Mencari Anomali dari Musik Populer Bersama Dekadenz

01.12.16

Mencari Anomali dari Musik Populer Bersama Dekadenz

by Febrina Anindita

 

Seolah tak pernah puas, muda-mudi yang bergelut di scene dance music Indonesia terus mencari warna baru di lantai dansa. Setelah sekian banyak kolektif yang bermunculan dengan karakter masing-masing, sebuah inisiatif muncul dari 3 orang musisi dan music selector asal Jakarta, untuk membuat Dekadenz – wadah bagi band dan DJ untuk berkesperimen dalam mengolah musik dengan beat-beat obscure.

Adalah Jonathan “Ojon” Kusuma, Aditya Permana dan Ridwan Susanto yang bergerak bersama atas nama kolektif Dekadenz ini. Dalam eksekusinya, acara yang mereka gelar selalu hadir dengan nuansa ala bunker yang disinari cahaya merah. Walau berlandaskan Electronic Body Music (EBM), nomor-nomor industrial, raw drum machines, noise, DIY dan warm tropical techno turut mewarnai episode Dekadenz.

Kami berkesempatan untuk mengobrol dan menanyakan dekadensi yang mereka tawarkan untuk scene underground dance di Indonesia.

Hal apa yang menyatukan kalian untuk membuat sebuah kolektif bernama Dekadenz?

Adit: Kesamaan visi dalam musik.
Ojon: Common ground-nya musik.
Ridwan: Genre musik yang disukai kami banyak yang sama dan bisa dieksplorasi untuk dijadikan kolektif di Jakarta.

Seperti apa dekadensi dalam musik yang kalian buat?

Ridwan: Musik-musik dansa selama 30 tahun terakhir yang tidak populer, terasa absurd karena ritma etniknya yang terus berganti dan akhirnya bisa dimainkan oleh kita, orang Indonesia.
Adit: Dan cara kami menyuarakan musik yang mencerminkan hidup sehari-hari di Jakarta.

Banyaknya kolektif musik yang terbentuk beberapa tahun ini telah menciptakan scene dan warna sendiri. Apa yang membedakan Dekadenz dengan kolektif yang lain?

Adit: Tiap kolektif punya warna musik yang berbeda-beda dan semua punya prinsip musik masing-masing. Dekadenz menyukai unsur musik gelap dan suara kasar dari analog drum machine atau synth dengan paduan unsur perkusi tropikal.
Ojon: Yang membedakan kami dengan yang lainnya mungkin adalah kombinasi dari latar belakang kita masing-masing. Tapi secara mood, lagu-lagu yang kami mainkan cenderung lebih bernuansa dark, setidaknya menurut saya.
Ridwan: Selain dari musik, kami juga berusaha kolaborasi dengan musisi dan visual artist yang sejalan dengan konsep party kami.

Ada nuansa underground dalam musik dan acara yang kalian buat. Konsep apa yang kalian ingin berikan dalam tiap installment Dekadenz?

Ojon: “Party at the dark side of the disco ball,” kalau kata Ridwan (tertawa).
Adit: Dan suasana party di ruangan gelap bercahaya merah yang seru!
Ridwan: Konsep kolaborasi setiap party Dekadenz lebih enak kalau ada hal-hal tersebut.

Beberapa saat lalu lewat obrolan singkat dengan Adit, ia mengatakan kalau Dekadenz menawarkan musik yang lebih “kiri.” Karakter musik seperti apa yang dimaksud “kiri” ini?

Ridwan: Adit paling bisa jelasin nih (tertawa).
Adit: Semangat untuk memainkan musik yang lebih baru dan aneh (tertawa).
Ojon: Musik-musik yang lebih susah diterima oleh anak muda mungkin?
Ridwan: Kiri yang dimaksud adalah Leftfield, genre generalisasi di musik yang lebih komposisinya lebih eksperimental.

Kalian juga mencari live performance atau visual experience dari talenta lokal. Apakah dengan banyaknya variasi dalam scene underground dance, kalian kesulitan dalam mengkurasi bakat-bakat yang sejalan dengan Dekadenz?

Ridwan: Challenging, tapi sebisa mungkin kami kurasi dengan baik, dengan harapan, adanya Dekadenz bisa menjadi medium atau inspirasi ke yang lain.
Ojon: Kami berharap akan lebih banyak lagi menemukan talenta-talenta muda lokal yang bisa kami ajak kerja sama.
Adit: Bertukar pikiran dalam membuat suatu karya adalah hal yang seru.

Proyek apa yang sedang kalian siapkan?

Adit: Podcast yang mengundang band atau produser lokal untuk memainkan lagu yang ‘Dekadenz’ menurut versi mereka. Juga mengeluarkan banyak track Dekadenz edit.

https://www.mixcloud.com/dekadenz/whiteboardjournal, logo

Tags