
Hidup adalah Tentang Pilihan, Pun Juga dengan Menjadi Vegan
Dalam submisi Open Column ini, Dhiani Probhosiwi menggunakan kaca pembesar untuk melihat yang kadang terlewatkan dari veganisme, dari sudut pandang historis hingga hidup keseharian kita.
Words by Whiteboard Journal
“Living is easy with eyes closed, misunderstanding all you see.”
Sepenggal lirik dari The Beatles dalam lagu “Strawberry Fields Forever” ini memang sering terasa sangat representatif untuk menggambarkan banyak situasi dalam berbagai fase kehidupan. Sepenggal kalimat lain yang juga dapat terasa mewakili banyak orang dalam berbagai situasi yaitu: Igonorance is a bliss.
Tidak mengetahui sesuatu dengan atau tanpa sengaja memang sering kali terasa lebih menenangkan. Kita tak harus hidup dengan beban atau tanggung jawab moral untuk menjaga diri kita dari perbuatan yang berlawanan, khususnya dengan nilai-nilai moral yang kita pegang secara personal. Misalnya, aku menentang kekerasan, jadi aku berusaha konsisten dengan memilih untuk tidak menonton sirkus hewan, topeng monyet, atau datang ke kebun binatang karena aku terlanjur mengetahui bahwa praktik-praktik ini melibatkan kekerasan terhadap hewan non-manusia (selanjutnya akan disebut hewan) di baliknya.
Menutup mata, salah satunya, bisa sangat menguntungkan untuk diterapkan dalam hal-hal yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, misalnya makanan. Karena dengan menutup mata, kita hanya perlu berpikir mengenai “Aku lapar maka aku harus makan, kalau bisa yang enak” dan tak ada hal lain lagi yang perlu dipikirkan. Living is super easy with eyes closed, jika kita tidak mengetahui bagaimana makanan yang kita konsumsi diproduksi, terutama jika kita punya privilege untuk memilih apa yang bisa kita makan setiap harinya.
Memilih menu adalah satu hal. Hal lain yang sering luput adalah: bagaimana kandungan nutrisi dari makanan tersebut—apakah tubuh kita betul-betul membutuhkannya? Apakah kita benar-benar lapar atau hanya INGIN makan? Bagaimana makanan ini diproduksi—proses apa saja yang harus dilalui? Dan masih banyak lagi daftar pertanyaan lain.
Tapi, dalam tulisan ini, dengan tujuan untuk sedikit saja mengurangi kemudahan orang-orang yang memilih menjalani hidup dengan menutup mata, dengan atau tanpa disengaja, aku hanya akan berfokus pada satu pertanyaan—bagaimana suatu makanan diproduksi dan proses apa yang harus dilalui, khususnya berkaitan dengan produk-produk hewani?
Peternakan Pabrik—Sebuah Proses yang Terjadi di Balik Tersedianya Produk Hewani di Pasaran
Ketika memilih telur ayam, bebek, atau burung puyuh, daging sapi, daging ayam, dan berbagai produk hewani lainnya di pasar tradisional atau supermarket, apa yang menjadi pertimbangan kalian untuk membelinya? Apakah itu harga, berat, atau kualitas? Apakah tentang bagaimana hewan tersebut dibesarkan di peternakan pernah menjadi pertimbangan bagi kalian untuk membeli produk tersebut?
Penggambaran ayam berlarian di tanah yang lapang, itik berenang di sungai atau mencari makan di sawah, sapi atau kambing merumput di padang rumput yang luas, dan babi berendam di lumpur, mungkin merupakan visual yang pertama muncul di benak sebagian besar orang ketika melihat produk-produk hewani tersebut.
Faktanya, peternakan ayam petelur di Indonesia didominasi oleh peternakan kandang baterai—artinya, satu individu ayam hanya memiliki ruang gerak tak lebih dari laptop berukuran 13 inci, sepanjang masa hidupnya. Artinya lagi, jangankan untuk berjalan, bertengger, atau bersarang, untuk mengepakkan sayap seutuhnya pun mereka kesulitan. Hal yang sama mulai mengancam itik petelur karena saat ini, model peternakan ini mulai banyak diadopsi oleh para peternak itik petelur di berbagai daerah di Indonesia.

Sumber: Across Species Project Indonesia
Bagaimana dengan sapi, kambing, ayam dan bebek pedaging, babi, atau hewan yang diternakkan lainnya? Untuk menjawabnya, aku akan beri kalian rekomendasi tontonan: Okja (2017) yang disutradari oleh Bong Joon Ho. Film ini boleh saja menampilkan karakter fiksi yang telah mengalami rekayasa genetika, tapi, sebagian besar adegan yang ada di film tersebut menampilkan realita dalam peternakan pabrik atau peternakan intensif.
Rekayasa genetika mungkin terdengar berlebihan. Tapi, apakah kalian pernah mendengar fakta di balik ayam broiler, yang angka konsumsi per kapitanya mencapai 7.46 kg pada tahun 2024 di Indonesia? Memang tak sepenuhnya sama dengan babi super Okja yang merupakan sebuah produk dari rekayasa genetika, tapi ayam broiler telah mengalami seleksi genetika yang membuat pertumbuhannya jauh lebih cepat dibandingkan pada tahun 1950-an.
Setidaknya 33 tahun yang lalu saja, yaitu pada 1992, di Amerika Serikat, ayam broiler membutuhkan 52 hari untuk mendapatkan berat 2.26 kg. Tapi saat ini, untuk mendapatkan berat 2.5 kg, hanya dibutuhkan waktu sekitar 38 hari. Kebanyakan ayam broiler yang dikonsumsi saat ini menggunakan fast-groing breed, yang dalam praktik pemeliharaannya banyak menimbulkan berbagai penyakit akibat pertumbuhan yang terlalu cepat. Beberapa masalah yang sering ditemukan antara lain masalah pada kaki karena tak mampu menopang tubuh yang terlalu berat, masalah pada jantung dan pernapasan, masalah pada kulit dan otot, yang salah satunya diakibatkan kurangnya aktivitas bergerak karena dipelihara di ruang dengan kepadatan yang tinggi dan tubuh yang sulit untuk digerakkan, serta masih banyak lagi.

Sumber: Vox
Seleksi genetika pada ayam broiler hanya satu dari sekian contoh dari praktik-praktik yang seharusnya bertentangan dengan lima domain kesejahteraan hewan (five domains of animal welfare) namun sayangnya dianggap sebagai praktik yang wajar. Lima domain kesejahteraan hewan sering jadi acuan kesejahteraan hewan, mencakup kecukupan kebutuhan nutrisi, lingkungan yang nyaman dan sesuai dengan habitat aslinya, kesehatan yang baik, kemampuan
mengekspresikan perilaku alami, dan keadaan mental yang baik.
Di peternakan pabrik untuk sapi perah, misalnya, salah satu praktik yang umum dilakukan adalah memisahkan anak sapi dari induknya, seperti yang tergambar dalam video yang banyak beredar di media sosial, menggambarkan induk sapi yang mengejar anaknya, yang belum lama lahir, menggunakan truk truk.

Sumber: Instagram/@hewanjuga x @ignadee
Anak sapi akan diberi pengganti susu (milk replacer) dan ibu sapi akan diperah agar susunya dapat dikonsumsi oleh manusia. Dan untuk dapat menghasilkan susu, tentu sapi harus melalui proses kawin dan hamil. Ada dua cara yang umum dilakukan—pertama, memaksa jantan kawin dengan betina; kedua, melakukan inseminasi buatan pada betina. Dua cara ini sama-sama melibatkan pemaksaan dan campur tangan manusia. Dalam inseminasi buatan, semen yang digunakan untuk melakukan inseminasi buatan diperoleh dari pengeluaran semen jantan secara paksa dengan bantuan manusia. Hal ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan pada individu tersebut, jika kamu percaya pada fakta ilmiah bahwa sapi dan hewan lainnya adalah makhluk sentient—artinya makhluk yang bisa merasa, termasuk perasaan senang, sedih, dan tentunya rasa sakit.

Sumber: Instagram/@hewanjuga
Stereotip Vegan sebagai Ekstremis
Saat ini, apakah kamu akan menganggap perdagangan budak Atlantik yang terjadi sekitar abad 16–19 sebagai hal yang wajar? Mungkin sebagian besar orang di abad 21 mengutuk sejarah kelam tersebut. Tapi, pada saat hal tersebut terjadi, sebagian besar menganggap praktik tersebut sebagai hal yang lazim.
Apakah pada masa itu, orang-orang yang menentang perbudakan—atau biasa disebut dengan abolitionis—mendapat label ekstremis? Ya. Apakah mereka berhenti menyuarakan kegelisahan mereka? Tidak. Apakah akhirnya mereka berhasil? Ya. Satu per satu, negara-negara mulai mengeluarkan peraturan yang melarang perdagangan budak.
Mereka mendapat label ekstremis karena memperjuangkan hak manusia untuk mendapatkan kehidupan yang layak—sesuatu yang absurd jika dilihat dengan kacamata abad 21. Namun, pandangan yang bertentangan dengan mayoritas masyarakat yang dominan pada masa itu, membuat anggapan sebagai ekstremis dan punya “aliran” yang tak lazim menjadi hal yang wajar.
Dalam konteks veganisme, aku melihat pola yang serupa. Hanya saja, subjek yang diperjuangkan memang berbeda. Dalam perbudakan abad 16–19, manusia menjadi subjek, dan dalam veganisme, hewan menjadi subjeknya. Objek yang ditentang relatif sama—perbudakan, yaitu kebebasan yang direnggut karena adanya satu pihak yang lebih berkuasa atas pihak lain. Dalam praktiknya, individu yang dianggap sebagai budak akan dianggap tak lebih dari sekadar properti dan terdapat pemaksaan-pemaksaan untuk melakuan satu dan lain hal yang sering kali melibatkan penderitaan fisik dan mental.
Ketika kita melihat hal tersebut terjadi di depan mata, apakah memutuskan untuk menyuarakan ketidakadilan atau sekadar memilih untuk tidak berpartisipasi dalam mendukung praktik ini—misalnya, di masa lalu, dengan menolak untuk memiliki budak atau di masa kini, dengan berhenti mengonsumsi produk hewani—lantas menjadikan seseorang masuk ke dalam golongan ekstremis?
Apa yang Vegan Inginkan dan Apa yang Kita Semua Bisa Lakukan?
Di tengah banyaknya hal yang terjadi di sekitar kita, terutama dalam situasi sosial politik saat ini yang semakin kompleks dari hari ke hari, isu hewan sering kali dikesampingkan. Hal ini sangat wajar terjadi karena ketika persoalan kesejahteraan manusia masih menjadi tantangan besar, maka wajar jika kesejahteraan hewan bukan menjadi prioritas utama. Namun, hal ini seharusnya tidak menjadikan alasan untuk melanggengkan praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip kesejahteraan hewan.
Tapi, kalau kita nggak makan hewan, nanti sapi-sapi akan jadi overpopulasi dan mau ditaruh mana? Apa kalian mikir sampai ke situ?
Sebagian dari orang yang menganut pola hidup vegan, karena kepedulian pada hewan, berpikir lebih jauh dari itu. Tentu kami, atau setidaknya aku, memahami bahwa membebaskan semua hewan yang ada di peternakan pabrik adalah hal yang sukar dan hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Sebagian memilih untuk melakukan langkah pragmatis dengan meningkatkan kesejahteraan hidup hewan-hewan di peternakan, baik itu melalui advokasi dengan pemerintah, kerja di lapangan dengan peternak, atau mendorong perusahaan untuk menerapkan peraturan yang berorientasi pada kesejahteraan hewan; sebagian yang lain bergerak di ranah pangan nabati dan berkelanjutan; dan tak sedikit pula yang memutuskan untuk berhenti pada pilihan personal. Setidaknya tiga hal ini, akan menuntun perubahan sistemik yang dapat meningkatkan kualitas hidup hewan yang selama ini menjadi salah satu korban terberat dalam peradaban.
Sebagian orang mungkin percaya bahwa spesies hewan tertentu memang ditakdirkan untuk dikonsumsi dan memang “sudah dari sananya begitu”. Tapi, apakah sudah mencoba melihat dari sudut pandang historis, terutama mengenai domestikasi yang terjadi pada masa revolusi pertanian sekitar 10,000 tahun silam, yang membuat tumbuhan dan hewan-hewan yang semula liar didomestikasi, seiring dengan manusia yang mulai meninggalkan pola hidup berburu-meramu?
Sebagian yang lain mungkin juga sibuk dengan argumen, “Tapi kan tumbuhan juga makhluk hidup.” Tumbuhan memang makhluk hidup dan dapat merespons rangsangan atau kerusakan, tapi tumbuhan tidak memilliki pain receptor. Untuk dapat merasakan sakit, ada tiga komponen yang diperlukan; nociceptor—reseptor khusus yang mendeteksi kerusakan jaringan (yang hanya ada pada hewan, termasuk manusia), sistem saraf—berfungsi memproses sinyal nyeri, dan otak atau sistem saraf pusat—berfungsi mengolah sinyal menjadi pengalaman sadar. Tumbuhan tidak memiliki ketiganya.
Selain itu, jika seseorang benar-benar peduli dengan tumbuhan, menjadi vegan justru jadi salah satu cara untuk mengurangi jumlah tumbuhan yang “dibunuh”. Kok bisa? Tentu bisa; karena hewan yang diternakkan memakan jauh lebih banyak tumbuhan, dan juga air, energi, serta lahan daripada manusia memakan produk nabati secara langsung.
Lalu, apa yang sebenarnya para vegan inginkan? Vegan memang label yang melekat pada diri orang-orang yang tidak mengonsumsi ataupun menggunakan produk-produk hewani. Tapi, vegan juga terdiri dari individu yang memiliki karakteristik dan keinginan masing-masing. Bagiku, aku menginginkan hal sederhana berupa pengakuan atas masalah sistemik dalam industri agrikultur saat ini—atas keterbatasan ruang untuk mengekspresikan perilaku alami dan atas perlakuan yang sering kali buruk dan kasar, termasuk mutilasi (seperti pemotongan ekor pada babi atau paruh pada ayam dan bebek), dan berbagai hal lain yang dilakukan pada hewan yang diternakkan.
Bagiku, semua yang kusuarakan bukan soal mengajak orang menjadi vegan, melainkan, mengajak orang untuk mencari tahu. Karena dengan aktif mencari tahu, kita bisa membuat pilihan dengan lebih baik. Sebagai disclaimer, aku khususnya berbicara kepada orang-orang yang memiliki privilege untuk memilih, jadi ini bukan mengenai masyarakat adat yang hidup di hutan atau komunitas nelayan di pesisir pantai yang tidak memiliki pilihan lain selain makan dari hasil tangkapan.
Living is easy with eyes closed, misunderstanding all you see.
Hidup memang terasa lebih mudah jika dijalani dengan mata tertutup. Tapi, mata yang tertutup rawan untuk menuntun kita menyalahartikan berbagai hal yang ada di sekitar dan membawa potensi besar untuk kita menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari tahu dan memilih dengan bijak, hal-hal yang akan kita anggap esensial dalam kehidupan. Karena hidup memang sering kali soal pilihan—terutama bagi orang-orang yang punya keistimewaan untuk memilih.