Intonasi dan Suara Kekacauan

Column
16.06.16

Intonasi dan Suara Kekacauan

Merespon Kebisingan dengan Karya

by Whiteboard Journal

 

Menarik membaca esai dari saudara Ferri Ahrial disini, saya kemudian terpikir untuk membuat sebuah esai yang merespon tulisan Ferri tersebut dalam bentuk musik (musical essay? Entah ada atau tidak istilah seperti itu?).

Sebagai orang yang besar di Jakarta dan menikmati jahatnya polusi udara serta polusi suara kota megapolitan ini, tentu kebisingan sudah merupakan makanan sehari-hari. Sumber kebisingan terutama berasal dari kendaraan bermotor yang setiap hari bertambah jumlahnya. Selain itu, suara bising dari pengeras suara tempat ibadah yang digunakan BUKAN pada saat yang ditentukan juga berkontribusi memperparah polusi suara (Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978). Itu baru 2 hal yang menurut saya berperan dalam sumber polusi suara, masih ada hal-hal seperti konstruksi bangunan, hajatan, kereta commuterline, pengamen keliling dengan pengeras suara, petasan saat bulan suci Ramadan dan masih banyak lagi.

Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 551/2001 Tanggal 7 Februari 2001 menyatakan bahwa tingkat kebisingan untuk daerah perumahan dan hunian adalah 55 dB (Decibel), perkantoran 65 dB, kawasan niaga terpadu 65 dB, dan lingkungan kegiatan seperti sekolah, rumah sakit, tempat ibadah dan fasilitas sosial adalah 55 dB. Namun kenyataannya? Jarang sekali kita dapatkan tingkat kebisingan yang sesuai aturan tersebut. Saya sering melakukan riset di beberapa daerah di Jakarta dengan merekam ambiens suasana sekitar di waktu-waktu yang berbeda pada posisi 0 meter alias tepat berada di pinggir jalan. Dengan menggunakan alat perekam suara, sample suara saya masukan ke program komputer untuk mengukur tingkat tekanan suara (Sound pressure level). Hasilnya adalah tingkat kebisingan di jalanan Jakarta pada umumnya berada di level 70 – 85 dB. Bahkan ketika rekaman suara diambil saat “rush hour” bisa mencapai 90 dB (data ini mirip dengan hasil riset dari Hendro Martono, Sukar Sukar, Ninik Sulistiyani tahun 2004).

Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA), ekspos suara dengan tingkat kebisingan sebesar 90 dB adalah 8 jam dan hanya 2 jam apabila kebisingan mencapai 100 dB, lebih dari itu akan berbahaya untuk manusia karena bisa mengakibatkan kerusakan pada telinga seperti Paracusis, Tinnitus dan yang paling berbahaya ketulian permanen (hearing loss). Keadaan ini diperparah lagi dengan tata kota Jakarta yang semrawut dengan posisi gedung bertingkat tumpang tindih dengan rumah tinggal, toko, restoran, warung dan entah apa lagi, sehingga membuat suara-suara ambiens tersebut memantul kemana-mana tanpa bisa dikendalikan.

Saya tidak akan berbicara bagaimana mengatasi kebisingan kota Jakarta disini karena saya pun tidak ada solusi untuk masalah ini. Sebagai seniman yang menggunakan suara sebagai medium berkarya, saya tentu merasa sangat terganggu dengan kebisingan, tetapi beberapa bulan belakangan, saya bisa melihat sesuatu dari kebisingan Jakarta sebagai material karya. If we cannot avoid it, we might as well play with it.

Karya-karya ini merupakan kumpulan komposisi sebagai respon dari kebisingan kota Jakarta yang tak terhindarkan. Semua komposisi ini berasal dari sample dan ambiens yang saya ambil dari berbagai macam tempat di Jakarta dengan segala keriuhannya di waktu-waktu yang berbeda. Sedikit membahas mengenai teknis, saya menggunakan software Ableton Live dan Max for Live serta teknik sound desain yang bernama Granular synthesis. Mendengarkan setiap detil sample suara, memilih bagian-bagian yang pas lalu mengolah lagi suara tersebut sehingga menjadi karakter suara baru yang kemudian diaplikasikan pada komposisi sebagai dasar tempo dan ritme. Buat saya, referensi dan ide menggunakan suara sehari-hari sebagai material berkarya merupakan tantangan tersendiri, terutama suara ambiens “chaos” yang tak berbentuk. Kalau ibaratnya kita “zoom in” ke partikel-partikel kecil diantara kekacauan suara itu, kita akan melihat repetisi. Suara orang melangkah, atau suara knalpot motor, klakson mobil, gesekan rel kereta, dan sebagainya. Dari situ, saya ambil partikel yang saya rasa mewakilkan momen tersebut dan mulai mengolah suaranya. Terkadang, saya juga hanya menggunakan satu sample suara yang diolah dan digunakan untuk berbagai macam instrumentasi dengan tambahan-tambahan efek, seperti pada komposisi “Pasar Minggu”.

Polusi suara tak terkendali semacam ini juga sebenarnya terjadi di kota metropolitan lainnya di seluruh dunia. Bahkan kalau kita berusaha melihat makna dibalik kekacauan ambiens tersebut, kita akan menemukan bahwa kebisingan itu bersifat “motorik” dan kacau (chaotic) di waktu yang bersamaan. Suara ambiens kekacauan kota Jakarta memang merepresentasikan kehidupan sehari-hari masyarakat metropolitan ini, seperti yang dibilang saudara Ferri Ahrial. Intonasi klakson dan repetisi suara yang bercampur tak terkendali ibarat repetisi kehidupan masyarakat Jakarta yang bergerak seperti robot.

Dengarkan bagaimana Iman Fattah merespon kebisingan kota melalui musik disini.

“Intonasi dan Suara Kekacauan” ditulis oleh:

Iman Putra Fattah 
Musisi asal Jakarta, sedang menempuh pendidikan di ucla extension jurusan Music Production.whiteboardjournal, logo