Di Tepi Kali Ciliwung

Column
20.10.16

Di Tepi Kali Ciliwung

Pergeseran Nilai Atas Kapitalisme

by Whiteboard Journal

 

Penggusuran permukiman Bukit Duri di tepi Kali Ciliwung Jakarta beberapa waktu lalu menjadi kontroversi. Ada pihak yang mendukung penggusuran tersebut dengan dalih keindahan kota dan “kesehatan” sungai lebih penting dibandingkan permukiman yang menempati tepian kali. Ada pihak yang menentang dengan alasan bahwa penggusuran permukiman yang perkaranya masih diproses di pengadilan merupakan pelanggaran hukum. Pandangan kedua juga melihat bahwa hak warga yang telah menghuni daerah tersebut selama berpuluh tahun dilanggar.

Penggusuran serupa terjadi di beberapa tempat lainnya. Kita belum lupa dengan peristiwa penggusuran Kalijodo, Kampung Pulo, dan lain-lain. Penggusuran demi penggusuran terus terjadi atas nama pembangunan. Orang-orang terus kehilangan hak mereka atas tempat tinggal yang selama ini mereka huni.

Selain di Jakarta, penggusuran serupa terjadi di beberapa kota lainnya. Umumnya, permukiman ini akan dialihkan menjadi permukiman vertikal atau rumah susun, dijadikan ruang terbuka hijau atau beralih fungsi lain seperti bangunan komersial (hotel, apartemen, dll.).

Ada yang menarik melihat fenomena penggusuran yang terjadi tersebut. Permasalahan sebenarnya bermula pada bahasa. Permukiman yang berada di tepi kali sering direpresentasikan di dalam sebutan “perumahan kumuh”, “perumahan liar”, “merusak keindahan kota”, “mengganggu pemandangan”, “melanggar bantaran sungai” “melanggar peruntukan lahan” “melanggar jalur hijau” dan seterusnya. Pada umumnya, permukiman warga yang berlokasi di tepi kali atau di pinggir sungai ini direpresentasikan secara negatif.

Berkebalikan dengan representasi tersebut, bangunan-bangunan yang memiliki nilai komersial biasanya direpresentasikan dengan cara yang lain. Sebuah hunian apartemen atau hotel misalnya, jika terletak di tepi kali, lebih sering direpresentasikan sebagai “river side”, “river front”, “river view”, “green building”, “the amazing experience home living”, dan sebagainya.

Representasi yang bertolak belakang ini tentu saja tidak begitu saja muncul. Ia lebih menjadi representasi kekuatan kapital dan cara pandang pemerintah di dalam membangun kota. Foucault (Locke, 1995: 5) menyatakan bahwa sebuah wacana merupakan sebuah praktik yang tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi menandai dunia, mengkonstitusi dan mengkonstruksi dunia di dalam makna.

Penguasaan terhadap bahasa dan wacana akan membuat pihak tertentu memegang kuasa atas dunia atau bagian dari dunia. Penguasaan kapital terhadap bahasa dan wacana ini akan menentukan wajah kota kita di masa sekarang dan akan datang. Permukiman-permukiman yang telah berpuluh tahun berada di tepi kali, tiba-tiba saja didefinisikan sebagai permukiman kumuh yang mengganggu tata kota. Sementara itu, bangunan-bangunan yang muncul dengan tiba-tiba karena kuasa kapital direpresentasikan sebagai sesuatu yang lumrah bahkan ideal.

Munculnya wacana tentang ideal-ideal baru ini tidak terlepas dari berbagai sudut pandang, kepentingan dan ideologi akan membangun wacana yang berbeda tentang sebuah realitas. Salah satu ideologi yang menjadi dasar dalam membangun dunia adalah konsumerisme. Konsumerisme menempatkan konsumsi sebagai hakikat keberadaan manusia. Ideologi ini menempatkan konsumsi yang berlebihan sebagai hal yang lumrah. Konsumsi sangat erat kaitannya dengan budaya material. Di dalam ideologi ini, mengonsumsi benda dan tanda merupakan hal yang penting untuk membuat manusia tetap eksis. Di dalam ideologi ini, orang mengonsumsi barang bukan hanya karena ia membutuhkannya, tetapi tindakan mengonsumsi tersebutlah yang menjadikan ia menjadi puas.

Pustaka
Jorgensen, Marriane & Louise J. Phillips. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method. London: Sage Publications.
Terry Locke. 2004. Critical Discourse Analysis. New York: Continuum International Publishing Group.

Wacana dengan ideologi kapitalisme dan konsumerisme membuai masyarakat untuk mempercayai hal-hal baru yang dianggap ideal. Ia bekerja melalui bahasa, mendorong kita untuk masuk ke dalam labirin ideal-ideal baru di dalam kehidupan kita. Memiliki sebuah rumah di dalam apartemen menjadi sebuah sebuah ideal yang membuat kita mengejarnya. Orang didorong untuk melakukan pencapaian-pencapaian akan kepemilikan apartemen, pengalaman tinggal di hotel, pengalaman berbelanja di mal, pengalaman makan di restoran mewah, dan seterusnya.

Cara pandang kita terhadap lingkungan dan alam sekitar kita diubah oleh wacana dengan ideologi kapitalisme. Ia hadir seakan-akan sebagai sesuatu yang lumrah dan ideal. Wacana ini mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak pada kekuatan kapital. Pemerintah lalu menganggap masyarakat yang telah tinggal selama puluhan tahun sebagai “kotoran” yang mesti dienyahkan. Mereka dianggap mengganggu mata, mengotori keindahan kota dan merusak lingkungan.

Sementara itu, pada saat yang sama dunia makna kita dijejali dengan ideal-ideal baru yang semu dan ilusif. Apartemen, hotel, restoran mewah yang berada di lokasi-lokasi bekas gusuran permukiman warga tiba-tiba muncul dengan konsep hijau, gaya hidup alami, layak dimiliki atau dikunjungi, dan seterusnya. Ia dianggap sebagai sebuah mimpi ideal yang mesti dikejar. Pembangunan apartemen, hotel, atau restoran di bekas-bekas permukiman warga ini dianggap sebagai fenomena yang lumrah. Kita menjadi permisif dengan keadaan ini.

Jorgensen dan Phillips (2002: 2) menjelaskan bahwa pertarungan antara klaim tentang pengetahuan yang berbeda dapat dipahami dan secara empiris dieksplorasi sebagai pertarungan wacana-wacana berbeda yang merepresentasikan cara-cara memahami aspek dari dunia dan membangun identitas yang berbeda bagi pembicaranya. Pada saat yang bersamaan, ia akan membangun makna yang terus-menerus meminta dipahami sebagai sebuah kelaziman bagi khalayak umum. Wacana permukiman warga adalah buruk dan hotel/apartemen yang berada di tepi kali adalah baik dan ideal akan membentuk cara pandang dan kepercayaan masyarakat.

Kapitalisme memang memiliki daya rusak yang luar biasa. Ia menginfiltrasi kehidupan kita di segala lini, termasuk di dalam bahasa dan wacana. Melalui bahasa, keyakinan kita tentang dunia yang ideal dibentuk. Sebuah wacana yang diproduksi secara terus-menerus dan disebarkan ke khalayak luas akan membentuk dan mempengaruhi pola pikir orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kita diasingkan dari kehidupan kita yang normal dan sesungguhnya. Tiba-tiba kita merasa jijik dengan pemandangan permukiman di tepi kali yang sebenarnya telah menjadi bagian kehidupan kita. Pada saat yang bersamaan, kita tiba-tiba melihat bangunan menjulang tinggi yang berada di bekas lokasi permukiman-permukiman yang digusur sebagai sesuatu yang ideal dan mesti kita kejar. Kita didorong dan dijebak ke dalam pengategorian-pengategorian yang bias.

Bermula dari bahasa, pada titik tertentu, kita menganggap bahwa penggusuran permukiman di tepi kali ini sebagai sesuatu yang normal. Penggusuran pun sering tidak disebut sebagai penggusuran, tetapi sebagai “upaya normalisasi sungai”, “rehabilitasi ruang terbuka hijau”, atau “penertiban tata kota”. Kita lupa bahwa di dalam penggusuran itu, ada hak-hak yang dirampas, ada hukum yang dilanggar, ada tangis orang-orang yang kehilangan hak mereka. Kita tiba-tiba berpikir bahwa “river side” lebih baik dibandingkan “di tepi kali” atau “di pinggir kali”!



“Di Tepi Kali Ciliwung” ditulis oleh:

Jejen Jaelani 
Banyak menulis tentang wacana dan kebudayaan di beberapa media massa di Indonesia. Ia aktif sebagai penulis, peneliti, pembicara, dan moderator di dalam forum-forum bahasa dan kebudayaan serta anggota Forum Studi Kebudayaan ITB dan forum diskusi Los Cihapit di Bandung.whiteboardjournal, logo