
Bagaimana Sebuah Panggung Membumikan Teater Kembali Ke Masyarakat
Dalam submisi Open Column ini, Esha Tegar Putra menceritakan apa yang ia serap dari pertunjukan kelompok Teater Sambilan Ruang di perhelatan Djakarta International Theatre Platform 2025, terlebih mengenai bagaimana kuratorial platform tersebut mengakomodasi ruang keberagaman dan inklusivitas.
Words by Whiteboard Journal
Perjumpaan pertama saya dengan kelompok Teater Sambilan Ruang ketika jelang Panggung Publik Sumatera tahun 2012 yang diselenggarakan di beberapa ruang publik Kota Padangpanjang, Sumatra Barat, dalam rangka Hari Teater Sedunia. Fitri Noveri (Feri) selaku sutradara kelompok Teater Sambilan Ruang pada waktu itu menggarap drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil karya Arifin C. Noer yang dipentaskan di depo Stasiun Kereta Api Padangpanjang. Saya beberapa kali diajak untuk melihat proses produksi pertunjukan tersebut.
Tiga belas tahun berlalu, Minggu, 10 Agustus 2025, saya menonton kembali pertunjukan kelompok Teater Sambilan Ruang di Planetarium Pool, Taman Ismail Marzuki. Kelompok teater tersebut memainkan naskah berjudul Bayang Kaki Limo karya sutradara Fitri Noveri dibantu Dede Pramayoza sebagai dramaturg. Tidak asing bagi saya menyaksikan kelompok teater tersebut memilih mempertontonkan pertunjukan mereka di luar ruangan—tidak pada panggung prosenium. Ruang publik seakan sudah melekat erat dengan konsep pertunjukan Feri dan agaknya ia ingin terus mendekatkan pertunjukannya dengan model seperti itu—beberapa tahun belakangan ia memilih menggauli konsep ruang yang dapat diakses warga kampung sebagai fondasi penciptaan karya.
Yang asing (sekaligus romantik) bagi saya, Feri memilih untuk memperkokoh penciptaan karyanya melalui konsep “sandiwara kampu(a)ng”. Konsep seni pertunjukan yang pernah populer di Sumatera Barat periode 1970–1990-an (atau lebih jauh lagi sebelum periode itu). Yang asing ini mungkin merupakan “risiko” sekaligus “keberanian”. “Risiko” dikarenakan konsep pertunjukan ini mengandalkan pengisahan cerita dari aktor dan respon penonton sebagai kekuatan utama. “Keberanian” dikarenakan Feri percaya, meskipun sepenuhya dialog dimainkan dalam bahasa Minangkabau, penonton akan menerima porsi pemahaman berbeda-beda. Bisa jadi kepercayaan ini didasarkan pada kejujuran aktor memainkan perannya dan suasana yang dihadirkan selama pertunjukan.
Saya menikmati pertunjukan malam itu. Sambil mengenang peristiwa-peristiwa sandiwara yang pernah dipertontonkan di kampung saya pada perayaan hari besar, hari kemerdekaan, atau pada peristiwa kenaikan kelas sewaktu sekolah dasar. Saya juga menikmati respon penonton, melalui celetukan mereka dalam bahasa Minangkabau, dari beberapa sudut ruang pertunjukan–saya kira cukup banyak penonton dari puak Minangkabau.
Dan malam itu pula untuk pertama kali pertama saya menonton sandiwara berbahasa Minangkabau dalam peristiwa teater yang menawarkan keberbagaian narasi. Mulai dari ‘critical discourse’, ‘artistic experimentation’, ‘connect ideas across artistic disciplines and national borders’, sampai ‘encourages the artistic imagination to engage with socio-political complexities of international and regional dis/order’ dan kecanggihan narasi serta gagasan lain yang ditawarkan oleh Djakarta International Theatre Platform (DITP).
Kelompok Teater Sambilan Ruang menawarkan narasi sangat sederhana dalam pertunjukannya malam itu. Ia tidak berusaha untuk tampak sekedar “rancak di mata” penonton, tidak pula ingin terjebak pada tontonan “alakadar”. Ia tidak mempersepsikan konsep “Bumantara” (bumi antara) sebagai teropong yang melihat dari awang-awang, tapi mengukuhkan pijakan tertunjukannya dengan “Membumi” (melantai pada bumi).
Ia juga tidak ingin memposisikan pertunjukan sandiwara kampu(a)ng pada keterpesonaan terhadap tipologi vernakularitas. Namun seakan menyatakan diri sebagai pertunjukan yang hidup dan menjalani vernakularitas itu sendiri. Pertunjukan itu seakan sadar, ada yang tidak akan dapat dijangkau oleh kelompok Teater Sambilan Ruang dari lompatan-lompatan konsep teater masa kini. Untuk itu, ia berupaya mendayagunakan dan memanfaatkan perbendaharaan konsep yang pernah “didapat” (atau “diberikan”) teater modern pada sandiwara kampu(a)ng. Dengan enteng mereka menyebut pertunjukannya sebagai “sandiwara”, bahkan sandiwara yang dipertontonkan di kampung-kampung.
Peristiwa orang-orang kalah
Pertunjukan Bayang Kaki Limo oleh kelompok Teater Sambilan Ruang dibuka dengan suguhan lagu “Laruik Sanjo“ dan semua pendukung pertunjukan (aktor dan pemusik) ikut terlibat bernyanyi di depan panggung. Lagu ciptaan Asbon Madjid dan dipopulerkan oleh Orkes Gumarang pada periode 1960-an itu berusaha untuk mempertegas dari awal kisah yang akan berlangsung selama pertunjukan: dagang yang dimabuk untung dan perasaian!
Di hadapan penonton, di Kolam Planetarium Taman Ismail Marzuki yang sudah dikeringkan, kelompok Teater Sambilan Ruang menghadirkan suasana pasar tradisional ala daerah Minangkabau—di beberapa perkampungan orang-orang menyebut pasar tradisional sebagai pakan atau balai.
Sebuah bangunan lapak kopi, mungkin berukuran 2×2 meter, didirikan dari kayu dan terpal di bagian kiri panggung menghadap penonton dan tukang kopi bernama Dayat (Abdul Hanif) mengambil peran di sana. Di sebelah kiri lapak kopi berjejer tiga payung pasar, masing-masing diisi pedagang sayur bernama Dinda (Gita Tasman), pedagang gula enau yang sepanjang pertunjukkan dipanggil Amak (Nanik Kursani), dan payung bagian kanan diisi pedagang bumbu bernama Ramadan (Nusirwan). Empat pedagang inilah yang kemudian menjadi kunci utama dari pertunjukan yang berdurasi kurang-lebih satu jam itu.

Foto via Andi Maulana/Dewan Kesenian Jakarta.
Persoalan-persoalan yang dinarasikan dalam pertunjukan sangat sederhana sekali. Persoalan sehari-hari orang-orang kampung, para pedagang pasar. Persoalan yang barangkali dianggap biasa dan diabaikan bagi manusia-manusia urban Jakarta. Tapi bagi mereka persoalan itulah yang membungkus kehidupan mereka sehari-hari. Tidak dapat dielakkan dan harus dijalankan. Mulai dari mempergunjingkan tetangga sedang berada, sedang “menumpang kapal gula” (jadi orang kaya), komplain pada retribusi pasar berlapis dan sewa lapak, pertengkaran suami-istri akibat judi online, bank 4:6 (rentenir), biaya anak kuliah, dan tolak-menolak optimisme dan pesimisme akan masa depan lebih baik.
Saya membayangkan laju pertunjukan Bayangan Kaki Limo sebagai sandiwara satir ala percakapan orang-orang Minangkabau di ruang-ruang publik seperti pasar, lepau, dan ruang pergaulan lain. Dialog antar aktor memang begitu menentukan bagaimana penonton akan mendapatkan saripati pelajaran hidup yang dibicarakan oleh orang-orang dari akar rumput.
Pada malam pertunjukan itu saya mendengar beberapa orang menimpali peristiwa-peristiwa sandiwara dari arah kursi penonton. Mereka menimpali dengan bahasa Minang. Beberapa lagi terpelongo, ketika percakapan para aktor terjadi begitu cepat dengan gaya bahasa dan intonasi yang mungkin hanya dapat dipahami oleh penutur bahasa Minang. Beberapa penonton berkali-kali beralih pandang dari aktor ke arah tembakan proyektor di belakang panggung pertunjukan ketika terjadi naik-turun intensitas pertunjukan–sebab mereka yang mengerti akan dibuat tertawa atau dibuat tertegun.
Satu-satunya siasat yang digunakan para aktor dalam ketidak-mengertian penonton terhadap bahasa (tapi mungkin mereka merasakan) adalah dengan berkali-kali menjajal model rhetorical Invitation. Aktor mengajak penonton merespon kejadian di panggung dengan pernyataan dan pertanyaan retoris serta ungkapan dan laku mengajak. Hampir keseluruhan aktor utama, Dayat, Amak, Dinda, Ramadan, memanfaatkan strategi persuasif ini dalam laju sandiwara.
Dayat dengan laku laki-laki Minangkabau tukang gunjing (gibah) yang setiap praduganya bisa membuat kita serasa ingin memelintir mulutnya. Dengan gunjingan sinis disertai gerak bibir “tunjuk beruk” ia bercerita dari si anu sampai si itu, dari Si Udin dan istrinya yang perekonomiannya mulai membaik karena berdagang barang elektronik impor Singapura di Jakarta, sampai persoalan Si Pandeka lego-pagai dengan istri akibat judi online. Laku Dayat tukang kopi itu disertai dengan berbagai rhetorical Invitation. Seperti bibir “tunjuk beruk” itu sampai hidangan kopi yang berkali-kali diantar pada penonton.
Amak dengan optimismenya pada hidup malam itu mengajak penonton untuk mendamaikan gunjingan tiga orang aktor utama lain. Dengan kisah kemalangan hidupnya sebagai pedagang gula saka, ia haqqul yaqin dapat membiayai kuliah anaknya, meskipun pontang-panting. Ia seakan menjadi juru keadaban di tengah suasana pasar yang dipenuhi gunjing dan berbagai persoalan hidup pelik. Sedangkan Dinda si tukang sayur dan Ramadan si tukang bumbu disertai sifat seperti dagangan mereka masing-masing–tukang bumbu seperti rempah penyedap berbagai rasa untuk percakapan para aktor sandiwara dan tukang sayur mesti dijaga agar tidak cepat layu dan membusuk.
Dari pergunjingan-ke-pergunjingan di tengah pasar, tukang retribusi pasar masuk panggung, rentenir perempuan meminta bunga tagihan, preman dan pengamen pasar turut terlibat, klimaks sandiwara ini berujung pada persoalan anak kebanggaan Amak. Pertunjukan ini ditutup dengan patah-hati seorang perempuan tua yang mengira anaknya berkuliah di Kota Padang tapi ternyata menjadi bandar sabu-sabu—dan ia dikejar dan di-dor oleh polisi. Peristiwa ini juga meruntuhkan keyakinan Amak pada Si Udin yang turut dibanggakan dalam narasi pertunjukan. Bahwa kekayaan Si Udin datang dari hasil jualan narkoba dan ia adalah induk semang dari anaknya, Si Pandi.
Tidak ada yang dimenangkan pada akhir sandiwara ini, semua dikalahkan oleh hidup–hidup orang-orang kelas bawah yang tidak jelas juntrungannya. Tapi saya merasa Amak dikalahkan berkali-kali, tidak hanya karena anaknya yang mati di-dor polisi, tapi di-dor oleh praduga, gunjingan-gunjingan, dan bibir “tunjuk beruk” orang-orang seperti Dayat tukang kopi.

Foto via Andi Maulana/Dewan Kesenian Jakarta.
Memulangkan sandiwara ke penontonnya
Sederhana memang. Kisah sandiwara yang dimainkan kelompok Teater Sambilan Ruang seperti peristiwa-peristiwa hidup terabaikan. Namun kisah-kisah sederhana ini dapat dilacak dalam kehidupan masyarakat kelas bawah. Kesederhanaan ini kemudian menjadi menarik ketika Feri sutradara dan Dede selaku dramaturg bergerak dan mempertaruhkan “risiko” dan “keberanian” dalam platform pertunjukan ini—dua hal yang pada awal tulisan ini telah saya kemukakan.
Keyakinan Feri bahwa teater atau ia bahasakan sandiwara mesti dipulangkan pada masyarakat penikmatnya saya kira adalah perspektif “mahal”. Tidak banyak pelaku teater yang berani mengambil risiko ini dan memikirkan ulang ragam konsep teater modern yang pernah ia pelajari—ia adalah sarjana dan magister teater Institut Seni Indonesia—Padangpanjang. Pilihannya pada sandiwara kampu(a)ng seperti “mengembalikan pinang ke gagangnya” dan “mengembalikan sirih ke tampuknya”. Ia mungkin melihat bahwa realitas teater hari ini tidak akan dapat masuk lebih jauh pada penonton seperti orang-orang kampung—jika pun masuk, mungkin akan dengan keheranan, ketersimaan pada hal-hal canggih, dan pulang dengan membawa tafsir gagah-gagahan atau bingung sekalian.
Pertunjukan Bayang Kaki Limo sekaligus adalah pertunjukan yang mewakili struktur yang membangunnya. Mewakili anak teater yang alih profesi sebagai tukang lontong, mewakili petani yang melihat “dunia berbeda” ketika mendapat tempat main sandiwara, pengamen jalanan yang diberi kesempatan bergaya di atas panggung, atau bocah sekolah dasar yang disusupi impian gagal bapaknya berkuliah di Hochschule für Musik und Theater Hamburg. Ia bukan sandiwara yang mewakili dan menyuarakan liyan, tapi menyuarakan diri mereka sendiri.
Saya cukup kaget ketika dalam seri diskusi DITP bersama kelompok Teater Sambilan Ruang sehari sesudah pertunjukan seorang aktor (tidak selesai SD atau SMP) dengan profesi bertani merasa sangat senang dan menemukan dirinya yang lain ketika diberikan peran kecil dalam pertunjukan itu. Tapi begitulah sandiwara kampuang, siapapun berhak diberi peran, asalkan ada kemauan dan keberanian untuk tampil di hadapan orang-orang kampung yang bisa jadi mencemooh sejadi-jadinya saat dan sesudah pertunjukan.
Usaha-usaha Feri dan Dede untuk membuat sandiwara kampu(a)ng ini dapat berterima dengan publik DITP—notabene membawa beban platform internasional dan tempat silang budaya—pada saat diskusi juga menjadi cukup jelas. Dugaan risiko yang sempat saya pikirkan juga menjadi pikiran bagi Dede selaku dramaturg. Ada tawaran dari Dede untuk mengubah naskah dalam bahasa Indonesia, tapi Feri merasa bahwa aktor akan kehilangan daya pikatnya ketika memainkan sandiwara dalam bahasa Indonesia.
Sebab sandiwara kampuang akan dipertontonkan di luar masyarakat pengguna (dan penikmat) pertunjukannya. Kekuatan bahasa dan model komunikasi ala masyarakat Minangkabau yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam sandiwara tersebut mesti ber-kerelaan jika tidak dapat dijangkau oleh publik DITP. Dua macam tembakan proyektor, satunya translasi dialog pemain dari bahasa Minangkabau ke dalam bahasa Indonesia, satunya lagi dalam bahasa Inggris, meskipun disediakan pasti akan memiliki keterbatasan.
Tapi mereka tetap percaya bahwa sandiwara yang mewakili diri/kelompok mereka itu akan akan dapat menjangkau penonton dengan ekspresi tubuh serta wajah yang jujur dari para aktor—termasuk rhetorical Invitation yang terus ditawarkan sepanjang pertunjukan. Di bagian tambahan proyektor utama untuk translasi bahasa Minangkabau ke bahasa Indonesia Feri dan Dede juga bersiasat dengan menghadirkan sketsa Bodi Darma (perupa Sumatera Barat) yang menemani penonton sepanjang alur pertunjukan.
Pada bagian ini saya kira pertunjukan sandiwara Bayang Kaki Limo cukup berani dan percaya diri tampil dihadapan publik DITP. Ia tidak terkesima dan terbebani bahwa teater mutakhir hari ini mesti begini-begitu, serta harus tampak pintar di hadapan publik. Tapi ia hadir dengan jujur dan meyakini melantai-membumi pada sandiwara kampu(a)ng adalah juga bagian Bumantara.
Sebagai seorang penonton teater, saya meyakini kehadiran kelompok Teater Sambilan Ruang yang memainkan sandiwara Bayang Kaki Limo pada kuraratorial DITP adalah pernyataan bahwa konsep Bumantara yang diusung dapat ditafsir sedemikian luasnya—bahwa lompatan ke masa depan tidak akan dapat dilakukan jika tidak bertolak pada masa lalu; bahwa sandiwara kampu(a)ng juga ada “peranakan” teater modern dan telah membuat konsep teater ditafsir secara baru dan berbeda pula oleh masyarakat.
Tentu saja kita juga berharap pernyataan kuratorial DITP dengan muatan platform yang dihadirkan akan terus berkembang menjadi ruang keberagaman dan inklusivitas bagi begitu banyak respon unik masyarakat atas pertunjukan teater modern. Sebagaimana keunikan dalam sandiwara kampu(a)ng. Seorang sutradara bisa jadi sekaligus merangkap jadi tukang kabel. Aktor bisa sekalian menjadi tukang masak kue bolu atau singgang ayam. Dalam proses pertunjukan sandiwara kampu(a)ng, los-los pasar kumuh, kelas SD paling pojok, atau perpaduan drum-drum bekas aspal dan kayu-kayu jembatan bisa saja digarap menjadi panggung pertunjukan.




