Arahan Menyegarkan dari Film Posesif

17.10.17

Arahan Menyegarkan dari Film Posesif

by Muhammad Hilmi

 

Biasanya saat seorang sutradara arthouse beralih jalur menjadi sutradara film mainstream, ada dua output yang terbayang, sutradara tipe pertama akan meninggalkan sama sekali latar belakangnya sebagai sutradara film nyeni dan menukarnya dengan perspektif khalayak umum, filmnya mungkin akan sukses, tapi dengan itu ia akan pelan-pelan melupakan estetika lamanya. Opsi kedua adalah ngeyel dengan pendekatan artsy di film yang ditujukan untuk publik luas, yang satu ini outputnya cukup jelas, film akan tak sesuai harapan dan gagal di pasaran.

Edwin, dalam hal ini menemukan jalan tengah yang pas di film “Posesif.” Ia dengan cukup baik bisa mengubah cara pandangnya dari sutradara yang membuat dahi berkernyit, menjadi sutradara yang mampu mengaduk emosi penonton di “film bioskop” pertamanya. Yang membuat film ini menarik adalah bagaimana Edwin tetap menyisakan pendekatan yang biasa ia gunakan dulu di film rilisan Babibuta di layar perak bioskop 21.

Salah satu kekuatan utama film “Posesif” ada pada bagaimana Edwin serta sang penulis naskah, Gina S. Noer (Perempuan Berkalung Sorban, Habibie & Ainun) dengan berani menempatkan tokoh perempuan dalam film ini sebagai tokoh utama yang menentukan alur cerita. Tokoh Lala (diperankan dengan baik oleh artis pendatang baru, Putri Marino) hidup sebagai sosok yang tak hanya berlaku sebagai objek, ia juga diberi ketangguhan untuk bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Empowerment yang berharga. Sebuah hal yang masih jarang ditemui di film-film lokal.

Kekuatan kedua yang dimiliki film ini juga ada pada bagaimana Edwin beserta tim Palari Films dengan jeli mengangkat tema mengenai topik penting, mengenai hubungan antara manusia dan bagaimana tarik-menarik di antaranya bisa jadi destruktif. Sebuah masalah yang terdengar remeh, namun tak jarang menjadi muara masalah-masalah besar yang ada di sekitar kita.

Tapi yang jelas, keberhasilan utama film ini adalah pada bagaimana arahan dan tema penting di atas disampaikan dalam penuturan pop yang menyasar pada penonton usia muda. Dan dalam hal ini, film “Posesif” adalah film yang hitting the right spot, ia menyentuh saat bertutur tentang kisah kasih, mencekam saat bercerita tentang horor, juga bisa memancing empati saat berkisah tentang haru. Diselipkan juga twist di ceritanya. Membuat “Posesif” tampil sebagai film yang layak ditonton siapa saja yang merindukan kualitas pada film Indonesia.

Hal menyenangkan lain dari film ini adalah pemakaian salah satu lagu terbaik lokal, Banda Neira – Sampai Jadi Debu yang terasa semakin megah dan menggugah dengan tata suara bioskop. Jangan lupakan pula sekilas penampilan Ismael Basbeth yang sangat mencuri perhatian.

Dalam perjalanan menuju teater, kami sempat membicarakan bagaimana Indonesia kekurangan film yang bisa memuaskan khalayak mainstream dan arthouse secara bersamaan. Di mana penonton film pada umumnya, dan penonton film yang menuntut lebih dari film yang ditontonnya, bisa keluar dari pintu teater dengan senyuman yang sama. “Posesif” jelas bukan film yang sempurna, tapi arahan yang ada di sini membuka kesempatan untuk menuju ke sana. whiteboardjournal, logo