
Claresta Taufan: Kenapa justru orang yang di luar sana bisa mengapresiasi karya kita, tapi negaranya sendiri bisa membanding-bandingkan seperti itu?
Menuju hari-hari Jakarta Film Week 2025, kami menyempatkan untuk berbincang dengan Claresta Taufan, Festival Ambassador, mengenai geliat film Indonesia belakangan ini, hingga (tentu saja) sang festival.
Words by Whiteboard Journal
Words: Jemima Panjaitan
Photo: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal
Diawali dengan menjadi atlet karate, Claresta Taufan menunjukkan kepada dunia sebagai sosok yang konsisten cemerlang dalam industri film, sampai-sampai ditunjuk menjadi Festival Ambassador Jakarta Film Week.
Setelah sukses menjadi bagian dari film Pangku (2025) yang ditayangkan di Busan International Film Festival tahun ini, dan menjadi pemenang The Rising Star Award pada Marie Claire Asia Star Award yang menjadi bagian dari BIFF, ia meneruskan cerah film kita di panggung (atau layar) yang melebar dari Indonesia.
Tinggal menghitung hari sampai Jakarta Film Week, kami berkesempatan untuk ngobrol dengan Claresta Taufan mengenai karirnya sebagai aktor, respons industri di tengah proliferasi GenAI, hingga lanskap industri film di Indonesia.
Dari atlet karate, host olahraga di salah satu stasiun TV, dan sekarang menjelma sebagai aktor yang telah meraih berbagai prestasi. Apa yang mendorongmu untuk terus berpindah lintas bidang, dan bagaimana masing-masing pengalaman itu membentuk pendekatan dalam berkarya hari ini?
Aku karate itu awalnya hobi, karena memang aku dari keluarga karate gitu. Dan ternyata ketika aku menjalaninya, aku enjoy, dan membuahkan prestasi. Aku percaya ketika kita bisa manage our focus, daripada pendidikan mengganggu prestasi justru mereka saling support satu sama lain. Aku mulai karate dari ekskul di sekolah dan ternyata aku bisa dapet beasiswa bahkan sampai kuliah. Di kuliah pun, aku jurusan arsitektur selama 8 semester dapat beasiswa dari karate. Karena selama 20 tahun hidupku fokus ke pendidikan dan karate, sejak lulus kuliah, aku ingin coba hal yang baru.
Dari host acara olahraga, terus jadi host acara adventure aku lebih banyak ketemu alam, ketemu orang-orang yang sangat berbeda background cerita dan tempat tinggalnya. Sama halnya ketika aku dapat tawaran film, selalu ada hal baru yang aku dapatkan, selalu ada ilmu baik dari orang di project tersebut. Makanya aku enjoy menjadi aktor saat ini. Aku percaya setiap orang punya timeline-nya masing-masing, aku lihatnya itu sudah diatur oleh Tuhan, and everything happened because of my mom and dad’s prayers.
So, it was all fated, ya?
Iya, aku percaya itu.
Nah, dengan penghargaan sebagai Festival Ambassador Jakarta Film Week 2025, beban yang kamu dapatkan sekarang akan lebih besar. All eyes are gonna be on you. Apakah hal ini akan memengaruhi cara kamu memilih peran atau mendekati karakter kedepannya?
Sebenarnya aku ketika ditawari untuk menjadi Festival Ambassador Jakarta Film Week ini, aku excited, tapi aku tahu ini menjadi tanggung jawab yang tidak mudah karena berarti aku harus menjadi wajah Jakarta Film Week dan aku punya tanggung jawab untuk membawa semakin banyak orang yang datang ke JFW tahun ini.
Tapi kalau ngomongin tentang apakah itu mengubah cara aku mengambil film project, sebenarnya dari dulu aku dan managerku sudah punya cara sendiri untuk memilih project—mulai dari siapa orang yang ada di project tersebut, bagaimana jalan ceritanya, pesan apa yang mau disampaikan dan seperti apa karakter yang akan aku jalani.
Menjadi perempuan muda di industri perfilman, apakah ada tantangan tersendiri yang kamu dapatkan? Kalau ada, kamu menghadapinya seperti apa?
Menurut aku bukan hanya perempuan tapi semuanya pasti punya struggle-nya masing-masing yang kita gak tau. Mungkin orang bisa lihat, “Oh Clarissa cepet banget naiknya instan banget,” well, thank you if you see me like that. I mean, am I that cool in your eyes? Padahal nggak, aku juga panjang perjalanannya.
Aku banyak casting dari bertahun-tahun lalu yang memang belum pernah dapet, dan memang belum rezekinya. Dan ada banget momen aku mikir… aduh, mungkin [film] bukan jalan aku kali ya? aku balik lagi deh fokus jadi arsitek. Bahkan untuk meyakinkan mama papa aku bahwa aku mau 100% di industri ini itu sangat amat tidak mudah. Even at the moment they are not sure about this, tapi pelan-pelan aku bisa menunjukkan bahwa industri ini, can I say… menyenangkan?

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal
Kamu ada pesan nggak aspiring young women yang ingin masuk ke dalam industri ini?
Sebenarnya nggak cuma industri film, pesan aku untuk industri apapun yang mau mereka jalani adalah harus fokus, harus mempersiapkan diri baik secara ilmu maupun mental. Karena aku percaya orang yang beruntung itu bukan orang yang tiba-tiba mendapatkan keberuntungan tapi orang yang ketika kesempatan itu datang, orang itu sudah mempersiapkan.
Jadi kita nggak bisa bilang, “Oh, ya dia beruntung aja tuh gitu dapat Project A…” ya kalau misalnya dia ditawari casting Project A tapi dia nggak mempersiapkan, ya nggak akan menjadi rezeki, nggak jadi keberuntungan dia. Focus on your goals sih. Saat muda itu saat yang sangat menyenangkan untuk explore and try new things. Distraksi itu pasti banyak banget, tapi yang terpenting adalah kita fokus sama goal-nya itu apa.
Ngomongin tentang Indonesia, kita melihat apresiasi terhadap film atau karya seni in general yang lebih memiliki ruang untuk show up, bahkan ruang akomodasi untuk teman-teman dan karyanya pun sudah lebih besar. Menurut pengamatan kamu sendiri, apa sih titiknya dalam lanskap film Indonesia yang menyebabkan kemunculan fenomena ini?
Aku tahu sangat banyak orang yang tertarik dengan industri ini—bukan cuma sebagai pemain tapi juga sebagai filmmaker-nya, sutradara, penulis, dan lain-lain. Dan menurut aku salah satu hal yang menjadi poin penting ketika membuat ini terus berkembang adalah wadah-wadah seperti salah satunya di Jakarta Film Week kita punya JFWNet.
Ini merupakan project yang menurut aku secara general mempersiapkan dari hulu ke hilir untuk masa depan perfilman bukan cuman di Jakarta pasti saat Jakarta, tapi secara nasional. Di sana akan ada Masterclass, Producer Lab, terus ada Talent Hub. Hasilnya nggak langsung ada 1–2 bulan tapi akan jadi jangka panjang, dan penting juga untuk menemukan bibit-bibit baru dalam perfilman.
Bahkan juga, ini dirasa sebagai era yang menyenangkan untuk perfilman Indonesia—film-film bagus dan berprestasi bermunculan, dan tokoh film pun banyak berdinamika di perhelatan film bergengsi mancanegara. Can we hear your feelings about this current phenomenon?
The biggest feeling is, of course, happy. Kalau sekarang dibilang film-filmnya bagus, dari dulu Indonesia punya banyak banget film bagus, tapi memang sekarang platformnya lebih banyak. Kalau dulu mungkin hanya ada di TV dan di bioskop, sekarang kita punya OTT (over-the-top) dan juga sekarang semakin banyak festival film yang ada di Indonesia, di mana kita bisa nonton film-film eksklusif dengan ‘lebih’ mudah, aku nggak akan bilang mudah karena kita kan war ticket! Hahahaha.
Tapi jadi semakin banyak ruang untuk para penggiat, dan juga para penikmat. Apalagi dengan media sosial, jadinya pasti apa [awards] yang kita raih itu semakin mudah tersiarkan secara global.
Yup, apalagi karena makin banyak film reviewer dan juga Letterboxd ya?
Iya, “What’s your four favorite movies?” Hahaha.
Tapi, kita selalu ada tendensi untuk memberi ‘pemakluman’ saat ngobrolin film lokal, dengan statement seperti “Untuk film lokal sih bagus.” Gimana menurut kamu terhadap sentimen ini?
Aku tahu ada sentimen itu, dan nggak hanya di film aja sih, di industri lain juga, let’s say musik. Sentimennya juga sama kayak gitu. Padahal musik dan film kita juga berbicara secara internasional, loh. Kalau aku boleh kasih contoh, salah satu filmku yang berjudul Pangku (2025), yang di mana film itu sangat lokal dan mempotret realness.
Aku akan bilang film ini film yang jujur tentang kehidupan di Indonesia—secara spesifik di era Pantura. Aku bilang film ini jujur bukan karena aku ada di dalamnya, tapi aku merasa film ini nggak di-sugarcoat, nggak dibikin sedih-sedih, nggak dibagus-bagusin. Tapi ya udah memang keadaan seperti itu, dan ternyata ketika ditayangkan di Korea. Surprisingly orang-orang di sana merasa bisa relate gitu.
Jadi menurutku sangat disayangkan gitu kalau orang bilang “Oh, ini bagus untuk Indonesia aja,” padahal nggak kok! Kenapa justru orang yang di luar sana bisa mengapresiasi karya kita, tapi negaranya sendiri bisa membanding-bandingkan seperti itu? Menurut aku akan lebih baik ketika kita membandingkan keadaan perfilman negara kita dengan negara lain. Menurutku, nggak menutup kemungkinan negara lain bisa mempelajari apa yang kita punya di Indonesia.
Pas kemarin aku di [Busan International Film Festival], salah satu negara yang ngobrol sama aku pas kemarin bilang, ternyata negara tersebut lagi sangat low dalam industri filmnya. Dalam satu tahun hanya bisa memproduksi film dalam hitungan jari, dan dengan keadaan tersebut mereka membuka kesempatan untuk berkolaborasi dengan negara lain. Harusnya menurut aku itu yang menjadi perbandingan sih, melihat keadaan industri perfilman negara lain dan melihat kesempatan-kesempatan apa yang bisa dilakukan Indonesia. Menciptakan sistem kolaboratif daripada membandingkan mana yang buruk, mana yang baik.
Menurut aku cerita Indonesia juga banyak banget. Soal lokalitas Indonesia, cerita inspirasional perempuan-perempuan di Indonesia, gak ada habisnya gitu. Indonesia tuh secara budaya sangat luas.
Speaking of, is comparing ourselves to foreign countries (or, specifically, film scenes) still relevant today in the age where arts are increasingly local?
Menurut aku sih, bukan membandingkan. Lebih baik kita membuat film yang dekat dengan realitas. Memang, kadang-kadang akan berbeda kalau kita mau bikin fiksi, tapi, akankah tidak lebih baik kalau kita mengambil Jakarta sebagai ‘Jakarta’ daripada Jakarta sebagai ‘London’?
Ketika membuat film kita kan sebenarnya ingin menceritakan dan membuat orang percaya dengan apa yang kita pertontonkan. Jadi, kalau bisa tiba-tiba kita ceritanya secara spesifik, kita bilang ini ada di Jogja tapi ternyata kok semua orang lokalnya ngomongnya pake bahasa Bali?
Akan menarik lagi kalau bisa membuat dunia baru, tapi, instead of mencoba untuk ke barat-baratan yang sebenarnya dipaksakan, kenapa nggak capture kekayaan yang kita punya?
Tapi, meski apresiasinya sedang bagus, tapi ada pula proliferasi GenAI yang kini mulai masuk ke dalam pembuatan karya itu sendiri. Dari pengamatanmu, bagaimana pelaku industri merespons merebaknya AI ini?
AI itu kan sebenarnya seharusnya menjadi tools yang memudahkan manusia, tapi menurut aku tidak akan bisa terkalahkan. Kita coba contohkan dengan seni dua dimensi—printing dan goresan tangan, yang setiap goresan itu kan [bisa] berbeda banget.
Kalau kita mau ngomong sama nilainya, juga, jauh banget! Karena justru keunikan, imperfections, dan personal touch-nya itulah yang mahal, yang gak bisa digantikan, menurut aku.
Sama seperti, misalnya, aku dikasih karakter namanya Maya. Maya yang tercinta ini pasti beda kalau robot yang bikin karena kekhasannya hilang—sisi manusianya. Kita bisa memanfaatkannya, tapi tidak akan bisa menggantikan autentitas manusia.
Berbicara tentang Jakarta Film Week, kita juga harus bicara tentang JFWNET—Industry Program. Platform yang suportif jelas sangat dibutuhkan untuk menyiapkan talenta muda. Tapi, menurutmu, bagaimanakah cara agar platform ini juga berkelanjutan?
JFW ini didukung oleh Management Talenta Nasional (MTN) Seni Budaya. Jadi, ini program paralel yang fokus ke pengembangan kapasitas talenta proyek film, pergerakan ekonomi perfilman, memperkuat jejaring profesional, serta membuka peluang kolaborasi lintas batas budaya.
Jadi, bagaimana untuk membuat ini sustain? Yang pertama harus dari awareness dari manusia-manusianya untuk mengikuti programnya, dan kembali lagi, ketika orang yang sudah mengikuti programnya dan mendapatkan ilmunya, harus bisa mengaplikasikannya dan membaginya kembali.
Karena menurut aku, yang membuat industri mati adalah bukan kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang yang mau berbagi ilmu.
Jadi, ketika sudah ada JFWNET yang di mana kita udah kasih nih media-media dari producer, future actress, actor, future writer, future director, ketika ilmu sudah didapat, alangkah baiknya yang mendapatkan ilmu terus di-share itu yang bikin industrinya itu terus berkembang dan ada persaingan yang sehat dibanding punya ilmu di-keep sendiri. Buat apa?
Karena kalau misalnya kita punya ilmunya, tapi industrinya gak berjalan, buat apa ilmunya?
Ini sudah tahun kelima Jakarta Film Week. Apa yang bisa kita expect berbeda dari perhelatan-perhelatan sebelumnya?
Tahun ini kan temanya REIGNITE, jadi ingin menghubungkan lintas batas dan disiplin. Jadi bukan cuma antar film, tapi antar seni, karena kita tujuannya ingin membuat Jakarta sebagai epicentrum kesenian. Jadi makanya kita pasti akan bekerja sama dengan jurnalis, aktivis, peneliti, penulis, seniman, desainer, song composer, dan banyak lagi.
Dan tahun ini menghadirkan kolaborasi lintas disiplin beberapa partner, lewat program seperti Emergency Broadcast dan Herstory.Jadi Emergency Broadcast itu adalah sekumpulan film yang menceritakan keadaan aktual di global saat ini, dan juga ada Herstory yang menceritakan tentang—ini salah satu yang paling suka—tentang perempuan.
Karena cerita tentang perempuan secara global itu ada banyak banget, dan aku percaya ada banyak banget perempuan-perempuan hebat, perempuan-perempuan inspiring yang ceritanya menunggu untuk digaungkan, untuk didengar oleh orang-orang, yang pastinya membuat orang yang menonton itu at least merasa tidak sendiri.



