
Apakah The Indonesian Dream yang Realistis adalah: Sandang, Pangan, dan Punk-punk-an?
Dalam submisi Open Column kali ini, Rama Satria Agung menuliskan observasinya terhadap gaya hidup anak punk serta generasi muda, dan menabrakan semua itu dengan realita ‘papan’ dalam kebutuhan pokok manusia.
Words by Whiteboard Journal
Seperti hal yang sudah umumnya diketahui, bahkan sejak di bangku sekolah dasar, kebutuhan primer manusia terdiri atas 3 hal; sandang, pangan, dan papan. Namun, kekhawatiran poin nomor tiga tentang kebutuhan primer manusia nampaknya akan sulit tercapai mengingat harga tempat tinggal di Indonesia memiliki harga yang nyaris di luar batas wajar dan bahkan kemampuan pemasukan para anak muda Indonesia per hari ini (paling tidak untuk saya pribadi), dan secara data, 81 Juta Millenial belum memiliki rumah pribadi, yang mana itu menjadi kekhawatiran tersendiri: Apakah generasi di bawahnya dapat memiliki hunian mereka sendiri?
Cukup banyak frasa yang menertawakan keironisan masalah dalam ketidaklayakan hidup di negara ini, dan satu yang cukup catchy adalah frasa ‘Sandang, Pangan, dan Punk-punkan’ yang tidak sengaja saya lihat di linimasa media sosial Instagram.
Melihat hal ini, semakin terpikir bahwa nampaknya frasa tersebut bukan hanya menjadi gurauan belaka, namun nyaris sangat mungkin terjadi, mengingat timpangnya harga tempat tinggal dengan pemasukan generasi muda—atau generasi Z—yang mungkin secara sadar mulai mengkhawatirkan bagaimana caranya untuk bisa memiliki tempat tinggal pribadi di masa depan. Terlebih lagi, mungkin juga memaksa kita untuk hidup secara nomaden dengan berpindah-pindah antar kos, atau migrasi ke area yang lebih terjangkau, yang jika dipikirkan lebih jauh ternyata memiliki kesamaan dengan para punk-punkan yang mudah kita jumpai di sepanjang jalan Pantai Utara dengan slogan khas “Jalanan adalah Rumahku”.
Tentu, pernyataan ini tidak bermaksud mendiskreditkan para anak punk tersebut. Namun, lebih membuat saya berpikir bahwa nantinya amat sangat mungkin jika kita memiliki alternatif hidup yang sama seperti apa yang mereka lakukan. Ironis ini menjadi lebih terpikirkan ketika membayangkan sebuah pemikiran—yang mungkin naif—yang berbunyi seperti “mengapa ya, rasanya sulit memenuhi sebuah kebutuhan dasar di era di mana dunia mulai memikirkan invasi mereka ke planet lain, atau wacana teknologi, dan bahkan industri 5.0 yang tentu saja jauh daripada sekadar kekhawatiran anak muda tentang bagaimana nantinya bisa menjangkau tempat tinggal pribadi di daerah sendiri?”
Permasalahan ini tidak hanya dirasakan oleh saya pribadi, namun juga cukup sering bersliweran di linimasa sosial media, atau di sela-sela percakapan bersama rekan di sebuah tongkrongan. Terasa seperti fantasi, namun juga mengendap sebagai sebuah ketakutan yang nyata dirasakan oleh anak muda yang, meski memiliki latar belakang kondisi berbeda, merasakan kekhawatiran yang sama tentang apakah nantinya mereka bisa merasakan memiliki sebuah petak rumah yang layak untuk tempat teduh keluarga kecil mereka di masa yang akan datang.
Adanya nafas baru, yakni program Presiden baru kita tentang 3 juta rumah untuk untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Tapi nampaknya nafas tersebut semakin dilemahkan ketika mengingat beberapa program seperti ini sebelumnya juga tidak mampu terealisasikan dan lantas terbengkalai, apalagi ketika mereka berhasil melenggang ke singgasana tertinggi sebagai pemimpin negeri ini. Lalu, ke mana arah jawaban permasalahan ini? Apa yang membuat para anak muda optimis tentang hal ini? Tentu saja sementara kita hanya bisa meromantisasi tentang bagaimana cuplikan video pendek di IG Reels, atau narasi di Twitter/X tentang kehidupan para kerah biru yang menempuh berjam-jam perjalanan hanya untuk mendapat hunian yang murah dan gaji yang lebih tinggi, yang sangat mungkin akan menjadi siklus yang kita-kita lakoni di kemudian hari.
Sebenarnya, tips-tips tentang bagaimana cara mendapatkan rumah bagi anak muda sudah cukup banyak berseliweran, baik dalam bentuk pindah negara (ke negara dengan harga rumah yang lebih terjangkau), pindah ke ruang rural atau kabupaten dengan harga tanah yang lebih murah, atau dengan menunggu warisan dari para orang tua mereka. Tentu hal ini bukan jawaban yang konkret dan hanya akan menimbulkan masalah yang berkelanjutan, seperti mewariskan masalah masyarakat kota besar, dengan anak muda di daerah yang lebih terjangkau yang menimbulkan harga tanah di daerah mereka juga turut meninggi.
Masalah ini menjadi lebih memuakkan ketika saya kembali mengingat bahwasanya tempat tinggal layak adalah kebutuhan dasar, dan kesulitan menjangkau ini akibat beberapa pihak yang secara sengaja menimbun dan memiliki berhektar-hektar tanah, yang juga merupakan pihak yang memiliki rencana untuk menuntaskan permasalahan kepemilikan lahan. Memang tak salah mengutip salah satu celotehan Pidi Baiq tentang “Kemiskinan, mungkin bukan masalah bagi masyarakat Indonesia, seandainya pejabat juga sama miskin :D”.
Narasi tentang mengapa anak muda tidak mampu membeli rumah juga sering dibenturkan dengan cara hidup mereka yang dianggap terlalu boros dan berfoya-foya pada ‘entitas’ trendi dan gaya hidup konsumtif masa kini. Namun, itu juga bukanlah solusi dan hanya menimbulkan perdebatan tentang mana generasi yang lebih baik, dan semakin menjauh dari jawaban tentang ancaman kesulitan memenuhi kebutuhan tempat tinggal mereka di masa mendatang.
Cukup sulit jika hanya mengacungkan jari ke pihak yang bertanggung jawab, dan kamu juga tidak akan menemukan jawaban tersebut pada tulisan ini, mengingat kapasitas saya tidak lebih daripada melihat kondisi realitas yang terjadi di antara para anak muda yang juga menjadi masyarakat di negara ini, dan tujuan saya hanya mencoba memantik bagaimana frasa gurauan tersebut memiliki potensi yang sangat mungkin dilakoni oleh anak muda saat ini.
Lalu, jika memang benar ini terjadi, adalah sebuah alternatif hidup yang mungkin saja menarik jika kita mengkilas balik bagaimana kebutuhan dasar kita tentang kepemilikan tempat tinggal dipaksa dilakukan dengan cara mengadopsi gaya hidup anak punk. Atau bisa juga mengikuti manusia zaman dulu yang bermigrasi dari satu daerah ke daerah lain. Dari satu kontrakan ke kontrakan lain, satu kos ke kos lain, namun dengan niat dan kesenangan yang jauh berbeda jika kita melihat para anak punk yang mampu bebas menjalani kehidupan sesuai keinginan mereka di jalanan.