Titik Suci dan Reklamasi

Column
17.03.16

Titik Suci dan Reklamasi

Argumen atas Penolakan Proyek Teluk Benoa.

by Whiteboard Journal

 

Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono menjadi lampu hijau untuk PT Tirta Wahana Bali International untuk melakukan mega proyek reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektar. Rencananya penambahan area tersebut akan digunakan untuk pariwisata dan kegiatan pendidikan, perdagangan, dan agama. Sementara ForBALI, sebuah aliansi masyarakat sipil lintas sektoral, beranggapan bahwa reklamasi akan membawa dampak buruk seperti kerusakan lingkungan, banjir, sampai ketimpangan pembangunan di Bali karena terlalu terpusat di Bali Selatan (1).

Perdebatan tentang reklamasi Teluk Benoa tidak melulu sebatas pembangunan pariwisata dan dampaknya terhadap lingkungan, tetapi juga menyentuh ranah kepercayaan masyarakat lokal. Berdasarakan kajian dari Sugi Lanus, seorang peneliti lontar dan sastra kuno, yang berkerja sama dengan Tim Peneliti Mahasiswa ForBALI yang terdiri dari mahasiswa planologi Universitas Hindu Indonesia mengatakan bahwa setidaknya ada 70 titik suci di kawasan Teluk Benoa (5) dan keberadaannya akan terancam jika reklamasi benar-benar dilakukan.

Dengan menjabarkan definisi titik suci dan titik suci yang ada di area Teluk Benoa, tulisan ini beranggapan bahwa reklamasi Teluk Benoa bertentangan dengan hak masyarakat lokal atas kawasan sucinya dan hak untuk mengakses dan menjaganya.

1.Definisi Kawasan Suci
Istilah kawasan suci bukanlah hal baru yang serta-merta ada ketika rencana reklamasi mulai mencuat. Definisi kawasan suci sebenarnya sudah dirumuskan lebih dari dua dekade silam melalui keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat No. 11/Kep/I/PHDIP/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura. Dalam Ketentuan Umum poin 1 disebutkan bahwa:

Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu Weda-weda telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci, gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai), Pantai, laut, dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Oleh karena itu pura dan tempat- tempat suci umumnya didirikan ditempat tersebut, karena ditempat orang-orang suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu).

Dalam ketentuan tersebut jelas tertulis bahwa pantai dan laut memiliki nilai kesucian menurut ajaran Hindu. Hal ini diselaras dengan apa yang dijabarkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Pasal 1 (40) pada Perda tersebut menyebutkan bahwa kawasan suci adalah adalah kawasan yang disucikan oleh umat Hindu seperti kawasan gunung, perbukitan, danau, mata air, campuhan, pantai, dan laut. Pada Peraturan Daerah ini juga dijelaskan bahwa kawasan suci termasuk ke dalam kawasan perlindungan setempat seperti yang tertulis di Pasal 44 (10). Bahkan kriteria kawasan suci juga jelas disebutkan dalam Peraturan Daerah ini pada Pasal 50 (1).

Untuk lingkup yang lebih tinggi, kawasan suci dijelaskan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Dalam Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 (18) disebutkan bahwa kawasan suci adalah kawasan yang dipandang memiliki kesucian oleh umat Hindu di Bali seperti kawasan gunung, danau, pertemuan dua sungai (campuhan), pantai, laut, dan mata air. Sedang Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011 yang marak menuai kontroversi nyatanya tidak mengubah definisi tentang kawasan suci. Singkat kata, pengertian kawasan suci tetap mengacu pada apa yang dijelaskan di Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011.

Mengacu pada tiga peraturan yang disebutkan di atas, jelas sudah bahwa pantai, laut, dan pertemuan sungai (campuhan) adalah suci.

2. Kawasan Suci di Teluk Benoa
Sugi Lanus, seorang peneliti lontar dan sastra kuno, mengatakan bahwa Teluk Benoa sebagai titik campuhan agung yang dikelilingi tempat suci baik kasat dan tidak kasat mata. Hal ini menjadikan kawasan Teluk Benoa diyakini menjadi titik temu energi niskala dan tempat berkumpulnya ruh suci. Selain itu Sugi Lanus juga mengatakan bahwa di Teluk Benoa terdapat banyak muntig (puncak) yang diyakini sebagai tempat perputaran air di bawah laut dan merupakan tempat untuk melakukan ritual oleh masyarakat setempat (2).

Teluk Benoa juga dikenal suci karena merupakan salah satu tempat yang disinggahi oleh Dang Hyang Nirartha, seorang tokoh suci yang menyelamatkan dan menghidupkan kembali tradisi suci Hindu dan Buddha. Menurut Sugi Lanus, di dalam perjalanan sucinya, Dang Hyang Nirartha mengabadikan titik renungan spiritual dan amanat gaib di pesisir Tanjung, Pudut, dan Sakenan. Di salah satu karyanya, Kakawin Anang Nirartha, Dang Hyang Nirartha menceritakan kekagumannya terhadap Teluk Benoa, Pudut, dan Sakenan (3).

Selain itu masyarakat sekitar Teluk Benoa juga meyakini akan adanya Pura Karang Tengah yang terdapat di dasar perairan Teluk Benoa (4). Tempat ini pun disucikan dan dijadikan tempat melakukan ritual. Teluk Benoa juga disakralkan karena dikelilingi oleh titik-titik suci di pesisir dan daratan sekitar Teluk Benoa seperti Pura Segara di Pulau Pudut, Pura Sakenan di Serangan, Pura Segara di Tanjung Benoa, dan masih banyak lagi.

Berdasarkan kajian Sugi Lanus dan Tim Peneliti Mahasiswa ForBALI, ditemukan setidaknya ada 70 titik suci di kawasan Teluk Benoa. Kawasan tersebut terdiri dari 31 pura, 17 loloan (pertemuan sungai dengan laut), 2 sawangan (loloan yang dalam), 19 muntig (bagian teluk yang menjadi daratan saat air surut), dan 1 lamun (kumpulan tanaman laut). Hasil ini didapatkan dari pengkajian lontar dan wawancara dengan masyarakat setempat. Melihat letak Teluk Benoa, kajian yang sudah dilakukan, dan juga ketiga peraturan atau definisi tentang kawasan suci yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa Teluk Benoa adalah kawasan suci.

3. Perbedaan Cara Pandang
Dalam banyak hal pembangunan kadang tidak menitikberatkan pada perspektif masyarakat lokal. Misalnya dalam kasus pendirian pabrik semen yang berseberangan dengan cara pandang penduduk setempat, dalam hal ini Sedulur Sikep. Contoh lainnya adalah pembukaan lahan untuk persawahan di Marauke dan juga sengketa lahan untuk pertambangan antara komunitas Mollo di Nusa Tenggara Timur dengan pemerintah dan investor.

Hal serupa bisa dikatakan terjadi juga dalam rencana reklamasi Teluk Benoa. Dari kaca mata pihak investor jelas dengan mudah dikatakan bahwa Teluk Benoa merupakan kawasan potensial dan memiliki nilai ekomonis. Terlebih letaknya yang strategis untuk mengembangkan pusat pariwisata. Hal ini didukung oleh pemerintah pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2014 yang menghapus pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi dan dapat dikembangkan sebagai kawasan yang potensial guna pengembangan kegiatan ekonomi, serta sosial budaya dan agama. Singkat kata, dalam hal ini berarti kawasan Teluk Benoa boleh direklamasi. Tapi yang kontradiktif di sini adalah izin pengembangan kawasan Teluk Benoa bertolak belakang dengan definisi kawasan suci yang masih mengacu pada Peraturan Presiden yang lama.

Dalam kasus reklamasi Teluk Benoa ini dapat dilihat bahwa pemerintah menyampingkan local wisdom atau cara pandang penduduk lokal yang menyakralkan kawasan Teluk Benoa. Hal ini juga jelas menunjukan bahwa penduduk lokal tidak dilibatkan sejak awal dalam perencanaan proyek ini. Terlebih lagi setidaknya sampai tulisan ini dibuat, pemerintah tetap bergeming walau sedikitnya 19 desa adat di sekitar kawasan Teluk Benoa sudah menyatakan sikap menolak rencana reklamasi (6).

4. Kesimpulan
Mengacu pada Bhisama Kesucian Pura yang dikeluarkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Peraturan Daerah Provinsi Bali, dan Peraturan Presiden, kawasan Teluk Benoa dapat diklasifikasikan sebagai kawasan suci. Terlebih lagi dengan adanya kajian dari Sugi Lanus dan Tim Peneliti Mahasiswa ForBALI yang sudah memetakan 70 titik suci di kawasan Teluk Benoa.

Kesucian Teluk Benoa seharusnya mutlak membatalkan rencana reklamasi karena reklamasi akan merusak keberadaan kawasan suci. Hal ini bisa disamakan dengan perusakan rumah ibadah. Selain itu masyarakat lokal juga berhak dalam menjaga kawasan yang dianggap suci. Hal ini tertuang dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, terutama pada pasal 11, 12, dan 25 yang mengakui hak masyarakat lokal untuk menjaga dan mengurus kawasan yang dianggap suci. Singkatnya, reklamasi bertentangan dengan hak masyarakat lokal dalam mengakses kawasan sucinya.

Hal lain yang perlu ditekankan di sini adalah peran pemerintah yang seharusnya lebih mengerti dan mengkaji pemahaman atau sudut pandang orang lokal dalam menjalankan apa yang disebut dengan pembangunan. Ke depannya pemerintah juga harus lebih melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan.

Footnotes:

(1) www.forbali.org/id/mengapa-kami-menolak/ diakses pada 25 Februari 2016
(2) https://budaya.wordpress.com/2016/02/01/benarkah-teluk-benoa-sebuah-kawasan-suci-edisi-revisi-dengan-peta-kawasan/ diakses pada 22 Februari 2016
(3) Ibid.
(4) http://www.thejakartapost.com/news/2015/11/09/benoa-bay-reclamation-plan-threatens-hindu-temples.html diakses pada 9 Maret 2016
(5) http://www.smh.com.au/world/3-billion-islands-project-for-balis-benoa-bay-has-locals-up-in-arms-20160228-gn5m1p.html diakses pada 29 Februari 2016
(6) http://www.mongabay.co.id/2016/03/01/desa-adat-bergerak-lindungi-teluk-benoa/ diakses pada 1 Maret 2016

“Titik Suci dan Reklamasi” ditulis oleh:

Daud Sihombing
Seorang lactovarian, discophile, dan sekaligus librocubicularist yang sedang menempuh studi di program Center for Religious and Cross-cultural Studies di Universitas Gadjah Mada.whiteboardjournal, logo