
Berita Buruk Setiap Hari, Apakah Masih Mungkin Punya Empati?
Dalam submisi Open Column ini, Intan Zariska Daniyanti banyak menuangkan kegamangan personalnya yang tetap berkecamuk di tengah jayanya berita-berita memprihatinkan, sekalian mengingatkan bahwa kita masih memiliki ruang untuk mendengarkan keresahan di kepala kita sendiri.
Words by Whiteboard Journal
Empati dan permisif.
Tentang bagaimana toleransi yang kita berikan di mata orang lain.
Hari-hari ini rasanya memperhatikan berita, media dan masa sangat melelahkan. Bermasyarakat di Indonesia sungguh membuat kita rentan burnout dan sakit kepala.
Bagaimana kita harus bijak merespon dan bersikap tentang pemberitaan dan masalah negara ini? Dan bagaimana kita harus tetap melanjutkan hidup sebagai individu dengan segala konflik personalnya? Menjadi menu sarapan dan beban pikiran setiap harinya.
Namun saya tidak akan bercerita tentang konflik eksternal negara atau pemberitaan media massa setiap harinya yang rasanya sangat luas—tak terbatas dan melelahkan. Narasi personal yang ada di kepala kita rasanya lebih penting untuk direfleksikan.
Bagaimana caranya kita menyayangi orang tanpa kita merasa diinjak-injak? Bagaimana caranya berempati sama orang tapi juga tidak jadi permisif? Tapi kita tetap bisa membuat batasan. Mungkin bukan tembok, tapi dengan marker line.
Terus juga bagaimana caranya kita bisa mencintai seseorang tapi juga memaksa orang itu untuk bertumbuh? Pertanyaan-pertanyaan disruptif yang sering sekali muncul ke permukaan di penghujung hari atau bahkan di awal membuka mata.
Apakah ini yang dinamakan quarter life crisis? Entahlah.
Bagaimana toleransi yang kita berikan ke orang lain tidak dianggap sebagai sesuatu yang permisif untuk diri kita?
Mungkin kembali lagi ke diri kita sendiri tentang bagaimana cara kita mengolah ekspektasi terhadap sesuatu yang telah kita berikan. Toh, nyatanya empati dan belas kasih adalah sesuatu yang mahal dan tidak terjangkau.
Apakah kita bisa memberikan empati kita kepada semua orang?
Apakah semua orang berhak mendapat empati dari kita?
Apa hanya orang-orang tertentu saja?
Tulisan ini dibuat berdasarkan keresahan pribadi di tengah masa jayanya berita Indonesia Gelap dan berita korupsi yang bertubi-tubi di berbagai lini. Pola konsumsi juga mungkin mempengaruhi. Sebuah konflik personal yang tidak mengharapkan jawaban atau solusi.
Mungkin bisa jadi juga hanya ajakan untuk memberi ruang tempat untuk mengisi kekosongan di antara jawaban dan lebih banyak pertanyaan atau narasi-narasi personal yang ada di kepala kita.