Tripped

Column
25.08.16

Tripped

Trip Hop Sebagai Lokomotif Perjalanan Spiritual

by Febrina Anindita

 

Musik dan spiritualitas menjadi pintu mula esai ini. Ketika Idhar Resmadi sempat membahasnya, sungguh menggugah untuk menyadari bahwa musik bisa beririsan dengan religi dan mistisisme. Penggunaan musik sebagai elemen upacara keagamaan di suku-suku tertentu dipercaya dapat membantu kedatangan atau bahkan pengusiran roh jahat. Adapula nyanyian yang berisi doa-doa disampaikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan melodi sakral saat menjalankan sebuah prosesi agama. Hal ini menekankan bahwa musik memiliki peran tersendiri terhadap sesuatu berbau mistis. Namun jika menyebut refleksi diri melalui musik, nampaknya bisa menjadi bentuk spiritualitas yang dapat dilihat langsung tanpa tedeng aling-aling.

Mengingat spiritualitas kadang disalahartikan dengan spiritualisme, patut dikemukakan lagi pengertian dari masing-masing konsep. Spiritualisme merupakan sistem keyakinan atau praktik keagamaan berdasarkan komunikasi dengan roh-roh orang mati. Sedangkan spiritualitas merupakan konsep yang memuat ruang bagi manusia untuk bereaksi terhadap beragam perspektif.

Koneksi menjadi inti dari konsep spiritualitas, baik kepada diri sendiri maupun ke orang lain dengan pengaruh akan sesuatu bersifat metafisik. Yang membedakan adalah, jika seseorang mencapai titik spiritual, ia akan mengalami tremendum atau level kesadaran tertinggi akan kehidupan setelah mempertanyakan atau justru menemukan makna hidup.

Seperti segala jenis perjalanan yang dapat dilaju oleh manusia, hal bersifat universal bisa menjadi sumbu dari perjalanan spiritual seseorang. Media yang berpengaruh pun muncul dari beragam hal yang bisa mempengaruhi alam bawah sadar. Musik menjadi salah satu yang bisa membangun koneksi tersebut secara halus, baik sekadar dari bebunyian maupun diiringi lirik dengan pesan tertentu. Musik mampu mengiringi seseorang untuk menjalani tiap detik hidupnya, bahkan saat ia mengambil nafas sejenak untuk mendalami realita yang dialami. Bentuk ini – refleksi diri – dapat hadir dengan bantuan musik yang dipersonalisasi. Misalnya musik bergenre industrial bisa jadi musik untuk merefleksikan diri bagi orang lain, tapi bagi saya justru mempompa adrenalin.

Ketika mendengar musik industrial seperti Nine Inch Nails, nuansa yang tercipta bisa membuat saya ingin berlari kencang atau meninju wajah orang, itu semua karena komposisi yang dibuat Trent Reznor hadir dengan beat cepat. Berbeda dengan trip hop yang merupakan genre cukup istimewa dengan penggunaan beat pelan melalui mellow strings, drum minimalis dengan sapuan brush yang memberikan tekstur pada musik yang dibuat, bass line bergema hingga vokal berbisik nan lirih. Genre ini bisa membawa saya tersugesti begitu kuat bahkan berhasil membuat deskripsi fantasi yang ada di kepala untuk mempertanyakan apakah fantasi atau realita yang saya alami selama ini.

Musik yang lahir di Bristol pada awal 1990-an ini menjadi genre baru dalam pemetaan musik dunia berkat paduan antara musik elektronik, hip hop dan ambient yang menciptakan thought-provoking sound, sensual, seksi dan kadang depresif. Kemampuan trip hop untuk menyediakan sarana bagi pendengarnya untuk mengalami berbagai rasa, menjadikan genre ini mampu menuntun pendengarnya untuk mengeksplorasi emosi yang biasanya dikesampingkan dalam perjalanan menuju spiritualitas. Spiritualitas yang awalnya diidentikkan dengan sesuatu yang sakral pun bergeser menjadi lewd dan mengarah ke tremendum.

Trip hop pun memiliki kekuatan tak hanya pada komposisi, tapi juga lirik yang mengakomodasi emosi tertentu dengan konteks cukup sempit. Beberapa nomor trip hop bisa dibilang bersifat narcotic dengan lirik egosentris dan obsesif. Kemampuan untuk menerjemahkan lirik sederhana berupa racauan dan keluhan ke dalam musik megah, membuat trip hop; sesuai namanya, menawarkan “trip” kepada pendengarnya.

Salah satu band besar trip hop, Portishead dapat disebut menjadi lokomotif perjalan spiritual seseorang, dalam konteks ini adalah diri saya. Massive Attack memang membuka jalan trip hop, tapi Beth Gibbons cs memilih rute berwarna untuk membuat perjalanan menjadi intens dan fluktuatif. Lirik jadi kekuatan Portishead dalam mengolah sentimen yang cenderung dianggap remeh oleh manusia, sehingga menjadikan unit ini obscure dan menawarkan rehat kepada pendengar yang lelah dengan kehidupan robotic. Tak perlu kali kedua mendengar album Dummy untuk membuat saya mempertanyakan rutinitas dan siklus yang dilalui selama berpuluh-puluh tahun. Portishead memberikan “bad trip” begitu mendalam sehingga seseorang; saya, dapat menyadari betapa kerdilnya peran manusia dalam skenario semesta.

“All the stars may shine bright
All the clouds may be white
But when you smile
Oh how I feel so good
That I can hardly wait to hold you
Enfold you
Never enough
Render your heart to me
All mine”

Musik yang digubah oleh Portishead pun dapat memancing imajinasi bagi pendengarnya melalui lirik bias, mulai dari fanatisme, kesepian, eskapisme, erotisme, hingga kehilangan orang yang dicinta. Keluwesan tersebut membawa pendengar terbius dan dapat menghidupi skenario cerita walau hanya beberapa menit. Hal ini membuat trip hop memiliki kemampuan untuk membuka pintu menuju ruang eksplorasi yang luas untuk mencapai level spiritual.

“We suffer everyday
What is it for
These crams of illusion
Are fooling us all
And now I am weary
And I feel like I do”

Pesimisme merupakan stimulan untuk kelahiran perjalanan spiritual dan trip hop menjadi scoring yang tepat, setidaknya untuk saya. I guess “tripped” is the exact description to define my first encounter with trip hop.

“Tripped” ditulis oleh:

Febrina Anindita 
Dilettante who is often spaced out during free time. When she’s not wired, she usually digs in literature, eroticism and visual art among others. Suffice to say, she’s erratic.whiteboardjournal, logo