Masa Depan Musik Jakarta akan Baik-Baik Saja

05.03.18

Masa Depan Musik Jakarta akan Baik-Baik Saja

Review Gig Noisewhore Live

by Febrina Anindita

 

Kebudayaan sebuah kota sejatinya dibangun oleh ide-ide kecil yang dijalankan oleh teman-teman dekat yang bergerak bersamaan. Yang mereka lakukan seringnya luput dari spotlight atau bahasan awam, namun bekas yang mereka ciptakan jauh lebih mendalam dari acara-acara besar dengan modal tinggi menjulang. Begitulah sepertinya yang sedang terjadi di skena musik ibu kota. Seperti halnya bagaimana dulu BB’s dan Parc menjadi awal mula, kini gejala-gejala yang sama tumbuh dengan nama-nama baru. Salah satu nama yang akan cukup menonjol dua tahun terakhir adalah kolektif noisewhore. Dan, gelaran Noisewhore Live memberikan argumentasi yang kuat pada taji nama mereka.

Ketajaman Scouting
Dengan seenaknya, noisewhore mengundang Sunset Rollercoaster, sebuah band yang relatively unknown (mereka sempat merilis album di tahun 2011, lalu vakum selama lima tahun), memang lagu “My Jinji” sulit untuk tidak disukai, tapi hanya dengan modal itu lalu dengan berani membuat festival mini jelas adalah hal yang tidak disukai telinga promotor konservatif. Tapi keberanian dan ketajaman seperti inilah yang menjadi kunci, nyatanya tiket festival yang digelar dalam dua weekend ini ludes terjual (bahkan tiket waiting list-nya pun sangat dicari).

Intinya, noisewhore menunjukkan bahwa keberanian penyelenggara acara kini pun diimbangi dengan selera publik yang juga semakin berani. Selain itu bisa dilihat juga tentang bagaimana banyak talenta menarik dari seputaran Asia, seminggu sebelumnya panggung mereka juga hidup melalui aksi Subsonic Eye dan Sobs yang berasal dari Singapura. Di malam yang sama, sebuah festival jazz legendaris justru bimbang arah dengan mengundang Goo Goo Dolls sebagai headliner. Kalau polanya seperti ini, rasanya kita akan tahu siapa yang akan segera kehilangan relevansi.

Keberagaman yang Hidup
Sekitar satu hingga dua tahun terakhir, ada warna-warni menarik di gigs-gigs kecil. Acara-acara berskala mikro yang biasanya cenderung eksklusif dalam hal penampil, kini semakin inklusif dan berani dalam mencampur berbagai genre dalam line up-nya. Noisewhore Live adalah bagian dari pergerakan ini. Setidaknya di hari keduanya, acara diisi secara bergantian oleh post-hardcore, indie pop, hip hop, indie rock, hingga pop jazz. Dan semua disambut baik oleh para pengunjung. Saat Bedchamber di panggung, penonton berlompatan, saat BAP bermain dengan baik di panggung, penonton juga menangguk-angguk setuju, saat Sunset Rollercoaster tampil, penonton menikmati dengan senang hati (suasananya agak mengingatkan pada suasana prom night) . Ini jelas hal yang positif, melihat bagaimana pengunjung gig musik semakin ekspresif dalam menikmati penampilan musisi.

Peran yang Terbagi
Yang menarik juga dari gelaran Noisewhore Live kemarin adalah bagaimana terlihat wajah-wajah muda mendominasi penontonnya. Di sisi panggung pun terlihat bagaimana acara kemarin dijalankan dan dihidupi oleh nama-nama baru. Mulai dari penggagas acara, panitia, band, hingga sound engineer dikerjakan oleh anak-anak baru. Gabungkan itu dengan antusiasme beberapa pengunjung yang terlihat aktif mendokumentasikan acara – bukan tidak mungkin beberapa di antaranya sedang mengambil foto untuk photo journal-nya, beberapa sedang mengingat-ingat highlight untuk ditulis di media musik yang sedang mereka persiapkan.

Dengan anak-anak muda yang berani, juga kecanggihan mereka dalam bermanuver di era digital sekarang ini, sulit untuk tidak optimis bahwa skena musik kita ke depan akan terus hidup dan baik-baik saja. Tak hanya di Jakarta saja, karena rasa-rasanya gejala yang sama juga sedang hidup di daerah-daerah lain di luar ibu kota. Terima kasih untuk noisewhore telah menjadi salah satu peletak pondasi regenerasi musik lokal.whiteboardjournal, logo

Tags