Mungkinkah Menciptakan Tuhan?

Column
27.07.17

Mungkinkah Menciptakan Tuhan?

Retorika Eksistensi Yang Maha Esa

by Whiteboard Journal

 

Sejak duduk di sekolah dasar (SD) kerap muncul pertanyaan: apakah saya seorang Kristen yang taat? Saya rajin ibadah ke gereja, saya rajin berdoa, saya rajin ikut partangiangan, saya rajin baca Bibel—itu semua adalah kebiasaan yang saya lakukan sejak kecil. Namun, semakin kesini, saya kadang mempertanyakan ‘kadar’ Kekristenan saya. Apakah orang-orang pernah berpikiran sama dengan saya? Kenyataan yang saya lihat sejak kecil dan bertumbuh dalam keluarga Kristen—saya melihat orang-orang begitu mudahnya menyebut dirinya seorang Kristen hanya karena ia sering pergi ke gereja, mengikuti ibadah, bernyanyi dan berdoa sesuai ajaran Injil, lalu dengan bangganya mengatakan “saya adalah seorang Kristen sejati.”

Pengalaman itu kemudian berlanjut ketika saya kuliah di universitas. Semasa kuliah saya menjumpai banyak sekali organisasi-organisasi keagamaan, termasuk organisasi mahasiswa Kristen. Sungguh, saya tidak ada ketertarikan masuk organisasi ini karena terus terang saja saya jengah mendengar orang berbicara memakai ayat-ayat Tuhan. Lantas mengukur kadar keimanan seseorang. “Apakah kau percaya Tuhan?.” Pertanyaan ini sungguh membuat saya jengkel. Kalian tahu, omongan ini setiap hari saya dengar dari seseorang yang juga bagian dari organisasi tadi. Saya pikir mengklaim diri sebagai organisasi mahasiswa Kristen—yang berlandaskan ajaran Kristus—tetapi kenyataannya tidak menjurus kepada ajaran Kristus, itu tindakan yang sembrono.

Saya tidak dapat mengukur seberapa tinggi-rendahnya keimanan seseorang. Atau apakah saya keliru? Mungkinkah orang-orang mampu mengukur kadar tinggi-rendahnya keimanan seseorang?. Kalau iya, bagaimana caranya. Apakah keimanan seseorang bisa dikatakan baik ketika ia memakai firman Tuhan sebagai tameng. Sekalipun ia Pendeta, penghafal Injil, penetua gereja tidak dapat mengukur tinggi-rendahnya keimanan seseorang.

Saya masih percaya Tuhan. Namun, sayang sekali, saya tidak percaya orang-orang yang berteriak atas nama Tuhan tetapi laku dan perbuatan tidak sesuai ajaran Tuhan. Orang-orang seperti ini paling mudah bersembunyi dibalik jubah-jubah agama dan ayat-ayat Tuhan. Mulut manusia manis, sekalipun ia pergi ibadah ke gereja, tidak serta-merta ia lantas disebut Kristen sejati. Lihatlah gereja-gereja yang dipenuhi umat setiap hari Minggu. Lihatlah, apakah ibadah minggu di gereja penuh keteduhan dan khusyuk? Atau sebaliknya. Saya melihat dengan sangat jelas, di gereja kamu akan melihat orang-orang yang mengaku Kristen dengan mudahnya. Coba tanya kenapa ia mengklaim dirinya sebagai seorang Kristen? Atau, apakah seorang Kristen dalam Gereja lantas berpolitik dan mendukung elit-elit politik? Apakah itu yang disebut Kristen sejati?

Lantas, kalau begitu apakah manusia seperti saya yang jarang ke gereja, lantas dikatakan bukan seorang Kristen? Jika ya atau tidak, bagaimana menentukannya? Jika orang mencap saya bukan seorang Kristen, lantas apakah saya tidak punya hak untuk menyatakan bahwa ia bukan pula seorang Kristen. Betapa beraninya manusia menghakimi orang, sedang ia tidak pernah ‘selesai’ dengan dirinya sendiri.

Lalu terbesit dalam benak, pernahkah mempertanyakan eksistensi Tuhan? Menurut saya ini adalah pertanyaan yang serius dan perlu kontemplasi yang mendalam dan panjang. Barangkali, pertanyaan ini pernah muncul: ‘Siapakah yang membuat saya?’ saya tidak dapat menjawab, karena saya segera menunjukkan pertanyaan lebih lanjut ‘Siapakah yang membuat Tuhan?’” Kalimat yang sangat sederhana itu menunjukkan kepada saya, seperti yang masih saya pikirkan.

Saya jadi ingat Feuerbach, dalam bukunya The Essence of Christianity (1841), ia mengatakan bahwa Tuhan sebagai wujud pemahaman. Saya sungguh sepakat dengan pernyataan ini. Agama adalah ‘perpecahan’ manusia dari dirinya sendiri; Dia menetapkan Tuhan dihadapannya sebagai antitesis dari dirinya sendiri bahwa Tuhan bukanlah manusia—manusia bukanlah milik Tuhan. Feuerbach mengatakan: Tuhan itu tak terbatas, manusia adalah makhluk yang terbatas; Tuhan itu sempurna, manusia tidak sempurna; Tuhan abadi, manusia temporal; Tuhan Yang Mahakuasa, manusia lemah; Tuhan kudus, manusia berdosa. Tuhan dan manusia adalah ekstrem: Tuhan itu benar-benar positif, jumlah semua realitas; Manusia yang benar-benar negatif, memahami semua negasi. Tapi dalam agama manusia merenungkan sifat latennya sendiri. Oleh karena itu, harus ditunjukkan bahwa antitesis ini, perbedaan antara Tuhan dan manusia, yang dengannya agama dimulai, adalah perbedaan antara manusia dengan kodratnya sendiri.

Kebutuhan inheren dari bukti ini segera terlihat, bahwa jika sifat ilahi, yang merupakan objek agama, benar-benar berbeda dari sifat manusia, sebuah divisi, suatu persatuan tidak dapat terjadi. Jika Tuhan benar-benar berbeda dari diri saya sendiri, mengapa kesempurnaannya menyusahkan saya? Perselisihan hanya ada di antara makhluk yang berbeda, tapi siapa yang seharusnya menjadi satu, siapa yang bisa menjadi satu, dan bagaimanapun, sebenarnya adalah satu. Namun, pada landasan umum inilah, manusia merasa dirinya dalam perselisihan harus lahir sejak lahir, imanen dalam dirinya sendiri, namun pada saat yang sama harus memiliki karakter yang berbeda dari sifat atau kekuatan yang memberinya perasaan, kesadaran akan rekonsiliasi, persatuan dengan Tuhan, atau, apa hal yang sama dengan dirinya sendiri.

Mengapa orang percaya Tuhan? Russel secara terang-terangan curhat dalam esai pendeknya Why I a not Christian Other Essays… (1957), mengatakan bahwa orang-orang percaya argumen hukum alam, yang mana menyatakan orang-orang mengamati planet-planet yang mengelilingi matahari sesuai dengan hukum gravitasi, dan mereka mengira bahwa Tuhan telah memberikan perintah kepada planet-planet ini untuk bergerak dengan cara tertentu, dan itulah sebabnya mereka melakukannya. Tentu saja itu adalah penjelasan yang mudah dan sederhana yang menyelamatkan mereka dari kesulitan untuk mencari penjelasan lebih lanjut tentang hukum gravitasi.

Artinya tidak semua orang percaya begitu saja dengan argumen ini. Bagi kaum determinisme mereka akan menerima bulat-bulat argumen tentang hukum alam—Tuhan sendiri yang mengatur dan memberi perintah kepada planet-planet untuk bergerak. Tetapi bagi kaum yang “tercerahkan” mereka akan menelusuri kevalidan argumen tersebut melalui ilmu-ilmu filsafat, teologis dan kosmologis yang berkaitan dengan hukum alam dan galaksi. Saya tidak mengatakan bahwa adalah sebuah kesalahan mempertanyakan keberadaan Tuhan. Bukan. Nah kalau begitu, sebaiknya saya nukil perkataan Heisman dan bukunya Suicide Note tentang eksistensi Tuhan. Demikian:
“If there is no extant God and no extant gods, no good and no evil, no right and no wrong, no meaning and no purpose; if there are no values that are inherently valuable; no justice that is ultimately justifiable; no reasoning that is fundamentally rational, then there is no sane way to choose between science, religion, racism, philosophy, nationalism, art, conservatism, nihilism, liberalism, surrealism, fascism, asceticism, egalitarianism, subjectivism, elitism, ismism.”

Jika begitu apakah Tuhan itu nyata? Bagaimana eksistensi Tuhan itu sendiri? Heisman membeberkan bahwa eksistensi lebih unggul daripada non-eksistensi. Asumsi yang keliru bahwa eksistensi lebih unggul daripada non-eksistensi, atau bahwa kehidupan lebih unggul dari pada kematian, adalah bias yang memiliki dasar kuat dalam psikologi evolusioner manusia. Jika, tidak seperti saya, seseorang berasumsi bahwa eksistensi manusia lebih unggul daripada ketidakhadiran, maka kematian akan lebih rendah daripada kehidupan. Pencarian manusia transhumanis untuk keabadian, dan semua cara untuk meningkatkan kehidupan melampaui batas manusia sekarang, terlebih lagi, akan mengikuti dari anggapan bahwa eksistensi lebih unggul daripada tidak adanya eksistensi. Tuhan yang alkitabiah, dengan cara yang sama, berevolusi dari ekstrapolasi ekstrem dari logika kehidupan manusia.

Sebelum pikiran manusia berevolusi, konsepsi (pemahaman) tentang Tuhan tidak mungkin dilakukan. Manusia bisa memahami keberadaan Tuhan. Namun jika eksistensi Tuhan akan lebih besar, lalu bagaimana keberadaan Tuhan bisa terbentuk? Jika kita bisa membayangkan makhluk seperti itu, maka kita tidak akan membangunnya menjadi lebih besar lagi. Pertanyaannya: Apakah di abad “serba micin” ini, secara teknologis, mungkin menciptakan Tuhan?.

“Mungkinkah Menciptakan Tuhan?” ditulis oleh:

Roy Martin Simamora 
Graduated from National Dong Hwa University, Taiwan, Roy Simamora likes to write a short story, poetry and essays.whiteboardjournal, logo