Pulang Bersama “Untuk Selalu”

18.04.16

Pulang Bersama “Untuk Selalu”

by Muhammad Hilmi

 

Merantau tak selalu terjadi atas kemauan sendiri, kadang aksi itu terjadi karena keadaan yang menggiring posisi seseorang untuk berpindah ke tempat yang dipercaya lebih menguntungkan. Berawal dari dorongan untuk berpindah tersebut, tentunya menggasak rasa untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan meninggalkan kampung halaman akan memberikan fase haru biru bahkan krisis.

Cerita akan hal seperti itu tidaklah langka jika kita bayangkan keadaan yang dulu terjadi di Indonesia. Sebagai salah satu negara di dunia yang mengalami penjajahan tentu ada represi yang membuat orang-orang di zaman terjadinya okupasi harus mengambil sikap untuk bertahan hidup, tak hanya dari kondisi yang tak menguntungkan, tapi juga untuk mencari kedamaian. Belanda adalah Negara yang menjadi highlight dalam sejarah Indonesia hingga saat ini, bahasa maupun budaya keseharian cenderung terserap begitu dalam sampai batas yang dulu diciptakan sekian keras melebur sudah menjadi sekadar sejarah.

Fenomena bisa disematkan dalam hubungan antara Indonesia dan Belanda yang terjalin sekian lama dalam bisnis, budaya dan lain lain. Melihat warga Negara Indonesia yang tak terhitung jumlahnya di Belanda setelah meraih kemerdekaan di tahun 1945 telah menciptakan macam ‘kewarganegaraan’ baru. Hal itu telah didokumentasikan dalam sebuah film pendek berjudul “Untuk Selalu” oleh Andrea van den Bos, Ambar Surastri dan Robbert Maruanaija.

Mengangkat memori sebagai dasar cerita, film ini menyentuh kita sebagai warga negara Indonesia yang seringkali menyepelekan budaya nenek moyang dari orang tua. Terkesan klise memang, tapi melalui film ini terdapat empat orang berdarah Indonesia yang tinggal di Belanda merasakan kebanggaan tersendiri ketika memposisikan diri mereka di antara budaya Belanda. Adat, kebiasaan, kuliner, ritual hingga kepercayaan turunan menjadi celah dan warna dalam diri keempat orang yang mewakili para ‘indo’ (orang berdarah campuran – dalam hal ini adalah Belanda) dalam film yang dinominasikan sebagai Dokumenter Terbaik di Shortcutz Amsterdam tahun ini.

Negara memang mencatat diri seseorang ke dalam sistem untuk terus bergerak dan berkembang, tapi tradisi keluarga dan kepercayaan nenek moyang lah yang selalu menentukan sikap seseorang dalam mengatasi situasi yang menimpanya.

Teks: Febrina Anindita whiteboardjournal, logo