Teologi bersama Franz Magnis-Suseno

20.07.16

Teologi bersama Franz Magnis-Suseno

Febrina Anindita (F) berbincang dengan Franz Magnis-Suseno (M)

by Febrina Anindita

 

F

Seperti apa perkenalan Romo dengan filsafat dan teologi?

M

Saya lahir di Jerman 80 tahun yang lalu. Seusai sekolah menengah gymnasium di Jerman, saya masuk ke dalam satu ordo atau Tarekat Gereja Katolik, yaitu Ordo Jesuit dan di situ sudah ada tahapan formasi yang harus diikuti, yaitu 2 tahun spiritualitas dan 3 tahun filsafat.

Pada tahun 1960 setelah saya selesai belajar filsafat, saya mengajukan diri untuk pergi ke Indonesia. Ada beberapa teman Jesuit yang membantu gereja Katolik di Indonesia mengirim surat dan memberi semangat bahwa saya akan jauh lebih berguna bagi gereja Katolik di Indonesia daripada di Jerman. Di Indonesia saya belajar Bahasa Jawa dan Indonesia dan bekerja 2 tahun di Kolese Kanisius di Jakarta sebagai pembantu umum. Kami harus menjalani 4 tahun pelajaran teologi di Yogyakarta, baru sesudahnya saya mendapat penugasan dari atasan saya untuk ikut membangun Sekolah Tinggi Filsafat yang kami beri nama STF Driyakara.

F

Tapi apakah ketertarikan terhadap spiritualitas, filsafat dan keillahian dari dulu?

M

Tiap kaum Jesuit harus mempelajari filsafat dan teologi. Saya sangat menikmatinya, Meski ketertarikan ini tumbuh perlahan. Saat saya menjalaninya selama bertahun-tahun saya lalu menemukan daya tarik dari studi tersebut, dan ketertarikan ini bertahan bahkan sampai sekarang.

F

Bagaimana perjalanan Romo hingga pada akhirnya menetap di Indonesia sebagai pengajar dan budayawan?

M

Perlu diketahui, nama budayawan itu diberikan oleh media disini, karena tidak ada penjelasan yang gamblang mengenai apa sebenarnya budayawan itu, bahkan tidak ada terjemahan yang pas dalam Bahasa Inggris. Mungkin mereka memberikan gelar budayawan pada saya karena saya mempelajari bahasa dan budaya Jawa. Budaya Jawa sangat menarik bagi saya karena saya masuk ke Indonesia melalui pintu Jawa, dan teman-teman Jesuit saya juga kebanyakan orang Jawa. Dengan ketertarikan saya terhadap budaya yang baru ini, saya menulis buku mengenai Jawa untuk mensyukuri banyaknya hal yang menarik bagi saya.

F

Mengapa Romo tertarik untuk menggali disiplin filsafat dan teologi di Indonesia, tepatnya di Yogyakarta?

M

Yogyakarta memiliki sekolah dengan fakultas teologi yang bagus di Jawa. Pun ordo-ordo lain, Keuskupan Semarang banyak yang ke Yogyakarta, dan Jesuit juga sudah lama ada dan berkembang di Yogyakarta sejak tahun 1920-an.

F

Menurut Romo, seperti apa wajah teologi hari ini?

M

Teologi sekarang tentu saja terus berkembang. Dan saya sendiri berusaha up-to-date. Sesibuk apapun kegiatan saya, saya selalu membaca majalah, tulisan mengenai masalah yang diperdebatkan, juga secara ajeg membaca buku teologis tentang gereja selain Katolik, karena di dalamnya terjadi banyak perkembangan yang bisa memperkaya iman secara lebih mendalam. Dan bagi saya hal ini adalah penting karena kita manusia yang terbatas dan tiap zaman wawasannya terbatas pula.

Jika kita membaca Injil sekarang, tentu wawasannya berbeda dengan saat abad Pertengahan dan era modernisasi. Sekarang orang membaca Injil dengan pertanyaan untuk mendalami ajarannya. Karena jika kita bicara wahyu yang datang dari Allah, ada titik kuat dan lemah jika kita menganalisanya dengan relasi keillahian dan kemanusiaan. Manusia selalu cenderung memahami dengan pandangan yang sempit, maka kita perlu dirangsang untuk melihatnya dengan lebih mendalam.

Ada begitu banyak orang di luar gereja yang tidak dibaptis, tidak mau dibaptis atau tidak akan dibaptis. Tapi itu bukan berarti mereka menolak Yesus, nah ini isu Gereja Katolik sejak hampir 50 tahun yang lalu, dimana akhirnya diputuskan untuk berpikir bersama dalam spiritualitas baru untuk merumuskan keyakinan bahwa Allah menawarkan keselamatan dan surga kepada semua orang. Jadi bagi orang yang tidak dibaptis, bahkan bagi orang yang jelas kesalahannya – salah satunya mereka yang tidak percaya dengan kehidupan di seberang sana – asal mereka hidup mengikuti kata hatinya, maka ia akan diselamatkan.

Hal ini, saya kira sangat membantu pertanyaan orang-orang yang mempertanyakan keyakinan berbeda seperti Muslim, Hindu dan lain-lain. Mengenai bagaimana mereka bisa memasuki surga. Jawabannya adalah surga juga memang dibuat untuk mereka. Itulah salah satu bentuk teologi terkini.

F

Bagaimana Romo melihat fanatisme dalam beragama di Indonesia saat ini?

M

Saya tentu melihat ada masalah. Agama memang selalu dalam bahaya menjadi objek fanatisme. Hal ini tidak hanya di Indonesia karena masalah dari hal tersebut adalah kesombongan manusia. Orang beragama yakin akan kebenaran agamanya, dan itu memang wajar. Karena mereka yakin, mereka merasa tahu segalanya, seakan-akan mereka punya mata Tuhan. Dan di hadapan Tuhan memang ada kemutlakan. Tapi patut diingat, orang-orang ini bukanlah Tuhan. Sayangnya, beberapa orang memilih untuk mengutuk segala hal yang tak sesuai dengan keyakinannya.

Saya meyakini Yesus Kristus yang dalam beberapa hal tidak bisa disesuaikan dengan kepercayaan Islam, dengan begitu saya tidak lantas mengutuk Islam. Saya berusaha menaati larangan keras yang diberikan Yesus, yaitu jangan menghakimi agar tidak dihakimi. Jangan menyebut orang lain kafir dan jangan menyebut orang lain jahil (bodoh). Hal itu sangat penting untuk memahami konsep beragama, bahwa kita cukup menyerahkannya kepada Allah yang akhirnya akan memecahkan masalah mengenai kebenaran secara sempurna. Kita hanya perlu rileks dan tidak perlu menilai Islam dan agama lain. Kedamaian di hati ini justru membuat saya bisa menemukan hal positif dari agama lain selain apa yang saya anut.

Nah, fanatisme lalu juga memiliki segi psikologis, sosiologis dan politis. Orang yang hidup dalam suasana politik yang kacau akan cenderung jadi fanatik. Orang yang misalnya hidup dalam masyarakat busuk, tidak adil dan korup lebih mudah tertarik pada ajaran ekstrem yang mengutuk segala hal. Di Eropa, fanatisme dalam 200-300 tahun terakhir muncul bukan dalam fanatisme agama ekstrem, karena adanya sekulerisasi, dalam bentuk nasionalisme atau rasisme ekstrem. Seperti fanatisme Hitler dan pengikutnya yang jahat, hal ini tidak ada kaitannya dengan agama.

Saya berpendapat bahwa fanatisme beragama itu sebenarnya mengkhianati isi iman yang sebenarnya, yaitu berserah diri kepada Allah. Kalau kita berserah diri kepada Allah, kita pasti tidak fanatik. Adalah lebih agamis jika kita kita hidup bersama dengan baik dan menjamin bahwa masing-masing bisa hidup menurut apa yang diyakini, ketimbang untuk menjadi fanatik. Salah satu keyakinan modern adalah tidak memaksakan keyakinan orang, meski keyakinan tertentu terlihat aneh berdasarkan pandangan lain.

Misal, di kalangan Kristiani ada seke-sekte, seperti Saksi Jehovah yang dianggap fanatik; tapi tidak politis, karena tidak ada kekerasan, dianggap aneh karena paham yang dipercaya sudah melewat jalur. Tapi hal itu bukan berarti kita berhak melarang dan memaksakan pemahaman Kristiani kita terhadap mereka.

F

Bagaimana seharusnya publik disini mempertimbangkan fundamentalisme dalam mempercayai sebuah kepercayaan?

M

Kita harus mempertanyakan fundamentalisme dulu. Tidak setiap radikalisme dan ekstremisme ada kaitannya dengan fundamentalisme. Fundamentalisme itu sebetulnya berasal dari dunia Kekristenan yang semula sama dengan yang disebut skripturalisme, yang berasal dari kata scriptura, berarti kitab suci. Jadi, fundamentalisme adalah kepercayaan yang menganggap segala hal yang ditulis di kitab suci secara harafiah harus dimengerti persis seperti adanya. Tapi sekarang fundamentalisme berarti anggapan sekelompok orang mengenai agama mereka sendiri dan mereka tahu persis secara rinci, bahwa tiap pengertian yang berbeda itu salah, berdosa dan buruk.

Jadi, fundamentalis biasanya pertama-tama memusuhi orang dalam agamanya sendiri. Orang berbeda agama justru tidak masalah bagi mereka. Tapi justru sesama umat yang memiliki pandangan lebih luas dari pengertian mereka dianggap murtad.

Fundamentalisme adalah sikap dimana orang merasa tahu segalanya dan tidak mau belajar dan berkembang. Mereka lupa bahwa pengertian manusia akan agamanya sendiri itu terbatas dan pasti akan bertemu orang lain yang memiliki pengetahuan lebih luas atau berbeda dengaannya.

Fundamentalis pada umumnya menutup diri untuk kemungkinan diskusi karena mereka selalu menganggap orang-orang yang berbeda dengannya adalah orang buruk yang jauh dari kebenaran. Biasanya perdebatan yang mereka bahas pun terkait dengan apa yang ada di kitab suci, seperti bagaimana seseorang bisa masuk surga atau apakah mereka akan masuk neraka.

F

Bagaimana cara terbaik bagi kita yang atau mereka yang pragmatis dalam menyikapi kaum yang fundamental dalam beragama?

M

Tentu di kebanyakan tempat, fundamentalis adalah minoritas. Lalu harus dibedakan, apakah fundamentalisme hanya terbatas pada pandangan agama. Misal, fundamentalis Protestan mereka tidak punya gerakan politik, meskipun di AS selalu mendukung partai Republik, tapi mereka tidak melakukan kekerasan. Tapi fundamentalisme yang sampai bersenjata dan melakukan gerakan politik itu baru bahaya, karena fundamentalis juga sangat susah menghayati nilai-nilai yang ditulis di agama.

Kalau di Indonesia, misalnya Nadhlatul Ulama (NU) sekarang mencanangkan Islam Nusantara. Mereka mau mengatakan bahwa Islam yang sungguh-sungguh selalu masuk ke dalam budaya yang ada, sehingga Islam di Nusantara mesti punya ciri-ciri tertentu, bahwa agama juga membenarkan atau mendukung nilai-nilai kebangsaan. Dengan nilai itu, agama juga memurnikan nilai-nilai budaya, dengan begitu nilai kemanusiaan akan terangkat dan manusia dipercaya akan jadi utuh. Seorang fundamentalis akan menolak itu, mereka akan mempertanyakan apa itu Indonesia, mereka tidak mengakui Negara hingga tidak menghormati bendera dan menyanyikan Indonesia Raya.

Dengan menolak nilai-nilai kebangsaan, ada kekosongan dalam hati mereka. Mereka akan tidak memiliki nilai budaya yang terkait dengan nilai kemanusiaan. Jika seorang fundamentalis tidak berkebangsaan, mereka akan merasa wajar jika membunuh orang lain, asalkan tak ada ayat yang melarangnya. Fundamentalis yang seperti ini akan kehilangan sisi manusiawinya. Jadi, fundamentalis dalam hal politik bisa sangat menakutkan.

F

Apakah perbedaan pola pikir kepercayaan ini memberikan dampak buruk terhadap keselarasan antarmanusia?

M

Tentu saja, manusia banyak terpengaruh oleh sejarah, pendidikan, orang tua hingga sentimen dan komunikasi dalam agama sendiri. Untuk melawannya kita butuh untuk melakukan komunikasi dalam kepercayaan kita, jika kita sudah bicara satu sama lain, fundamentalisme akan didobrak karena ada lawan bicara yang melawan pendapat kita. Fundamentalis pada dasarnya hanya mengecek apakah apa yang kamu katakan benar atau salah, mereka tidak mau melakukan diskursus atau dialog.

Dalam agama, penting sekali ada diskursus di antara agama. Di Indonesia dengan banyaknya intoleransi, sebetulnya situasi masih terbilang baik karena ada dialog di antara agama dimana kita bisa bicara satu sama lain terlepas perbedaan. Dalam agama sendiri tentunya ada komunikasi teologis, seperti di Kristen ada pertanyaan tentang apa yang ditulis di Injil, hingga siapa itu Yesus.

F

Mengapa terkesan manusia kini telah melupakan moral dikarenakan perbedaan kepercayaan?

M

Saya kira, orang lahir dengan moralitas dan suatu kesadaran. Manusia menyadari ada sesuatu yang baik dan buruk. Tapi referensi dimulai dari lingkungan atau dari ibu kita. Misalnya ibu bilang Anda tidak boleh merebut mainan dari adik, lambat laun Anda akan mengingat itu dan terpatri dalam kepribadian bahwa merebut sesuatu itu buruk nilainya, walau sang ibu sudah tidak ada. Begitulah bagaimana moralitas dalam seseorang terbentuk dalam perkembangan kepribadian sedari dini.

Setiap orang kiranya punya moralitas, tapi ada yang memilih untuk mengabaikannya. Lalu ada pula orang yang kesulitan dalam mengembangkan moralitas. Seperti ketika ada anak kecil yang besar di tempat pelacuran dan sering dilecehkan, pengalaman seperti ini bisa membuat orang sulit membangun kepercayaan kepada orang lain, bahkan melihatnya seperti ancaman. Orang seperti ini sulit berkembang dalam moralitas yang normal jika dibandingkan dengan orang yang hidup dalam situasi aman dan teratur. Jadi, pengaruh pengalaman dalam hidup dan pendidikan itu besar pengaruhnya terhadap moralitas seseorang.

F

Bagaimana Romo melihat fase kemanusiaan di Indonesia?

M

Sebetulnya budaya-budaya Indonesia sangat kuat untuk menopang keberadaan konsep kemanusiaan yang utuh. Saya mempelajari hal ini ketika belajar Bahasa Jawa yang membuat saya jadi kagum dengan budaya Jawa. Saya yakin hal tersebut bisa ditemukan di budaya lain juga. Jadi, dari sudut kultural, kita sebetulnya hidup di kondisi yang sangat kondusif untuk mengembangakan moralitas dan kedewasaan budaya yang utuh. Tapi kita juga harus memperhatikan bahwa ada banyak tantangan dari budaya tradisional ini.

Mungkin tantangan yang paling mendasar adalah perubahan cara hidup karena modernisasi, contohnya urbanisasi. Mayoritas orang Indonesia sudah hidup di kota, baik besar atau kecil. Berbeda dengan zaman dulu, budaya Jawa berkembang di desa atau keraton. Desa saja sudah tidak utuh, karena banyak orang desa bersepeda di pagi hari untuk bekerja di kota.

Dulu orang bisa hidup dari komunitas, itu yang disebut dengan gotong royong. Sekarang kalau kita bicara untuk kembali ke konsep gotong royong, tentu akan disebut nonsense. Karena hampir semua orang yang kita temui di Jakarta, hingga kita sendiri harus punya tempat kerja dan profesi sendiri untuk bisa hidup. Dengan demikian kita mengalami individualisasi yang tidak bisa dicegah.

Salah satu pembelajaran yang mau tidak mau harus dialami oleh tiap manusia adalah, “tanpa uang, kamu tidak akan apa-apa.” Hal ini menuntut semua orang, terutama di kota besar untuk hidup dalam persaingan mencari uang. Hal ini membuat mentalitas orang menjadi keras dan keterbukaan budayanya menjadi tertutup.

Saya sendiri secara kultural memiliki keuntungan untuk mendobrak ketakutan tertentu, misalnya ketika saya ke terminal bis, saya bisa membangun hubungan dengan para calo atau kenek terkait keasingan yang biasanya dialami oleh orang lokal – takut dengan preman atau orang yang berpenampilan berantakan.

F

Apakah dengan kondisi sekarang, publik pada umumnya telah mengesampingkan spiritualitas akan relasi manusia dengan Ilahi?

M

Saya kira, pertama yang betul-betul ekstrem bukan dari masyarakat berpendapatan rendah. Di Indonesia sendiri, tempat bernaungnya fundamentalisme justru di institusi sekuler besar, seperti universitas ternama Indonesia. Jadi fundamentalisme lahir dan mendapat pengikut dari tempat yang penuh dengan orang kurang orientasi. Disana, kelompok fundamental ini dianggap menawarkan semangat bagi orang-orang tidak memiliki orientasi tadi. Kelompok fundamental ini biasanya menjadi tempat dimana orang-orang tadi menemukan kesempatan untuk melepaskan nafsu dalam melakukan kekerasan dan sebagainya.

Hal ini memang kompleks, ada anggapan; yang saya kira betul, bahwa fundamentalisme baru muncul sejak ada modernitas. Fundamentalisme dalam arti sebenarnya adalah reaksi atas modernitas. Pada hakikatnya orang menolak dan merasa terancam karena modernitas karena disana mereka akan kehilangan orientasi dan terpapar banyak tarikan, disitulah mereka akan mencari cara untuk melawannya bahkan dengan kekerasan.

Nah, spiritualitas adalah sebuah hal yang memerlukan kehalusan batin. Orang yang fanatik dan agresif serta tidak terlatih untuk melakukan refleksi diri itu tidak mungkin punya spiritualitas. Yang mereka miliki adalah ideologi yang mereka anggap benar. Hal ini bisa membuatnya berani untuk beraksi hingga ekstrem, katakan bahkan untuk membunuh.

Spiritualitas adalah keterarahan positif hati seseorang yang memerlukan kesabaran dan kemampuan untuk mendengar bisikan Allah yang bisa datang dari orang lain. Jadi orang fanatik jelas tidak bisa jadi spiritualis karena merasa tahu segalanya, sedangkan definisi spiritualitas adalah ketertarikan hati kepada yang luhur. Orang hidup dari suatu kesadaran yang luhur. Dari kehalusan seperti itu, diperlukan keterbukaan dan kasih. Tidak semua orang punya spiritualitas, bahkan hal tersebut dianggap sebagai kata kosong bagi kebanyakan orang.

F

Bagaimana posisi pemikiran kritis dan rasional dalam beragama menurut Romo?

M

Menurut saya, agama itu letaknya melebihi rasionalitas, tapi tentu agama harus bisa dipertanggung jawabkan. Saya juga sebagai intelektual tetap harus meyakini agama saya, tapi bukan berarti saya harus menjelaskannya. Saya sebagai profesor dan filsuf tentu dituntut pertanggungjawaban yang lebih eksplisit daripada orang lain. Jadi, saya harus bersedia memperhatikan keberatan yang diajukan kepada keyakinan saya, misalnya dari pihak agama lain.

Sekarang di dunia Barat, banyak keberatan dari orang-orang yang tidak percaya dengan Tuhan. Bagaimana mungkin percaya Allah jika banyak penderitaan di dunia, jika Allah Maha Baik, kenapa ada banyak penderitaan di dunia? Pertanyaan itu sering sekali diajukan oleh para atheis. Di situlah masuk rasionalitas. Nah, rasionalitas bukan berarti kita harus membuktikan kepercayaan orang terhadap Allah, tapi bisa menunjukkan bahwa iman bisa masuk akal.

Nah pemikiran kritis tidak bisa begitu saja menerima pemikiran orang lain. Namun pemikiran kritis juga harus kritis terhadap diri sendiri, yakni berani bila keyakinan kita dipertanyakan. Salah satunya yang amat kontroversial adalah LGBT yang dulu total ditolak dan dihubungkan dengan dosa, sekarang berubah. Orang fundamentalis mungkin akan tetap mencap itu dosa. Orang yang rasional dan kritis pasti akan mencari tahu apakah apa benar iman mereka benar-benar menganggap sikap atau hal seperti itu dosa?

Paus Fransiskus ketika ditanya apakah homoseksual itu dosa? Beliau menjawab “Siapa aku untuk menilainya?” Jawaban ini membuat dunia gempar, tapi itulah permulaan pendekatan kritis terhadap diri sendiri.

F

Bagaimana rasanya menjadi seorang tokoh Katolik sekaligus menjadi salah satu pengusung pemikiran kritis pada saat yang sama?

M

Saya sendiri mungkin sudah terlalu tua untuk memikirkan itu. Karena saya mengajar, di situ kemampuan untuk berpikir kritis sudah biasa. Tentu seorang Biolog ketika memeriksa lebah bisa kritis, tapi ia pertama-tama dilatih untuk observasi. Nah filsuf, dan juga teolog juga dilatih untuk observasi dan berargumentasi. Kalau sudah terbiasa, kita tidak mudah tergoncang imannya dari beragam argumentasi.

Ketika saya mendapati ada seorang atheis menulis buku mengapa orang harus atheis, saya tidak akan terguncang. Tapi jika buku itu mengangkat perspektif baru yang penting untuk disimak, misalnya buku Richard Dawkins berjudul “The God Delusion”, saya akan baca dan menanggapi buku itu.

F

Bagaimana sebenarnya sistem politik atau kenegaraan yang bisa menjadi platform yang ideal untuk kehidupan masyarakat yang toleran menurut Romo?

M

Kita mengembangkan demokrasi hasil Reformasi yang sudah ada. Karena MPR telah melakukan amandemen-amandemen, terutama saat Ketua MPR pada waktu bersikeras untuk memberi kedudukan kuat terhadap HAM, mulai kebebasan untuk berpendapat, membentuk organisasi dan berkumpul yang sampai sekarang harus dibela dari ancaman pihak-pihak intoleran Negara dan turut kepada kelompok ekstrem.

F

Bagaimana agama memandang pluralitas menurut Romo?

M

Sebetulnya hal itu merupakan perkembangan karena tiap agama itu berbeda. Pada dasarnya agama tidak terbuka dengan pluralitas karena agama selalu menganggap dirinya paling benar. Baru di zaman modern, agama jadi semakin sadar akan pluralitas keagamaan dan bahwa di dalam keyakinan agama yang mungkin sangat berbeda, terdapat pola-pola kemanusiaan dan etika yang luhur. Misalnya, Santo Fransiskus Xaverius dari abad ke-16 ke Jepang dan mengenal agama Budha. Ia tertarik dan menemukan bahwa orang di luar gereja pun mengetahui hukum Allah.

F

Apa proyek yang sedang Romo siapkan akhir-akhir ini?

M

Saya tentu ingin menulis lagi. Ada buku yang sedang saya tulis,tapi saya tidak mau bercerita lebih karena takut tidak selesai. (tertawa). Selain itu saya akan mencetak kembali buku Etika Politik setelah 30 tahun. Saya akan masuk ke bidang teologi lebih dalam dan mungkin memperdalam beberapa buku.whiteboardjournal, logo