penulis perempuan sekarang sudah lebih bebas dan berani dalam menyampaikan sebuah cerita?

A

Menurut saya, penulis perempuan yang berani sebenarnya bukan parameter kemajuan. Pada zaman-zaman tertentu, mungkin perempuan tidak memerlukan keberanian. Ada zaman dimana orang tidak perlu menjadi pahlawan gagah perkasa. Jadi kadang kita agak salah dalam menetapkan parameter. Padahal sebenarnya ada banyak hal yang harus dilakukan tanpa harus menjadi heroik. Mungkin pada zaman saya, saya cukup heroik dalam arti mengangkat seksualitas ke tataran yang terbuka sedemikan rupa. Tapi tak semua orang harus melakukannya seperti itu. Pada zaman saya, mungkin keberanian diperlukan karena sebelumnya hal tersebut belum pernah terjadi. Jika sekarang keberanian sudah lumrah, apa kita masih perlu mengangkat itu?

Ada beberapa penulis muda yang saya sukai, seperti Rain Chudori, Dewi Kharisma Michellia, Andina Dwifatma. Di era ini, banyak penulis perempuan banyak yang menulis kegalauan yang sangat interior dibandingkan zaman saya. Dulu kami melawan represi pemerintah, unsur pemerintah sebagai elemen yang mencekam atau menantang itu hadir. Sedangkan pada karya mereka, konflik yang ada sangat personal. Tapi mungkin ini memang beda zaman, sama seperti lukisan angkatan 1990 dan 2000, karena mereka mengalami stimulus yang berbeda.

F

Apakah Ayu akan mencoba menulis dengan gaya demikian?

A

Saya akan tetap kritis. Ini ibarat musik pop yang sangat dipengaruhi stimulus zaman, tapi pada level tertentu seorang penulis akan mengarang tema-tema yang abadi. Musik pop tidak bisa diulang dengan cara yang sama, karena zamannya berbeda. Kegalauan interior mungkin itu jatah mereka yang muda. Kalau saya menulis kegalauan eksistensial, mungkin itu bukan hal yang otentik untuk saya.

F

Apa proyek yang sedang Ayu kerjakan?

A

Tahun ini saya sibuk mengurus Komunitas Salihara, Komunitas Utan Kayu dan kelas magang. Akibatnya saya tidak ada waktu untuk menulis. Apalagi kemarin sempat ada Frankfurt Book Fair dimana saya mengurus terjemahan buku-buku saya. Jadi tahun ini, saya tidak menulis fiksi. Tapi saya sedang menyelesaikan serial Bilangan Fu dan serial Spiritualisme Kritis, meski waktunya belum tersedia.whiteboardjournal, logo