Perempuan dan Hasrat

Column
10.06.16

Perempuan dan Hasrat

Melihat Kenikmatan Sebagai Syarat Relasi Antar Manusia

by Febrina Anindita

 

Ada rasa janggal yang muncul dalam hati ketika usai menonton film pendek karya Teddy Soeriaatmadja berjudul “About a Woman.” Memang kalau bicara tentang judul, kurang lebih tersurat bahwa film ini berpusat pada cerita sang tokoh sentral yang berjenis kelamin perempuan. Ya, perempuan, bukan wanita. Saya menolak untuk menggunakan kata wanita karena pengertian akan kata tersebut terpatok pada tingkat usia atau sifat yang diberikan oleh masyarakat. Sedangkan kata perempuan memiliki asosiasi yang universal dan ideal, namun sederhana dengan adanya rasa senasib sepenanggungan daripada padanan kata yang memberatkan sosok perempuan dengan tuntutan masyarakat, seperti “wanita karir.”

Cukup sekali menonton film itu, detail yang tersisa dalam pikiran tak kunjung lepas. Perempuan digambarkan dengan kompleks, lengkap dengan keterasingan terhadap lingkungan sekitar, termasuk pada rumahnya sendiri dikarenakan represi yang tercipta oleh nilai-nilai masyarakat menempel sedemikian rupa. Frase perempuan adalah cawan suci pun bisa menjadi pembuka perdebatan ini. Ia begitu suci karena jiwa baru bisa terlahir darinya. Bagian terintim pada dirinya bisa membuat bahtera baru bagi siapapun yang ingin berbahagia. Tapi apakah menariknya perempuan akan terus menarik seiring waktu?

Pada diskusi film, saya ingat Teddy menyebutkan bahwa ia terpikir untuk membuat film tersebut sepulang dari kunjungan ke rumah kerabat perempuan senja yang tinggal sendiri. Pun hal tersebut mengusik saya ketika menyadari bahwa tiap individu memiliki expiration date akan fungsi fisiknya, namun hasrat; secara hakiki, tak akan pernah padam. Relasi antar manusia yang didasari cinta menjadi alasan tiap orang untuk terus hidup, dan manifestasi atas relasi tersebut berupa relasi seksual yang tak terhindarkan. Namun, ketika membayangkan sketsa akan masa depan saat seorang perempuan berakhir sendiri dan di sekitarnya terus tumbuh wajah baru, bagaimana ia bertahan dengan memuaskan hasratnya, menjadi perandaian yang sering dikesampingkan oleh banyak orang.

Michel Foucault mengatakan bahwa manusia memiliki kedangkalan atas seksualitas. Ia melihat relasi seksual sebagai sesuatu yang murni fisikal. Ia melihat tubuh bukan sebagai objek, namun substansi di mana manusia dapat merasakan kenikmatan. Bahkan seorang masochist pun secara lantang maupun diam-diam bisa mendapatkan kenikmatan dari tubuh atau mental yang terluka. Manusia sebagai makhluk berhasrat, secara manusiawi akan mencari jalan untuk mencapai kenikmatan, bagaimanapun caranya. Sulit rasanya melihat perempuan sebagai makhluk yang versatile dalam mencari cara ke titik kenikmatan tanpa harus berjengit ketika mengetahui detail dibalik tiap sikap yang diambil.

Keadaan akan semakin sulit ketika publik diminta melihat tubuh di posisi berbeda dimana perempuan dipuja layaknya sesuatu yang agung dan dijaga serta menjadi alat untuk mencapai kepuasan. Perempuan modern mungkin bisa melihat relasi seksual sebagai bentuk pemahaman hasrat atas eksistensi dirinya. Kebutuhan seksual yang terbentuk sebagai siklus penopang keberlangsungan spesies manusia menjadi penting adanya karena tubuh meminta, bahkan mensyaratkan kepuasan secara mendasar dan intens. Namun, publik yang membentuk nilai berdasarkan common sense yang dipertanyakan menjadi pagar bagi perempuan untuk tidak bisa merasa sebebas lelaki. Kesepian menjadi konsekuensi yang didapat ketika seorang perempuan memilih untuk mengurung hasratnya demi mendapat citra baik di mata publik. Represi yang tak terhindarkan membuat perempuan mematikan hasratnya terhadap sentimen negatif atas parameter politis, agamis hingga historis.

Kondisi ini nampak tak pernah hilang dari roda zaman yang membuat perempuan seperti Sisyphus yang membawa hasratnya dengan tubuh sekuat tenaga untuk mencapai puncak kenikmatan namun ditentang oleh dorongan publik yang melihat relasi seksual sebatas anatomi semata. Kesalah pahaman yang sering terjadi adalah pandangan yang menganggap bahwa banalitas akan problematisasi dibedakan antara dua konsep seksualitas yang ekstrem. Pada akhirnya, apakah hasrat perlu disesuaikan dengan tatanan publik guna mendapat kenikmatan yang ideal?

“Perempuan dan Hasrat” ditulis oleh:

Febrina Anindita
Dilettante who is often spaced out during free time. When she’s not wired, she usually digs in literature, eroticism and visual art among others. Suffice to say, she’s erratic.whiteboardjournal, logo