Agama dan Kritik bersama Arman Dhani

08.06.16

Agama dan Kritik bersama Arman Dhani

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan penulis Arman Dhani (A)

by Muhammad Hilmi

 

H

Bagaimana ketertarikan Arman Dhani pada dunia tulis-menulis muncul?

A

Di masa kuliah, saya bergabung dengan lembaga pers mahasiswa. Ketika itu, tulisan saya mendapat kritik karena dinilai jelek. Melalui kritik tadi, saya jadi semakin penasaran untuk mendalami budaya tulis menulis ini, paling tidak untuk tahu, tulisan seperti apa sebenarnya yang jelek itu. Dengan kritikan yang saya terima, saya juga tergerak untuk belajar, tulisan bagus itu yang seperti apa. Sampai hari ini pun, saya masih terus menggali bentuk tulisan yang ideal bagi saya.

Terakhir, saya sempat merasa nyaman untuk menulis dalam gaya satir. Tapi lama-lama saya merasa bahwa kalau orang tidak benar-benar paham akan permasalahan yang saya bahas di tulisan satir saya, maka tulisan saya tak ada gunanya. Jadinya tulisan saya seperti masturbasi, karena pada kenyataannya, tak terlalu banyak orang yang paham dengan gaya ini. Lalu ngapain saya nulis kalau jadinya begitu?

Sekarang saya ingin mulai mendalami gaya tulisan jurnalisme data. Karena dalam gaya tulisan ini, kita tak hanya mengemukakan gagasan, tetapi juga melontarkan dasar argumen. Ketika kita menulis sesuatu, maka kita harus memiliki basis data pendukungnya. Pada dasarnya, saya ingin mencari gaya tulisan baru. Karena disitulah tempat saya bisa berkarya.

Bahkan sampai sejauh ini ijazah kuliah saya tidak terpakai. Saya lulus sebagai sarjana kesejahteraan ilmu sosial, misalnya saya mengambil jalan lurus selepas kuliah, saya harusnya bekerja sebagai pendamping pada program pemerintah mengenai pemberdayaan nasional, atau malah bisa jadi PNS sebenarnya.

H

Sejauh ini, Dhani lebih dikenal sebagai penulis satir/sarkas, bagaimana proses menemukan karakter menulis ini?

A

Sebenarnya tidak ada kesengajaan untuk memilih satir sebagai gaya menulis. Awalnya saya menulis satir adalah kecelakaan. Ketika itu saya masih menulis di blog, dan melihat bahwa gaya satir ini lucu. Dalam artian kita menghidupkan logika yang salah melalui tulisan, lalu dari tulisan tersebut kita menunjukkan pada pembaca kesalahan pola pikir logika tadi. Misalnya, saya pernah menulis tentang demo buruh yang bagi sebagian orang dinilai tidak produktif karena hanya menyebabkan kemacetan. Tapi di sisi yang lain, orang yang sama menilai bahwa acara lari yang saat itu sedang trend adalah hal yang keren, padahal dampaknya sama saja dengan demo buruh, kemacetan di sepanjang rute berlarinya. Beberapa orang memberikan derajat penilaian yang berbeda pada dua peristiwa tadi, demo buruh dianggap hina dan tidak tahu diri, sedangkan acara lari dianggap hal yang keren. Saya lantas memainkan logika ini pada tulisan saya, dan ternyata banyak yang merespon. Ada yang marah, kecewa, ada pula yang tertarik. Dari situ saya ketika itu menemukan kenyamanan.

Sebenarnya bagi saya, menulis dengan gaya satir terasa relatif mudah untuk dilakukan. Tidak terlalu membutuhkan usaha untuk mempraktekannya. Kita cuma harus mempermainkan logika yang salah, lalu mengoloknya melalui tulisan kita. Tapi lalu saya sadar, bahwa tulisan dengan gaya demikian tidak menghasilkan apa-apa. Satu-satunya yang muncul adalah superioritas bagi penulisnya. Dan ini jelas bukan hal baik. Superioritas bagi saya adalah hal yang menyebalkan.

H

Jadi ketika orang mulai banyak mengikuti gaya satir ini, Dhani justru meninggalkannya?

A

Karena pada kenyataannya, saya merasa bahwa tulisan satir bukan tulisan yang efektif dalam hal penyampaian pesan. Ketika kita berbicara dengan orang yang berseberangan pendapat dengan kita, maka tulisan satir yang bernada mengejek akan membuat lawan kita tadi tersinggung. Dan ketika lawan bicara sudah marah, kita akan semakin sulit untuk berdiskusi dengannya. Karena dalam tulisan satir, kita cenderung hanya fokus pada menertawakan atau justru mengejek kecacatan kerangka berpikir lawan. Ketika kita terlalu sering membuat orang sebal, maka pemikiran kita tak akan lagi didengarkan. Jadinya kalau kita lama-lama disitu, tulisan kita akan sia-sia saja.

Itu alasan utama saya untuk meninggalkan gaya tulisan ini.
Pada dasarnya, tujuan utama saya menulis adalah supaya orang-orang paham dan tahu tentang apa yang saya tulis. Mengajak pembaca untuk peduli dengan isu yang saya sampaikan. Kalau misalnya tulisan saya jadinya hanya berfungsi sebagai tempat dimana orang jadi tersinggung dan berantem, maka tulisan saya jadi kontraproduktif dan tidak berguna.

H

Jadi menurut Dhani, gaya tulisan satir sudah tidak bisa dikembangkan lagi?

A

Bukan begitu. Tulisan satir akan jadi menyenangkan bila semua pembacanya paham akan gaya ini. Dan bahwa salah satu tujuan dari tulisan ini adalah untuk menghibur. Tapi ketika publik tidak paham apa itu satir, orang akan melihat ejekan di tulisan kita sebagai olok-olok yang serius. Dulu saya pernah menulis tentang fenomena pondok pesantren. Bahwa belajar agama di pondok pesantren itu susah, sedangkan kalau belajar agama di internet itu sangat mudah. Tulisan itu tulisan satir yang sebenarnya saya tujukan pada orang-orang yang hanya belajar agama sekilas saja di internet lalu merasa bahwa dia paling paham agama. Tapi ternyata beberapa orang melihat bahwa tulisan saya tadi menyinggung budaya pondok pesantren, padahal tujuan saya sebenarnya justru mengemukakan bahwa agama adalah hal yang tidak mudah, dan di pondok pesantren lah kita bisa mempelajarinya dengan benar. Ini kan kontradiktif jadinya.

Sekarang saya melihat bahwa saya tak lagi nyaman menulis satir karena saya ingin publik tahu lebih banyak mengenai banyak hal. Biasanya ketika menulis di social media, kita akan mendapat dua jenis respon, antara yang setuju atau tidak sepakat. Tapi seiring pengalaman, saya lantas menemukan satu lagi jenis pembaca, mereka yang tidak menahu mengenai topik yang saya tulis. Dan kebanyakan mereka yang tidak tahu ini belum mengambil sikap, apakah mereka akan pro atau kontra. Kalau dalam menulis saya terus-terusan menggedor logika orang-orang yang kontra dengan saya, maka orang-orang yang netral tadi selamanya akan disana. Dengan mengubah gaya tulisan saya menjadi jurnalisme data, saya ingin menarik orang-orang yang masih netral tadi untuk setuju atau setidaknya peduli dengan apa yang saya tulis.

Saya mungkin masih sesekali menulis satir, tapi akan bergerak meninggalkannya di masa yang akan datang. Karena sekali lagi, satir ini tidak efektif bagi saya, jatuhnya malah membuat orang tersinggung melulu.

H

Sebagai penulis yang beberapa kali memenangi penghargaan, bagaimana Dhani melihat esensi penghargaan semacam ini terhadap pengembangan karya tulis?

A

Di Indonesia, penghargaan untuk tulisan itu masih sangat sedikit. Terutama untuk karya tulis non-fiksi. Bahkan setahu saya belum ada penghargaan yang secara khusus memberikan apresiasi pada tulisan non-fiksi. Di tulisan fiksi, ada Khatulistiwa Literary Award dan Asean Literary. Di non-fiksi, belum ada yang secara khusus memberikan penghargaan bagi tulisan yang ada. Kalaupun ada, formatnya kompetisi, seperti Muchtar Lubis Award atau Ahmad Wahib Award. Kalau formatnya kompetisi, mentalitas penulisnya adalah ikut lomba. Kadi ada perlombaan, kita menulis untuk memenangkan hadiahnya. Berbeda misalnya dengan Pulitzer yang melihat karya yang bermutu, bagus dan berpengaruh, tanpa harus ada submisi dan semacamnya. Bahkan di Khatulistiwa Literary Award sistemnya pun masih demikian.

Belum ada tolak ukur pada tulisan non-fiksi, dimana kita bisa tahu bahwa siapapun yang menang atau setidaknya masuk nominasi itu bagus karyanya. Bagi saya sistem yang demikian itu perlu. Jaman dahulu, jika seorang penulis bisa menulis untuk halaman 6 opini Kompas, maka dia pasti berkualitas tulisannya. Sekarang tidak begitu. Banyak skandal disana. Ada beberapa kali kasus plagiasi, belum lagi kasus salah tulis. Terakhir, Wiranto menulis bahwa sila keempat Pancasila adalah “Persatuan Indonesia”. Itu kan salah besar. Maka pamor halaman 6 Kompas sudah tak lagi seperti dahulu. Masalahnya, hingga kini belum ada situs, koran atau penghargaan dimana penulis Indonesia terpacu untuk menjadi salah satu yang bisa mendapat kehormatan bisa dimuat atau menjadi nominasi penghargaan yang belum ada ini.

Penghargaan penting, supaya publik tahu bahwa ada bacaan yang bagus, dan ada bacaan yang tidak bagus. Sekarang, ada pemikiran yang keliru mengenai pemahaman bahwa penulis yang bagus adalah mereka yang diundang ke acara seperti Makassar Writers Festival, Ubud Writers atau Asean Literary, padahal tidak begitu. Pemikiran yang demikian ada karena standar mengenai konsep kualitas tulisan belum dikembangkan. Tapi saya berharap ke depan, bakal muncul sistem ini, supaya penulis kita punya parameter yang jelas akan kualitasnya. Kenapa lantas kita tahu Eka Kurniawan adalah penulis bagus, itu karena dia bisa masuk ke Manbooker Prize. Kenapa Manbooker Prize bagus, itu karena mereka memiliki standar yang bisa dipercaya. Ketika Eka menang, kita lantas ikut bangga dan ingin mengikuti jejaknya sebagai penulis yang berkualitas. Harusnya ini kesempatan bagi Dewan Kesenian Jakarta atau Asean Literary untuk menetapkan standar bagi tulisan, baik fiksi maupun non-fiksi. Harus ada scouting yang optimal, juga juri yang kompeten disana.

Sistem kurasi dan juri yang bagus akan mengedukasi publik tentang siapa yang tulisannya layak dibaca dan dipelajari. Hampir sama dengan kompetisi idola seperti Indonesian Idol atau The Voice, melalui prosesnya, kita jadi tahu bahwa yang menang nantinya adalah mereka yang benar-benar bisa menyanyi dengan baik. Kalau tidak ada penghargaan yang jelas, kita akan semakin sulit mencari penulis panutan. Ada yang melihat bahwa penulis yang baik adalah mereka yang bukunya jadi best seller. Ada juga yang menilai bahwa penulis yang layak dikagumi adalah yang bukunya diangkat menjadi film layar lebar. Padahal tidak begitu adanya. Best seller dan film adalah hal yang berbeda domain dengan kualitas tulisan. Harusnya kualitas tulisan tidak disejajarkan dengan selera pasar. Saya masih old school untuk mempercayai bahwa harusnya ada semacam otoritas atau komunitas yang bisa menilai dengan rasionalisasi dan argumen yang jelas untuk menyatakan bahwa sebuah karya itu bagus, atau karya itu tidak bagus.

Kemarin sempat ada tulisan di salah satu surat kabar lokal yang mengulas fenomena “sastrawan sosialita”, ini menunjukkan bahwa memang belum ada konsep yang jelas mengenai standar kualitas tulisan di Indonesia.

H

Bagaimana melihat fenomena website esai dengan sistem user generated content seperti Mojok.co, Minumkopi.com atau dulu juga ada Jakartabeat.net yang memunculkan penulis-penulis baru ke permukaan?

A

Perkembangan media semacam itu menunjukkan bahwa para penulis lokal tak lagi melihat bahwa tulisan yang tampil di media konvensional itu memiliki prestise tersendiri. Dulu ketika masih SMA saya ingin sekali tulisan saya dimuat di Majalah Horison, karena dengan dimuat di Horison, berarti tulisan saya lolos dari seleksi dewan redaksinya yang berisikan sastrawan hebat. Nah, hari ini karena media cetak mulai ditinggalkan dan teknologi digital mulai naik, orang akan mencari bentuk baru. Kenapa Mojok, Minumkopi, Jakartabeat, Qureta, atau Revius di Makassar menjadi tren tersendiri, itu karena para penulis yang dulunya tak lolos dari kurasi dewan redaksi, kini bisa menulis –tak harus bagus- asal menuliskan fenomena yang sedang ada, maka tulisannya akan dimuat.

Di website yang semacam itu, ada sistem dimana isu tertentu yang sedang banyak dibicarakan menjadi salah satu pertimbangan layak atau tidaknya sebuah tulisan untuk dimuat. Kadang secara kualitas tulisan yang ada disana sebenarnya debatable. Website tersebut biasanya juga memiliki ciri khas tersendiri. Tapi kadang ciri khas tadi bisa menandai umur mereka. Misalnya Mojok yang menawarkan kesegaran dengan dengan gaya esai humorisnya, itu pasti memiliki usianya sendiri. Sama seperti Jakartabeat yang punya masanya sendiri. Saya rasa Mojok pun usianya tak akan lama. Akan selalu berganti lagi formulanya.

Penulis baru yang tidak bisa menembus ruang cetak, akan lebih berpeluang untuk menembus ruang digital. Mojok dalam hal ini sudah seperti menjadi panutan. Karena mereka setiap harinya menerima ratusan naskah, dan hanya satu yang ditayangkan. Jadi ketika tayang, orang akan merasa bahwa tulisannya telah terpilih diantara ratusan tulisan yang ada. Ada kompetisi dan imaji tentang kurasi disitu. Itulah kenapa kita perlu penghargaan dalam hal tulisan. Jadi kita tahu penulis muda akan mendapat penghargaan dan tahu bagaimana kita harusnya mengembangkan karya.

H

Tapi dengan sistem kuratorial seperti itu, bukankah akan memicu masalah baru dimana referensi kita jadi terbatas pada sosok atau simbol tertentu. Dan bukankah hal ini justru menghambat regenerasi?

A

Bagi saya, masalahnya bukan pada regenerasi. Tapi lebih ke favoritisme. Masalah yang ada seringnya adalah mengenai bagaimana kalau Anda orang dari luar komunitas yang sudah jadi simbol ingin berkembang tapi terhambat karena mereka di luar jaringan yang telah ada. Hal ini juga menjadi masalah ketika lembaga donor cenderung lebih memilih untuk memberikan donasi pada lembaga yang telah established. Karena sayang juga misalnya ada komunitas baru yang memiliki konsep yang segar, tapi karena belum dikenal oleh lembaga donor maka konsep yang segar tadi lantas diabaikan. Atau bila misalnya ada seniman yang bagus, tapi berada di luar jaringan galeri atau komunitas yang ada, maka karyanya tak akan diperhatikan. Favoritisme yang seperti ini akan berkembang menjadi eksklusifitas yang tentunya negatif bagi perkembangan budaya kita. Dan ini bukan hanya terjadi di Jakarta, di Jogja, Surabaya hingga Jember sekalipun ada masalah ini.

Permasalahan ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan bila tokoh dari komunitas yang telah menjadi status quo itu mau untuk melihat apa yang terjadi di luar komunitas mereka. Di Jogja, saya lihat ini sudah terjadi, meski memang belum optimal. Seperti ketika kemarin komunitas pesantren diajak untuk merespon kesenian bersama The Popo. Ini hal yang baik, tapi siklusnya masih di lingkaran yang sama. Kenapa kita tidak scouting untuk mencari siapa yang benar-benar memiliki kualitas untuk kemudian diangkat dan diajak bekerja bersama? Seperti ketika kenapa seniman yang dikirim berangkat keluar negeri itu lagi itu lagi. Biasanya karena memang seniman-seniman itu memiliki kedekatan dengan komunitas. Padahal saya percaya ada orang-orang di luar komunitas tadi yang memiliki kemampuan yang tak kalah dengan orang-orang dalam.

H

Apakah Dhani punya masukan terhadap komunitas kesenian yang ada?

A

Sejauh ini masalah yang dihadapi komunitas lokal, baik itu komunitas sastra atau seni, adalah mengenai exposure yang masih berkutat di Pulau Jawa saja. Dan bahkan di Jawa pun, fokusnya masih sebatas di Jakarta dan Jogja saja. Padahal di luar kota itu ada potensi yang tersembunyi, potensi di daerah di luar Jakarta dan Jogja juga hanya menunggu untuk dikembangkan saja sebenarnya. Masalahnya sekarang adalah bila sebuah karya tidak dipajang di Salihara atau dibicarakan di Ruangrupa misalnya, maka karya tersebut tidak keren. Kan harusnya tidak begitu.

Kemarin saya agak penasaran mengenai bagaimana respon publik mengenai gelaran Jakarta Biennale 2015. Mungkin saya yang kurang membaca, tapi saya belum menemukan tentang bagaimana publik memaknai apa yang disajikan di Gudang Sarinah ketika itu. Bagi saya respon publik itu penting, karena kalau misalnya publik tidak merasa Jakarta Biennale itu ada, maka kenapa diteruskan? Takutnya nanti yang menikmati hanya orang-orang tertentu saja. Jika gelaran sebesar Jakarta Biennale hanya dinikmati oleh lingkaran komunitas kecil, itu perlu dipertanyakan. Ada kantong-kantong kebudayaan di luar sana yang perlu dikembangkan dan dengan kekuatan yang dimiliki komunitas seperti Salihara dan Ruangrupa, harusnya mereka bisa berkembang bersama-sama. Jadi di daerah pun, komunitas bisa mempelajari sistem pendanaan yang baik, supaya mereka bisa tumbuh. Sayangnya sejauh ini sepertinya belum begitu polanya.

H

Sebagai pemerhati hak asasi manusia, bagaimana Dhani melihat HAM semakin terusik keberadaannya di Indonesia?

A

Kemarin saya mengumpulkan data untuk laporan mengenai pelanggaran HAM yang terjadi setahun terakhir. Hasilnya adalah ada lebih dari 45 kejadian dimana kebebasan berekspresi diganggu. Seperti pada pembubaran pemutaran film, pembubaran diskusi dan semacamnya. Saya pikir masalah ini berujung pada political will dari pemerintah. Sejauh ini pemerintah kita tidak melihat bahwa kebebasan sipil merupakan hal yang penting. Hasilnya adalah tim paramiliter seperti FPI dan FUI bertindak semaunya dan menganggap perbuatan mereka dibenarkan. Selama mereka tidak ditindak, maka mereka akan merasa bahwa perilaku mereka benar dan mereka mendapat dukungan dari pemerintah. Ini hal yang salah. Tapi sebenarnya masalahnya bukan hanya di FPI atau FUI. Kalau sekarang pemutaran film atau diskusi buku saja dilarang, ini mengkhawatirkan.

Tentang hak asasi manusia, kita baru akan merasa terancam bila hak asasi kita diganggu. Selama Anda orang Jawa, laki-laki, Islam, dan kelas menengah, maka Anda akan aman-aman saja. Tapi di luar itu, misalnya Anda perempuan, Kristen, melanesia atau Papua dan kelas bawah maka Anda akan diperlakukan semena-mena sekedar untuk mendapat hak asasi Anda. Jika kita tergolong kaum yang di atas, maka kita tidak akan merasa ada masalah pada isu hak asasi manusia. Disini, orang lebih mementingkan kebebasan dalam hal ekonomi ketimbang kebebasan berpendapat. Keadaan seperti ini membuat kita cenderung ignorance, bebal dan tak mau melihat kejadian yang sebenarnya terjadi di sekitar kita.

H

Bagaimana kelas menengah seharusnya berlaku?

A

Di Indonesia, datanya yang ada, kalau kita melihat kelas menengah sebagai millenials, maka ada 40.5 juta jiwa yang ada sekarang di sini. Kalau melihat di media sosial, sebenarnya kelas menengah telah berperan cukup positif. Ketika kemarin kasus kekerasan seksual terhadap Yuyun, kelas menengah berperan dalam membuatnya menjadi isu yang kemudian berkembang menjadi rancangan undang-undang. Karena kelas menengah ribut di sosial media, maka pemerintah kemudian mengambil tindakan.

Di sisi lain, kelas menengah yang sama juga membuat masalah. Orang-orang yang menuntut keadilan bagi korban kekerasan seksual ini menuntut hukuman kebiri. Orang yang sama juga menuntut hukuman mati bagi pengedar narkoba. Bagi saya ini salah, karena hukuman mati atau kebiri sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Kelas menengah dalam hal ini memiliki dua sisi. Di satu sisi mereka mendorong pada kemajuan yang positif, di sisi lain, mereka mendorong kita melaju pada kemunduran.

Hal positif lainnya adalah fenomena Teman Ahok. Teman Ahok ini merupakan representasi kelas menengah di Jakarta. Setahu saya, mereka tidak digerakkan oleh kekuatan tertentu, tak ada partai politik disana. Tapi mereka mau turun. Ada kepedulian disana. Jadi salah kalau misalnya saya bilang kelas menengah ignorance sifatnya. Karena bukti di lapangan berbeda. Tapi sekali lagi, kelas menengah ini unik. Mereka bisa dengan vokal mendorong gerakan anti reklamasi Teluk Benoa, tapi ketika ada kasus reklamasi di Jakarta mereka diam saja.

Saya lihat ada beberapa kategori kelas menengah disini. Ada yang well informed dan mau peduli, lalu ada yang well-informed tapi tak peduli, dan ada yang tak memiliki informasi tapi bodo amat, dan cuma ikut-ikutan. Idealnya seperti apa, saya tidak tahu. Tapi yang bisa dilakukan adalah kita harus lebih membaca. Dan mau untuk turun. Turun dalam artian bukan kita harus terus-terusan ikut demonstrasi, tapi lebih ke mau untuk melihat apa yang ada di bawah. Apa yang sebenarnya terjadi disana. Misalnya tentang penggusuran, kita harus membedakan antara menolak penggusuran dan menolak kekerasan yang dilakukan saat terjadi penggusuran. Karena kalau mereka tahu, sebenarnya warga daerah yang akan digusur sebenarnya tidak menolak untuk dipindahkan, tetapi mereka tidak mau ada kekerasan dalam prosesnya. Bagi yang masih apatis dengan keadaan di bawah, harusnya mereka berani untuk turun dan membuktikan sendiri pemikirannya dengan kejadian yang ada di lapangan.

H

Sebagai penulis kritik, bagaimana Dhani melihat peran tulisan kritik dalam perubahan sosial. Karena banyak yang melihat bahwa kritik adalah distraksi kontraproduktif yang tidak mampu memberikan solusi…

A

Ketika menulis, saya tidak berusaha untuk menyelesaikan masalah. Saya menulis untuk mengemukakan anatomi masalah yang ada, bahwa kadang kenyataan tak sesederhana yang ada di pikiran kita. Sayangnya orang cenderung membaca dengan pukul rata. Jika misalnya saya menolak kekerasan di penggusuran, maka dengan begitu saya mendukung budaya kumuh yang menyebabkan banjir. Padahal kan tidak begitu. Ada banyak pilihan lain di luar dua dikotomi sempit tadi.

Kritik tidak hadir untuk menyelesaikan masalah. Kritik hadir untuk menunjukkan pada khalayak mengenai hal yang terabaikan oleh pandangan umum. Kalau misalnya dengan menulis kritik saya dinilai tidak solutif, memang saya sebagai masyarakat tidak memiliki kapasitas untuk menyelesaikan segala masalah. Itu urusannya pemegang kekuasaan, bagi mereka yang memiliki otoritas. Saya sebagai bagian dari masyarakat berperan dengan mengemukakan perspektif saya mengenai masalah yang belum diselesaikan, dan pemerintah harusnya mengambil insight dari publik untuk menemukan solusinya. Fungsi berpikir kritis adalah untuk mencari tahu apa yang salah. Tak harus berakhir di solusi.

H

Mengenai Islam, belakangan ada pergolakan yang cukup besar antara umatnya di Indonesia. Bagaimana Dhani melihat fenomena ini?

A

Islam di Indonesia tidak monolith. Tidak tunggal sifatnya. Kita tahu ada NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, ada lembaga Dakwah Islam Indonesia, dimana masing-masing aliran tadi memiliki tafsir dan pemahaman yang berbeda mengenai ajarannya. Roy Murtadho dalam tulisannya mengemukakan bahwa Islam sebenarnya memiliki semangat yang sama dengan Sosialisme, Marxialisme, dan Komunisme. Di sisi lain Ulil Abshar Abdala berkata bahwa Islam sejalan dengan Kapitalisme dan Liberalisme. Bagaimana mungkin dua pandangan yang bertolak belakang bersatu dalam kerangka pemikiran Islam? Untuk memahami ini, kita harus paham bahwa Islam memiliki banyak pola tafsir.

Indonesia bukan tempat lahirnya agama Islam. Maka jadilah Islam di Indonesia adalah hasil tafsir. Kita harus mau menerima ini. Bahwa Islam pun bukan agama seperti Katolik yang menuruti apapun yang dikatakan oleh Paus. Jadi kita harus mau menerima berbagai tafsir yang ada, asal mereka bisa memberikan dasar yang valid akan tafsirnya. Pada dasarnya kita pun sebenarnya tidak bisa melarang Hizbut Tahrir mengangkat ide tentang khilafah. Yang bisa kita lakukan adalah untuk melakukan diskusi dengan mereka dan menunjukkan relevansi konsep tersebut pada praktiknya.
Kakek dari Gus Dur KH. Hasyim Asyari berkata bahwa nasionalisme adalah salah satu dasar dari iman, beliau pasti punya dasar ayat atau tafsir hadist tertentu, disitulah kita bisa memperdebatkannya.

Banyak sekali orang merasa bahwa tafsir yang mereka yakini adalah versi yang paling final dan mereka memaksa orang untuk meyakininya, ini masalah bagi saya. Saya lahir di keluarga yang cukup diverse secara ideologi Islam, kakek saya orang NU, ayah saya orang Muhammadiyah, kami sering berdebat, tapi kami tak lantas saling beradu pukul. Perdebatan itu hal yang biasa. Yang penting adalah bagaimana kita menghormati keyakinan masing-masing. Kalau NU dan Muhammadiyah saja bisa berbeda dalam tata cara wudhu, maka harusnya perbedaan ini tak membuat kita saling memusuhi. Kita harus ingat bahwa kita tidak bisa memaksakan keyakinan kita terhadap orang lain, karena dasar tafsir yang kita gunakan pun sebenarnya sangat cair.

H

Di Indonesia, umat Islam cenderung mudah diadu domba dengan isu-isu yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan agama, seperti masalah Palestina dan tentang Syiah versus Sunni. Mengapa demikian? Dan apakah kita harus sedemikiannya terlibat hingga kita berperang dengan saudara sendiri?

A

Saya melihat dari isu Palestina dan Syiah yang besar di Indonesia ini sebenarnya adalah tentang celah kapitalisasi dari ukhuwah islamiyah atau persaudaraan antara orang Islam yang dimanfaatkan oleh kalangan tertentu. Banyak orang Islam di Indonesia yang masih menganggap bahwa pertikaian antara Palestina dan Israel itu mengenai perang antar agama. Padahal bahkan duta besar Palestina di Indonesia pun telah berkata bahwa masalah di negara mereka bukan tentang perang agama. Palestina dan Israel sejatinya sedang melakukan perang politik. Israel sedang menjajah Palestina. Sama kasusnya dengan dulu Indonesia dijajah Belanda. Sayangnya orang Islam disini masih mengira bahwa di Palestina masalahnya adalah mengenai Islam yang dijajah Yahudi. Ada orang-orang yang berkepentingan disitu, dan membuat kesalahpahaman tadi menjadi bahan untuk meraih simpati orang, karena orang akan cenderung lebih militan untuk mendukungnya. Kejadian di Syiria juga sama polanya.

Keinginan untuk membantu sesama Islam sebenarnya hal yang positif. Tapi kalau konflik tadi dimanfaatkan menjadi propaganda yang menegakkan kebencian, itu hal yang harusnya diluruskan. Belum lagi bila ada yang mengeruk keuntungan finansial dari kebencian ini.

Untuk isu Syiah dan Sunni di Indonesia itu sebenarnya adalah masalah proxy war. Ketika menulis tentang fenomena ini, saya lantas mempelajari bahwa ini adalah masalah politik antara Iran dan Saudi Arabia. Sampai awal tahun 1970an, Iran dan Saudi sangat dekat hubungannya. Iran dan Arab Saudi tegang pada 80’an sejak Mohammad Reza Pahlavi, turun dari gelar raja. Sejak itu proxy war antara dua negara ini membara. Dan karena kebetulan Iran bermazhab Syiah, sedangkan Saudi bermazhab Sunni, maka isu sektarian ini yang kemudian dimunculkan. Yang aneh adalah kenapa lalu isu ini tiba-tiba jadi besar sekarang, kalau faktanya adalah sebelum tahun 2000an mereka akur-akur saja dan tidak ada masalah.

Yang menarik adalah ada satu kelompok yang kemudian melakukan simplifikasi pada isu semacam ini. Kelompok ajaib ini menilai bahwa kalau kita mendukung Syiah, maka pasti kita komunis, dan kalau kita komunis maka kita pro LGBT. Di Iran yang Syiah, homoseksual dihukum mati, jadi logika mereka ini salah arah sama sekali. Di Rusia yang komunis, LGBT akan mendapat pengkucilan sosial yang sangat keras. Sayangnya orang yang menghidupi paham ini tak mau tahu dengan fakta yang ada. Orang cenderung membenci apa yang mereka tak pahami. Orang bisa berkata bahwa Syiah adalah paham yang salah karena mereka menabikan Imam Ali, tapi ketika mereka ditanya seberapa dalam pemahaman tentang kajian mengenai Syiah, mereka tak bisa menjawab. Dan ketika ditanya darimana mereka tahu tentang Syiah, jawabannya cuma karena dikasih tahu orang atau baca di internet. Kalau begitu, pemahaman mereka sangat rapuh. Kita tentu tidak bisa menetapkan benar atau salah hanya dari satu tulisan di internet. Islam di Indonesia dalam hal ini masih belum dewasa. Tapi sebenarnya kondisi kita disini masih lebih baik daripada di Malaysia atau Singapura. Di dua negara tadi, pemikiran Islam yang ada sangat represif. Disana, kita bisa dipenjara atau dibunuh karena perbedaan mazhab. Jadi hitungannya kita masih beruntung sekarang ini. Jangan sampai kita mengimpor kebencian sektarian ini ke Indonesia.

H

Dhani mengemukakan bahwa salah satu inti masalah adalah minimnya pengetahuan kita. Jadinya kadang kebencian kita tak berdasar sama sekali. Karena kalau kita cari guru mengaji, kalau kita salah memilih guru juga akan membawa kita semakin terjerumus. Apa yang bisa dilakukan?

A

Saya tidak tahu solusi pastinya seperti apa. Tapi yang bisa dicoba adalah diversifikasi bacaan. Kalau kita hanya membaca tentang satu sudut pandang, maka kita akan yakin bahwa mazhab yang kita bacalah yang paling benar. Dengan semakin banyak membaca, maka pikiran kita akan semakin terbuka. Kalau kita cuma melihat perspektif kita yang paling benar, maka kita akan dengan mudah mengkafirkan orang lain yang melakukan hal yang berbeda dengan apa yang kita yakini. Padahal perbedaan cara beribadah merupakan hal yang biasa. Ada Mazhab Hambali, adapula Mazhab Hanafi yang mengutamakan akal dalam kegiatan beragamanya. Kalau kita banyak tahu, maka kita akan lebih damai dalam memaknai perbedaan.

Dalam hal ini, sikap skeptikal pada keyakinan yang kita miliki penting untuk dikembangkan. Sampai pada titik ketika kita mempertanyakan seberapa benar agama yang kita yakini. Kita masih malas dalam membaca, dan dalam beragama kita cenderung patuh pada apa yang dikatakan oleh ustad. Padahal konsep ustad di jaman sekarang juga semakin rancu. Dalam pemahaman saya, butuh perjuangan yang tak enteng untuk menjadi ustad. Harus hapal berapa ayat, hadist, mondok, bahkan harus kuliah di Al Azhar untuk jadi ustad. Tapi sekarang, hanya pakai jenggot dikit dan jidat hitam bisa langsung dipanggil ustad. Sampai sekarang, saya masih tidak paham kenapa Tengku Wisnu layak dipanggil ustad. Apakah dia hapal ratusan ribu hadist, apakah dia menguasai mantiq, apakah dia menguasai shirah, saya ragu. Padahal itulah hal-hal yang harus dikuasai seseorang untuk mendapat gelar ustad. Anda tidak bisa mengaku-ngaku jadi ustad kalau hanya belajar dari google.

Kita harus mau belajar lebih banyak, dan bertemu banyak orang untuk memperdalam ilmu. KH. Maimun Zubair sempat mengemukakan perspektif penting mengenai Ahmadiyah. Ketika ada santrinya yang bertanya mengenai apakah Ahmadiyah itu kafir, beliau menjawab dengan pertanyaan yang menarik. Apakah Ahmadiyah sholat menghadap kiblat? Iya. Apakah kitab sucinya Al Quran? Iya. Sholatnya lima waktu? Iya. Jadi masihkah kita berhak untuk melihat bahwa mereka bukan Islam? Tentu tidak. Sesederhana itu. Dengan pengetahuan ilmu yang mendalam seperti yang beliau miliki, KH. Maimun Zubair justru bisa terbuka dalam memaknai perbedaan. Sedangkan kita yang masih cetek ilmunya justru suka bikin masalah akan hal-hal kecil. Agama harusnya berjalan beriringan dengan perkembangan nalar. Tapi yang ada sekarang tidak demikian. Untuk itu, kita harus mau belajar lebih banyak dari sumber yang juga bervariasi. Saya rasa itu satu-satunya hal yang bisa kita lakukan.

H

Apa proyek mendatang dari Arman Dhani?

A

Saya sedang mempersiapkan buku mengenai patah hati. Berangkat dari pengalaman personal, saya lalu menelti bagaimana patah hati ini memiliki efek yang dahsyat. Tak hanya pada sisi personal, tetapi juga dari segi bisnis. Di musik dan di dunia film, tema mengenai patah hati menjadi inspirasi dan darisana mereka mencakup keuntungan yang sedemikian besar. Di dunia sastra, hal yang sama juga terjadi. Tapi di sisi lain patah hati juga menjadi penyebab bunuh diri terbesar kedua di Jepang setelah penyakit jantung.

Sebuah penelitian dari Inggris juga mengemukakan bahwa orang yang patah hati memiliki tingkat kematian yang lebih besar daripada orang yang bahagia dan memiliki pasangan. Ini membuat saya semakin penasaran untuk menelitinya. Dari topik yang sebenarnya saya pikir remeh-temeh, ternyata ada hal yang menarik disana. Saya sedang mengumpulkan tulisan tentang bagaimana bertahan hidup setelah patah hati. Tapi yang jelas ini bukan buku self help. Tapi lebih mengenai patah hati dalam perspektif berbagai kebudayaan. Di buku-buku Balai Pustaka, banyak tokoh utama cerita yang meninggal dalam kondisi menyedihkan karena patah hati, saya ingin tahu kenapa bisa ada fenomena yang begini. Dalam proyek buku ini, saya disupervisi oleh Dea Anugrah.

Di luar itu, saya sedang bergerak bersama MBB untuk menggerakkan kampanye awareness mengenai kekerasan seksual dan minuman beralkohol. Karena masih banyak kesalahpahaman mengenai dua topik tadi. Dari riset saya, angka kematian tertinggi karena keracunan minuman oplosan justru paling banyak terjadi di daerah yang melarang peredaran minuman beralkohol. Sedangkan di daerah yang alkohol bebas beredar, tingkat kematiannya justru paling rendah. Yang membuat ini semakin menyedihkan adalah rancangan undang-undang yang dipersiapkan parlemen mengenai UU pengaturan alkohol tak memiliki landasan akademik sama sekali. Ini menggelikan, rakyat membayar pajak untuk membayar gaji anggota DPR yang bahkan untuk membuat kerangka pemikiran yang akan mengatur hidup kita saja tidak becus. Saya tidak rela sebenarnya kalau etos kerja mereka seperti itu.whiteboardjournal, logo