Ruang, Dinamika Sosial, dan Komersialisasi

Column
08.06.17

Ruang, Dinamika Sosial, dan Komersialisasi

Sebuah Dilema

by Whiteboard Journal

 

Suatu siang, di sebuah ruang yang menjamur di lingkungan sekitar ibukota dalam beberapa tahun ini, kedai kopi, suasana konstan terbingkai, gerombolan anak-anak muda ber-interaksi dengan perangkat elektroniknya, laptop, handphone, menunjukan eksistensinya dengan memotret suasana kedai kopi tersebut. Pada sisi lain terdapat gerombolan yang geram dengan suasana tersebut, gerombolan tersebut mengatasnamakan dunia nyata dan mengkritik pedas gerombolan yang tenggelam dalam hingar bingar dunia maya.

Di saat itu juga, ruang, sebuah saksi bisu, merasakan dilema, ia dituntut untuk berlaku adil. Pada satu sisi ia tidak dirancang hanya untuk pengunjung, namun juga untuk menghidupi pengelola dan pegawai ruang tersebut. Sang pengelola pastilah ingin jumlah pengunjung yang banyak, sehingga fenomena yang sedang marak terjadi di utamakan dalam proses perancangan sebuah ruang. Pada sisi lainnya, namanya tercoreng karena ia memberikan efek negatif pada dinamika sosial.

Dinamika sosial kerap kali dipertimbangkan dalam perancangan sebuah ruang yang memiliki fungsi komersil, bagaimana sebuah ruang tersebut dapat bertahan lama menjadi alasan hal tersebut. Fenomena yang terjadi saat ini adalah ruang kerap kali mendukung hilangnya interaksi sosial, dengan memberikan elemen- elemen estetik yang digemari oleh para penghuni tetap dunia maya. Namun tanpa hal tersebut fungsi komersil tidak akan bisa dicapai.

Belakangan ini sudah muncul beberapa ruang komersil yang mulai mempertimbangkan untuk tidak memberikan efek negatif pada dinamika sosial, beberapa ruang tersebut menggunakan senjata ampuh dengan meniadakan wi-fi gratis kepada pengunjung. Namun, yang kerap terjadi adalah penerimaan yang tidak sebesar ruang komersil pada umumnya, dan membuat pengelola pada akhirnya melepas idealisme ruang komersil yang “hidup” dengan mengikuti pasar. Kendati demikian, seiring berkembangnya fenomena tersebut, ruang menjadi berkembang dan memberikan efek positif pada kawasan. Beberapa contoh yang terjadi adalah sebuah area di perbatasan antara ibu kota dan kota satelitnya, menjadi ramai dikunjungi karena hadirnya ruang yang mendukung penjamuran fenomena sosial tersebut.

Mengutip kata seorang arsitek era modern, Louis Sullivan, “It is the pervading law of all things organic and inorganic, of all things physical and metaphysical, of all things human, and all things super-human, of all true manifestations of the head, of the heart, of the soul, that the life is recognizable in its expression, that form ever follows function. This is the law.” Menjadi jelas bahwa ruang merupakan pihak yang tidak bersalah, ruang akan selalu mengikuti kebutuhan tuannya, tuannya pun akan mengikuti kebutuhan dirinya untuk hidup. Lalu, siapakah antagonis dari fenomena yang dilematis ini? Jika dirasa-rasa dinamika memang memproyeksikan pihak antagonis yang samar-samar, dan kesadaran diri lah yang akhirnya menjadi solusi.

Berbicara soal ruang yang “ideal” , fenomena kata “ideal” akan selalu dibawa menuju ide-ide baru mengenai ruang niscaya mendukung usaha-usaha pembaharuan dan perluasan makna, setidaknya dalam dua cara: Pertama, ruang dipahami selaku perwujudan dari aktivitas manusia atau pengembangan tubuh manusia yang fungsional dalam tiga dimensi. Kedua, ide ruang dipandang selaku usaha meneruskan usulan yang telah tumbuh berabad lalu dalam kaitan estetika, terutama dalam upaya mendefinisikan terus menerus makna keindahan dalam kerangka menemukan esensi arsitektur sebagai sebuah seni. Efek dari ide-ide baru mengenai ruang telah memberi sumbangan bagi keyakinan pada abad keduapuluh bahwa arsitektur memainkan peran utama dalam pembentukan karya seni secara total justru melalui pilihan atas mediumnya yang bukan materi, melainkan ruang.

Tahapan perubahan yang mempengaruhi para perancang ruang semenjak masa Renaisance dalam menjangkau dan memapankan metafisikanya, sesungguhnya menarik untuk dikaji tersendiri. Sebagaimana diketahui, selain akibat melemahnya peran agama, berubahnya status profesi (yang semula tukang) dan pencarian pembenaran moral akibat kelas borjuis industrial yang tidak memberi tautan nyata bagi terciptanya dialog kultural, gejolak Revolusi Industri turut menyebabkanpara perancang ruang melibatkan diri dalam problema-problema khusus kelas pekerja. Maka, ruang jelas bukan hanya sebentuk estetika, melainkan juga keprihatinan sosial.

Kata ajaib “ Ruang” sekarang ini tentu tidak hanya mencakup apa yang dahulu dikatakan oleh Hegel secara umum sebagai “Jiwa”, tetapi bisa pula menyangkut daya-daya kehidupan yang menjadi sumber hasrat artistik, yang justru mengubah perspsi mental ke arah visualisasi aktual. Namun demikian, idealisme manusia sesungguhnya tidak hanya terejawantah melalui kecintaan terhadap ruang, melainkan juga melalui antitesisnya, yakni kengerian atas ruang dan pergulatan untuk mengatasi ketakutan sebagai realitas yang harus dihadapi. Dalam konteks semacam itu, tidak mengherankan bila pembaharuan atas ide ruang di awal abad keduapuluh dicari melalui kekuatan industri dan sosial, suatu upaya yang nampak menjembatani jurang antara estetika dengan kehidupan.

Kekuatan industri dan sosial tidak akan luput dari jaringan komersialisasi, sebuah hal yang mengikis habis idealisme, sebuah hal yang lambat laun mengikis idealisme suatu kaum realis, sebuah hal yang mengangkat pandangan umum menjadi baku, baik itu berdampak negatif ataupun positif.

Jika dibawa menuju pemikiran akan solusinya, ruang akan menjadi pihak yang di tarik dari kedua arah oleh dinamika yang berkoalisi dengan komersialisasi, dan idealisme akan kondisi sosial yang “ideal”. Kemudian, bagaimanakah ruang komersil akan tumbuh kedepannya? Jawabannya bergantung pada pilihannya sendiri, sama seperti solusi yang selama ini digadang-gadang untuk fenomena sosial, yakni terus menerus mencari perspektif yang berbeda untuk dikaji agar di situasi tertentu kita dapat mengerti apa saja yang dapat menjadi penggerak dan apa yang menjadi batasan sebuah idealisme.

There are 360 degrees, so why stick to one? ― Zaha Hadid

“Ruang, Dinamika Sosial dan Komersialisasi” ditulis oleh:

Ikrar Raksaperdana 
Mahasiswa arsitektur Universitas Katolik Parahyangan. Menekuni arsitektur, desain dan juga dunia jurnalistik.whiteboardjournal, logo