Lima Film Baik

Column
26.11.15

Lima Film Baik

Lima Film Pilihan yang Membekas di Hati

by Whiteboard Journal

 

Sejauh pengalaman saya yang belum terlalu mendalam dan terkadang malas-malasan dalam menonton dan “membedah” film, mencari film yang bagus itu tidak terlalu susah. Jika saya menikmati tontonan yang saya simak (entah itu karena alur ceritanya yang menarik atau karena unsur komedinya yang membuat saya terbahak), tontonan itu sudah bisa saya kategorikan sebagai film yang “bagus”. Tentu saja arti “bagus” disini punya barometer tersendiri, konsep bagusnya “film A” mungkin lebih tinggi levelnya dibandingkan bagus “film B”, dan seterusnya. Namun, yang ingin saya bahas di tulisan ini adalah film yang saya anggap “baik”. Bagi saya, film yang baik memiliki definisi yang lebih spesifik dibandingkan dengan film “bagus” yang saya paparkan di atas. Nah, seperti apakah film yang “baik” itu?

Film yang saya anggap baik adalah film yang melampaui tugas praktisnya sebagai hiburan visual atau sekedar pengisi waktu luang belaka. Film yang baik adalah film yang memiliki gagasan atau visi yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengubah saya. Film yang baik adalah film yang tidak sekedar lewat, film itu mengendap dan bersemayan di pikiran saya, jauh setelah masa tayangnya habis. Film yang baik adalah film yang bertutur dan kemudian menuntut saya untuk merenungkan pesan yang ia tinggalkan. Pesan tersebut mungkin membuka pikiran saya dengan ide-ide yang belum saya kenal, ia juga membuka ruang diskusi untuk ide-ide yang familiar dengan saya, dan tak jarang juga ia memiliki pandangan yang bertentangan dengan isi kepala saya. Di contoh lain, beberapa film bisa berfungsi sebagai cerminan batin saya sendiri, ia berlakon sebagai seorang psikolog yang amat mengerti saya luar dalam, seolah-olah film itu khusus ditujukan kepada saya.

Layaknya bentuk seni lainnya, saya yakin kalau konsep film “baik” ini amat subjektif. Setiap orang punya isi kepala unik miliknya sendiri. Film yang dapat menyentuh batin saya belum tentu bisa cocok dengan Anda. Setiap pribadi punya prioritas masing-masing, saya tidak akan mengejar dan memukuli anda jika anda mengatakan kalau film-film Woody Allen itu bodoh dan nihil esensi di depan muka saya, sama halnya seperti saya yang memiliki hak untuk menyatakan dengan mantap kalau film-film Martin Scorsese tahun 2000an ke atas itu cuma dibuat untuk membayar kebutuhan hidup dan menimbun dana untuk hari tuanya (well, mungkin kecuali Hugo Cabret barangkali).

Film baik di folder pribadi saya juga punya dua kategori umum. Semua film yang ada di kategori film baik saya selalu memiliki hal unik yang di kemudian hari akan memberikan pengaruh positif bagi saya. Karena sebagian besar esensi utama film-film ini adalah gagasan, pengaruh positif itu biasanya hanya berupa kenaikan taraf berfikir saya. Yang membedakan kedua kategori umum ini adalah respons saya tepat setelah menonton salah satu film-film tersebut.

Kategori pertama adalah film-film yang menuntut saya untuk berfikir lama setelah usai menonton. Film-film ini menawarkan pertanyaan-pertanyaan menarik yang perlu saya cerna terlebih dahulu dengan amat seksama sebelum saya bisa menjawabnya dengan kemampuan logika saya. Rentang waktunya bisa bervariasi, bahkan beberapa film butuh tontonan kedua atau ketiga sampai saya bisa mencapai suatu kesimpulan subjektif. Contoh film-film di kategori ini adalah Last Year At Marienbad dan Au Hazard Balthazar. Film-film seperti ini kerap membuat saya bingung di momen tontonan pertama, saya merasa tidak nyaman, namun entah kenapa, ada pusaran aneh yang selalu menarik saya untuk memikirkan ulang apa makna dibalik film-film tersebut.

Nah, film-film yang akan saya masukkan ke dalam list ini adalah film-film yang masuk di kategori kedua. Singkat kata, ini film-film yang membuat saya jatuh cinta nan mabuk kepayang di tontonan pertama. Gagasan dan kisah yang ditawarkan film-film pada kategori ini selalu berhasil membuat saya merindukan dan membicarakannya dengan menggebu-gebu jauh setelah tontonan berakhir. Tontonan kedua dan ketiga dari film-film dikategori ini lebih bersifat sebagai penawar rindu, terkadang saya juga menemukan hal-hal baru yang mungkin luput dari sadar saya pada saat pertama kali menonton.

Lima film ini adalah film yang paling saya ingat jelas sensasinya. Mungkin, ada film-film yang terlupakan dalam list ini, tapi untuk sekarang inilah lima cinta sejati saya.

5filmbaik01

Certified Copy (Abbas Kiarostami,2010)
Film paling muda di list ini. Ini juga film Kiarostami saya yang pertama. Saya menonton Certified Copy di masa dimana saya sedang menggemari film yang menghabiskan durasinya dengan menampilkan dua orang yang ngobrol tanpa henti. Dan, film ini bisa menjadi juara pada genre ini. Berkisah tentang seorang penulis buku dan seorang wanita penjual barang antik yang menghabiskan seharian penuh di kota Tuscany, semakin lama film berjalan, Anda akan merasakan sebuah kejanggalan. Anda mulai menyadari kalau kedua orang tokoh di film ini ternyata tak asing satu sama lain.

Film ini amat berkesan bagi saya. Dengan lembut, film ini menyapa para penonton, namun dengan lihai juga ia mempermainkan logika Anda. Certified Copy mengajarkan saya untuk tidak mempercayai seratus persen apa yang kita lihat. Semua orang selalu memiliki latar belakang terselubung, dan kita tidak bisa menilai orang dan hubungan mereka dengan individu lain berdasar pada norma atau standar umum.

Seperti judulnya, Certified Copy juga menawarkan gagasan menarik. Tidak pernah ada karya (atau benda?) yang benar-benar orisinil. Benda yang kita anggap orisinil bisa saja merupakan tiruan utuh, sebagian, ataupun gabungan dari berbagai benda yang sudah ada sebelumnya.

5filmbaik02

The Virgin Spring (Ingmar Bergman,1960)
Salah satu dari beberapa film Bergman yang mengungkit sebuah pertanyaan getir: “Kenapa kadang Tuhan jahat?”. Mungkin The Seventh Seal, film Bergman dengan topik yang serupa adalah film yang lebih baik secara keseluruhan, namun saya memilih The Virgin Spring karena alur ceritanya yang amat sederhana, tetapi di sisi lain, ia membawa wacana yang luar biasa kelam nan berat. Berlatar di abad Ke-13, The Virgin Spring bercerita tentang sebuah keluarga yang hidup dengan tentram. Keluarga ini memliki putri cantik jelita nan riang. Berbagai masalah-masalah kecil yang tersembunyi di pribadi setiap penghuni rumah ini menjadi lebih ringan karena keberadaanya. Namun suatu hari, tragedi menimpa keluarga sederhana ini.

Film ini dengan luar biasa memainkan dua warna yang amat kontras. Hitam dan putih ; yang baik dan yang jahat, tentram dan kelam. Mood awal film yang terang dan riang memang sudah disisipi dengan beberapa noda-noda hitam, namun mood film berubah total di babak kedua film.

Kekuatan utama The Virgin Spring ada dibagian konklusi. Kedua warna “hitam dan putih” ini akhirnya melebur menjadi abu-abu. The Virgin Spring menyampaikan pesan yang amat kuat tentang “good and evil”. Konsep moral dari konsep baik dan jahat itu tidak se-sepele jarak warna antara hitam dan putih. Sang Ayah, seorang penganut Kristen yang taat akhirnya pun berlutut setelah dengan tangan dingin ia “menyelsaikan” orang-orang yang bertanggung jawab atas kemalangan keluarganya, Ia bersimpuh dan berkata kepada Tuhannya; “Tuhan, seumur hidupku aku mengabdi dijalan-Mu, salah kah aku untuk menaruh dendam dan akhirnya mengakhiri hidup orang-orang ini? aku siap menerima hukuman-Mu”.

Pada kenyataanya, prinsip moral tidak se-sederhana konsep yang kita baca dan rangkum kembali diatas kertas. Mungkin banyak film yang mengangkat topik serupa dengan kemasan yang lebih komprehensif dan detail, namun kesederhanaan contoh perkara dan sidik jari Ingmar Bergman membuat The Virgin Spring masih menjadi rujukan yang relevan bagi diskusi soal keabu-abuan moral dan masalah serupa.

5filmbaik03

The Purple Rose Of Cairo (Woody Allen,1985)
Ah, The Purple Rose Of Cairo adalah film yang paling bajingan dari film-film di list ini. Tidak pernah sebelumnya saya dibuat jatuh cinta sedalam ini. Jika memang the magical feeling of cinema itu benar-benar ada, mungkin yang saya rasakan dari The Purple Rose Of Cairo adalah rasa yang paling dekat dengan sihir itu. Dengan penuh senyum, The Purple Rose Of Cairo menunjukkan saya sejauh mana sinema bisa mewujudkan impian kita, bahwa semuanya mungkin dan bisa terjadi di teritori magis ini. Di saat saya masih hanyut dalam euforia, tiba-tiba saya ditarik kebawah dengan cepat, dan sebelum saya menyadari apa yang sedang terjadi, saya sudah terbaring di tanah hitam dan keras bernama realita.

The Purple Rose Of Cairo bercerita tentang seorang karakter di dalam film yang keluar secara literal dari layar bioskop dan mendarat di dunia “nyata”. Di seberang layar, karakter utama film ini adalah seorang wanita yang sangat gemar menonton filmnya secara berulang, hal ini memancing sang karakter berhenti menuntaskan scene yang sudah ada di script dan memutuskan untuk keluar dari layar untuk menemui sang gadis.

Dengan manis sekaligus sadis, The Purple Rose Of Cairo adalah salah satu mesin satir terbaik yang pernah dirancang Woody Allen. Dengan menyandingkan sang gadis yang berasal dari realita dan si karakter film yang berasal dari dunia magis bernama sinema, Allen mengajak kita untuk tertawa sekaligus merenungi betapa pesimisnya manusia yang tiap hari digerus roda bernama realita. Secara pelan dan berkala manusia sudah digodok sejak kecil untuk “hidup di realita” dan dilatih untuk pelan-pelan membunuh mimpi-mimpi muluknya. “No! we can’t do that! That’s crazy!” adalah kata-kata yang sering dilontarkan sang gadis ketika si karakter film, yang datang dari dunia penuh harapan, mengajaknya untuk melakukan hal-hal klise nan romantis yang biasa dilakukan sepasang kekasih di sebuah film.

Di The Purple Rose Of Cairo, saya merasakan dengan amat sangat, dua perasaan yang benar-benar berlawanan. Saya belum pernah mendapatkan perasaan sesenang dan sepedih itu dari sebuah film, dan lebih gilanya lagi, kedua rasa itu saya dapatkan dari film yang sama

5filmbaik04

Annie Hall (Woody Allen, 1977)
Tadinya saya mau menerapkan peraturan “satu auteur satu film” untuk list ini, tapi saya akan mengkhianati orang paling berpengaruh dalam pengalaman saya dalam menikmati film jika saya mengikuti aturan itu. Apa yang dilakukan Woody Allen kepada saya dan film sama pentingnya dengan apa yang dilakukan Pavement (Band terfavorit saya hingga saat ini dan mungkin selamanya) kepada saya dan music. Dan, Annie Hall adalah “Shady Lane”( Salah satu hit single terbaik Pavement, yang juga mengenalkan saya untuk pertama kalinya ke Pavement) versi film bagi saya. Annie Hall merupakan pintu masuk saya untuk menikmati dunia sinema secara lebih mendalam.

Annie Hall berkisah tentang seorang pria (diperankan sendiri oleh Allen) yang terobsesi dengan mantan kekasihnya bernama Annie Hall. Film ini merupakan rentetan pertemuan hingga akhir hubungan mereka berdua, dan seterusnya secara kronologis. Memulai karirnya di dunia perfilman sebagai sutradara/penulis di What’s Up, Tiger Lily? di tahun 1966, Allen perlu menutradarai 5 film komedi terdahulu sampai akhirnya menulis film ini. Annie Hall adalah film komedi pertama Allen yang mendekati kata sempurna. Karya terdahulunya seperti Sleeper dan Bananas adalah komedi yang tak jelek, tapi film-film itu terasa terlalu segmented. Daripada sebuah film utuh, film-film tersebut lebih seperti potongan-potongan komedi jenaka yang disusun bab demi bab, namun tidak menyatu dengan sempurna. Annie Hall adalah kali pertama dimana Allen berhasil menulis film secara utuh.

Akan tetapi sebenarnya, Annie Hall bukan hanya sebuah komedi, ia adalah kritik sosial yang disampaikan dengan santai. Aspek ini bisa dirasakan pada pandangan neurotik dan nyinyir Alvy Singer sang karakter utama yang mewarnai sebagian besar durasi film ini. Dari lelucon klasik pembuka film ini; “I don’t want to belong to a club that have someone like me as a member”, hingga etika ber-bioskop dimana lebih baik anda buang tiket bioskop Anda jika anda melewatkan bahkan semenit dari roll-credit di awal film yang ingin anda tonton.

Annie Hall juga merupakan awal dari rentetan film-film brilian berikutnya yang digarap Allen hingga saat ini. Anda bayangkan, seorang pria yang memulai karir sutradara nya di usia kepala empat dan terus aktif membuat film setiap setahun sekali! Bahkan hingga usianya sekarang yang mendekati kepala delapan. Semakin tahun akan semakin sulit membuat daftar “film terbaik Woody Allen”, karena hingga sekarang, ia masih menelurkan film-film yang amat layak tonton seperti Midnight In Paris dan Blue Jasmine, dua film yang bertengger cukup tinggi di list film-film terbaik saya.

5filmbaik05

Tokyo Story (Yasujiro Ozu,1953)
Dulu seorang teman pernah berujar kepada saya, “Kalau ada orang yang ngaku suka banget Monty Python, tapi kalau ditanya sketch Python favoritnya apa dan dia jawabnya “The Parrot Sketch“, berarti dia cuma fans jadi-jadian! taunya dikit-dikit aja! Fake!”

Jika memilih Tokyo Story sebagai film terbaik Ozu mengancam saya untuk dinobatkan sebagai penggemar palsu, saya akan dengan senang hati menerima label itu. Bagi saya, Tokyo Story masih menjadi film terbaik Ozu, bahkan setelah saya menonton beberapa film-film beliau lainnya. Tokyo Story berkisah tentang sepasang kakek-nenek yang datang jauh-jauh dari kampung untuk menjenguk anak-anaknya yang berdomisili di Tokyo. Namun, bukannya hangat dan rindu yang mereka dapati, mereka hanya bisa menyaksikan anak-anak mereka yang amat sibuk dengan kehidupan berumah tangga mereka masing-masing.

Mungkin, Anda sudah sering mendengar mengapa Ozu sering disebut sebagai sineas terbaik yang pernah Jepang miliki. Alasannya cukup sederhana, film Ozu selalu mengedepankan lokalitas Jepang di dalam ceritanya. Film-film Ozu selalu mengedepankan keluarga kecil yang tinggal di masa modern Jepang. Ini adalah potret nyata yang relevan dengan kondisi rakyat Jepang di masanya, lebih dari itu bahkan, menyaksikan film-film Ozu seperti melihat cerminan keluarga mereka sendiri.

Fokus utama Tokyo Story sendiri adalah “kesenjangan generasi” yang amat dirasakan oleh sepasang suami-istri paruh baya tadi. Di antara himpitan rumah susun kecil dan gedung-gedung tinggi modern, Tokyo merupakan dunia yang berbeda dibanding kampung mereka yang damai nan tentram. Ditambah lagi dengan perhatian setengah hati dari anak-anak mereka, perasaan tersesat pun makin menghimpit pasangan ini.

Tokyo Story terasa begitu personal bagi saya, bahkan saya yakin film ini bisa menjadi sangat personal bagi semua orang yang memiliki orang tua. Tentu saja pertanyaan perih seperti “apa saya memperlakukan orang tua saya dengan baik?” datang berseliweran sepanjang durasi film. Dan hati ini terasa makin pedih ketika mendengar respon hangat penuh pengertian pasangan tersebut terhadap sikap dingin anak-anak mereka; “Duh, kayanya kita ngerepotin ya..”.

Tokyo Story merupakan tontonan wajib bagi semua anak di seluruh dunia. Tontonan ini menjadi lebih wajib bagi orang-orang seperti saya yang terkadang masih suka membuat pusing kepala orang tua. Anda tidak perlu mencari jauh-jauh apa makna Tokyo Story dan film-film Ozu lainnya, karena film-film tersebut terasa sangat dekat dan nyata. Ia lebih bersifat sebagai refleksi moral harian. Jadi, sudahkah anda menghubungi orang tua Anda hari ini?

“Lima Film Baik” ditulis oleh;

Alvi Ifthikhar
Writer, Video Director, and CG Artist at a local production house. As a hobby, he also writes film and music analysis for his personal blog and various websites. His keen interest on cinema, music, philosophy, and the wonders of humanity in general fuels his passion to peruse, rant, and document all of it in writing.whiteboardjournal, logo