Review White Shoes and the Couples Company Konser di Cikini

12.08.15

Review White Shoes and the Couples Company Konser di Cikini

by Muhammad Hilmi

 

Foto oleh: Yose Riadi & Muhammad Asranur

Cukup susah untuk tidak tersenyum di konser White Shoes and the Couples Company. Dengan kualitas musik dan penampilan yang telah membawa mereka menjadi salah satu band paling maju di Indonesia, hampir setiap panggung WSATCC adalah gelaran yang selalu menghibur. Indra penglihatan dan pendengaran selalu terpuaskan oleh nyanyi dan tari yang selalu ditampilkan dengan sepenuh hati oleh tiap personilnya. Baik di panggung besar, maupun di gigs kecil di sebuah kafe yang penuh sesak, pentas sextet ini selalu menjadi pengalaman yang menyenangkan.

Hari itu, Rabu, 5 Agustus 2015 WSATCC dijadwalkan untuk bermain dan membagikan pengalaman yang menyenangkan tersebut di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Dan, pada hari tersebut, entah berapa banyak senyuman yang terkembang di muka para penonton setelah sajian yang cukup spesial dari WSATCC. Bukan hanya karena hari itu merupakan “ulang tahun” ke-13 dari WSATCC, tetapi juga karena acara ini memiliki tajuk yang juga lumayan istimewa, yakni “White Shoes and The Couples Company Konser di Cikini”.

Dalam hal ini, Cikini khususnya Graha Bhakti Budaya sebagai bagian dari Taman Ismail Marzuki menjadi konteks yang cukup penting sehubungan dengan sejarah kemunculan unit WSATCC dari Institut Kesenian Jakarta yang juga berada kompleks Taman Ismail Mazuki. Selang sekitar tiga belas tahun dari tahun 2002, setelah nama WSATCC berkembang jauh dari band kampus menjadi salah satu band independen paling sukses di Indonesia, kembalinya mereka ke kompleks ini seakan merupakan tanda terima kasih sekaligus homage kepada sebuah entitas yang sedikit banyak juga berperan dalam progresi karir mereka. Sebuah hal yang ternyata juga dirasakan oleh para penggemar musik lokal, semenjak sore, kawasan Taman Ismail Marzuki terlihat lebih ramai daripada biasanya dengan kedatangan penonton konser yang memadati area sekitar gedung Graha Bhakti Budaya. Ratusan tiket pre-order sekaligus tiket on the spot yang ludes dalam waktu yang singkat menjadi bukti sahih akan antusiasme para penggemar musik terhadap konser ini. Dan benar saja, ketika akhirnya pintu teater dibuka pada sekitar pukul setengah delapan malam, antusiasme itu seperti menemukan muaranya pada panggung WSATCC.

Tapi tetap saja, ada beberapa hal yang terasa tak terlalu sempurna pada konser Cikini tersebut. Sebenarnya, jika dilihat secara umum, Konser Cikini bukan merupakan konser yang buruk, White Shoes tetap tampil bagus dan menghibur. Tapi, jika dilihat lebih jauh, untuk band dengan level White Shoes, predikat bagus dan menghibur semata jelas tidak cukup. Sebagai salah satu nama yang menjadi panutan di scene independen lokal, juga mengingat segala prestasinya di level internasional, benchmark untuk White Shoes berada pada level yang setingkat, atau bahkan dua tingkat di atas band lokal pada umumnya. Dan, pada malam itu ada beberapa poin yang cukup mengganggu kesempurnaan acara.

Hal pertama yang cukup mengganggu adalah kostum Sari dan Mela di sesi pertama, identitas endorser brand Ugly terlalu menonjol, membuat fokus yang seharusnya ada pada penampilan White Shoes secara keseluruhan justru agak tenggelam. Secara umum, set White Shoes di paruh pertama pertunjukan juga tak terlalu istimewa, nuansanya hampir sama dengan panggung White Shoes pada pentas mereka biasanya. Sebuah hal yang cukup disayangkan, mengingat gelaran ini cukup spesial, baik secara sejarah juga tempat yang cukup istimewa. Memang, tak ada masalah serius pada musik yang mereka mainkan, tapi sekali lagi, “aman” jelas bukan sebuah hal yang diharapkan pada konser semacam ini.

Untungnya di paruh kedua pertunjukan, ada perubahan yang cukup mengangkat keriaan Konser Cikini ini. Set dibuka menjadi lebih lapang, dengan tambahan deretan mini orchestra dan dekorasi panggung bertemakan perkotaan, plus kali ini kostum para personil tampak lebih koheren satu sama lain. Semua tambahan tersebut membuat panggung terasa lebih hidup dan memberikan pengalaman yang cukup istimewa kepada penonton. Ada pula berbagai atraksi yang cukup menarik dari John dengan mesin tik-nya yang cukup menggelitik, juga cover version dari Tielman Brothers yang dimainkan dengan cukup rancak. Sayangnya, di set kedua ini masih ada beberapa elemen yang agak mengacaukan keutuhan acara. Terutama pada sisi artistik yang terasa digarap agak kendor, terlihat pada bagaimana transisi per lagu yang agak awkward, dekorasi dan lampu yang tak maksimal, dan agak cukup susah untuk mengapresiasi burung-burung dengan lampu menyala yang tiba-tiba muncul di tengah set itu. Dalam hal setlist dan kolaborasi dengan orchestra, sebenarnya masih bisa lebih baik lagi. Chemistry antara band dengan orchestra dari Indra Perkasa terasa cukup saling melengkapi, namun di beberapa lagu yang agak “ramai”, sering terasa suara instrument dari WSATCC bertumpuk dengan bunyi dari string section.

Tapi toh, tampaknya hal-hal tersebut tidak membuat senyum para penonton terhenti terkembang. Bisa dilihat pada bagaimana hampir semua penonton sangat bersemangat untuk mengikuti lagu per lagu yang dimainkan. Sebuah hal yang terus terjaga hingga akhir panggung dan malah semakin nyata terlihat pada sesi encore, dimana para personil mengajak penonton untuk mendekat ke bibir panggung untuk nyanyi bersama. Tampak jelas kepuasan pada setiap wajah personil dan penonton, dan dengan demikian bisa dipastikan semua pulang dengan hati bahagia. Terlepas dari beberapa kekurangan di atas, bukankah rasa lega merupakan hal yang paling utama?whiteboardjournal, logo