Jakarta dari Perspektif Rain Chudori

05.10.17

Jakarta dari Perspektif Rain Chudori

by Febrina Anindita

 

Teks: Amelia Vindy
Foto: Ray Shabir

Setelah sukses dengan buku perdananya, “Monsoon Tiger” di tahun 2015, Rain Chudori akan menerbitkan karya keduanya pada pertengahan Oktober 2017, yang diberi judul “Imaginary City.” Penulis muda asal Jakarta ini cukup mahir mengolah pengalaman personal untuk diabadikan melalui narasi-narasi indah yang mengajak para pembaca untuk terlibat dalam emosi yang ditumpahkan di setiap ceritanya. Kali ini dengan mengangkat tema kota, Rain ingin menceritakan seperti apa peran sebuah kota – yang pada buku ini digambarkan oleh Jakarta – untuk dirinya, dan bagaimana kota menjadi saksi bisu atas seluruh kejadian yang terjadi dan dialami oleh orang-orang di dalamnya. Kami berkesempatan untuk menanyakan cerita dan proses kreatif di balik pembuatan buku ini hingga harapan Rain untuk para pembaca melalui buku terbarunya.

Kalau sebelumnya “Monsoon Tiger” diselesaikan kurang lebih selama 7 tahun, bagaimana dengan proses pengerjaan buku baru Rain yang berjudul “Imaginary City” – mengingat penerbitan buku baru tersebut jaraknya kurang dari 1 tahun setelah buku perdana Rain yang dirilis bulan Desember tahun lalu?
Monsoon Tiger diterbitkan Desember 2015, jadi kira-kira sudah 2 tahun yang lalu. Proses penulisan Imaginary City hanya 3 bulan, dan proses produksi 2 bulan. Cukup singkat memang, ya mungkin karena ada banyak hal yang mau saya sampaikan di karya ini.

Karya-karya Rain cenderung sering mengangkat isu yang berhubungan dengan kehidupan personal. Contohnya seperti “Imaginary City” yang akan bercerita tentang “love stories.” Dari mana latar belakang cerita untuk novel terbaru ini?
Menurut saya cinta itu pondasi dari tiap bagian dalam hidup – entah dalam bentuk apapun. Cinta terhadap keluarga, cinta ke teman, cinta dengan definisi romantis untuk pasangan, cinta ke karir, bahkan cinta akan hal-hal kecil dan indah dalam hidup. Nah, “Imaginary City” ini lahir dari kecintaan saya terhadap Jakarta.

Kebanyakan dari karya-karya Anda sering kali menyelipkan isu-isu tentang perempuan dan Anda sangat suka menulis sesuatu yang berhubungan dengan perempuan. Adakah pesan khusus untuk perempuan yang ingin Anda sampaikan lewat “Imaginary City?” Jika ada, seperti apa perannya kali ini?
Saya percaya bahwa tiap wanita di dunia ini adalah pejuang. Ada begitu banyak bentuk perjuangan, bahkan hanya untuk sekadar hidup, dan begitulah kita akan bertahan, lalu berkembang, dan saling bertemu satu sama lain hari demi hari. “The Young Woman” di “Imaginary City” adalah sosok penyendiri, ia memiliki banyak teman di hidupnya, pekerjaan, juga berbagai hal yang membuatnya bahagia. Yang kemudian dia jatuh cinta pada seseorang yang tidak mungkin ia dapatkan, dan tiba-tiba semua yang telah ia kerjakan selama ini, lenyap seketika.

Kalau sebelumnya Rain tidak pernah menjelaskan tentang detail lokasi untuk memberikan ruang imajinasi kepada pembaca, pada “Imaginary CIty” Rain justru menjadikan detail lokasi sebagai judul sub bab. Pengalaman seperti apa yang kali ini ingin Rain berikan kepada pembaca?
Buku ini berbicara tentang momen-momen, keindahan dan kebrutalan, dan ruang di mana dua hal tersebut terjadi. Kota di karya ini menyimpan begitu banyak momen, yang amatlah penting, baik masing-masing maupun secara keseluruhan. Saya berharap pembaca bisa membuka buku ini dan menemukan kedamaiannya sendiri.

Apa yang membuat kota pada “Imaginary City” menjadi tema yang menarik atau layak dijadikan sebuah ide tulisan?
Bagi saya, bagian terpenting dari menulis adalah jujur pada diri sendiri. Dengan begitu, barulah saya bisa jujur pada orang lain. Semoga niatan tadi dapat tersampaikan pada pembaca melalui karya ini.

Respon seperti apa yang Rain harapkan dari para pembaca “Imaginary City”?
Saya ingin mereka semakin jatuh cinta dengan kota mereka (di manapun mereka berada).

Launching “Imaginary City”
Sabtu, 14 Oktober
17:00

Dialogue Artspace
Jl. Kemang Selatan No. 99A
Jakartawhiteboardjournal, logo