
Ketika Empati Punya Kadaluarsa, Menulis Ulang Ingatan Ialah Jawabannya
Dalam submisi Open Column ini, Retno Setiyowati memperlihatkan bagaimana kita berada di era yang mana ‘kelelahan simpati’ menjadi alat yang dieksploitasi oleh negara terhadap rakyatnya.
Words by Ghina Sabrina
Beberapa kematian berhenti di upacara pemakaman, tapi kematian Iko tak pernah benar-benar selesai. Seperti pintu yang terbuka setengah, membiarkan angin tanya berputar di dalamnya, tapi tak pernah mengizinkan siapa pun masuk untuk mencari jawaban.
Mendadak orang-orang menulis doa, mengunggah foto, tak lupa menuntut penjelasan. Media berlomba-lomba mencari potongan cerita. Dan untuk sesaat, nama Iko menjadi semacam gema kolektif: suara kehilangan yang menyatukan banyak orang yang bahkan tak mengenalnya secara pribadi.
Layaknya sebuah gema, suaranya pelan-pelan mereda. Pemberitaan mulai jarang muncul. Janji penyelidikan kini hanya tersisa dalam arsip berita lama. Dan di tengah kesibukan, nama Iko perlahan menghilang—bukan karena sudah ditemukan jawabannya, tapi karena perhatian kita berpindah.
Siklus Empati Singkat
Media mempunyai cara sendiri untuk berduka. Mereka menulis, memotret, menayangkan. Lalu, pindah ke berita lain. Begitulah siklusnya: tragedi menjadi tayangan, lalu tayangan menjadi arsip. Di antara itu semua, manusia yang sebenarnya terluka perlahan tertinggal di belakang—terlupakan.
Kita hidup di era yang sering disebut para peneliti media sebagai zaman “empathy fatigue” atau kelelahan empati—istilah yang dikembangkan oleh Susan Moeller (1999) dalam bukunya Compassion Fatigue: How the Media Sell Disease, Famine, War and Death. Ia menggambarkan bagaimana arus berita yang terus-menerus tentang penderitaan justru membuat masyarakat menjadi kebal terhadap rasa iba. Ketika tragedi menjadi sesuatu yang rutin, empati berubah menjadi reaksi sesaat, bukan kesadaran jangka panjang.
Fenomena ini kini berkembang menjadi sesuatu yang lebih cepat dan dangkal: “siklus empati singkat” (short empathy cycle). Dalam kajian media, Eric M. Hansen dkk. (2018) dalam artikelnya, Empathy Cultivation through (Pro)Social Media: A Counter to Compassion Fatigue, menunjukkan bahwa kecepatan dan volume informasi di media sosial sering membuat empati kita menjadi reaksi instan yang cepat surut, bukan perhatian yang berkelanjutan. Maka, media sosial mempercepat semuanya (rasa peduli, kemarahan, solidaritas) dan juga mempercepat kelelahan kita.
Dalam hitungan hari, tragedi besar bisa berubah menjadi tren, dan tren akan tergantikan oleh konten lain yang lebih ringan.
Dalam konteks Iko, siklus itu terlihat jelas. Di awal, ada ledakan solidaritas digital: seruan keadilan, tagar dan opini. Tapi beberapa minggu kemudian, semuanya hilang. Bukan karena kasusnya selesai, tapi karena perhatian kita berpindah ke hal lain. Begitulah cara dunia modern memperlakukan duka: cepat, padat, dan sementara.
Mungkin di sinilah keheningan paling menyakitkan bermula—bukan hanya karena keadilan yang tak kunjung datang, melainkan akibat rasa peduli kita sendiri memiliki tanggal kadaluarsa. Saat empati menjadi bagian dari rutinitas daring, kita berhenti merasakannya dengan sungguh-sungguh.
Banalitas dari Ketidakpedulian
Bagi kami (kawan sejawat), Iko adalah luka yang tak selesai, dan dalam satu tahun ini, luka itu justru kian sunyi. Tak ada perkembangan berarti, tak ada titik terang, hanya serpihan informasi dan kesenyapan institusional. Dalam pidato-pidato resmi, pemerintah bicara soal kebangkitan bangsa, tentang ketegasan hukum, tentang masa depan yang tangguh. Sialnya, di antara kalimat-kalimat besar itu, nama Iko tidak pernah disebut.
Di sinilah letak paradoks muncul: di satu sisi, negara ingin tampil kuat; di sisi lain, ia rapuh dalam menghadapi hal yang paling mendasar—yakni menjamin keadilan (minimal sekali) bagi satu warganya yang mati tanpa kepastian.
Kita mungkin sedang menyaksikan apa yang oleh Hannah Arendt sebut sebagai “banality of evil” dalam buku Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963)—banalitas dari kejahatan yang lahir dari ketidakpedulian dan kepatuhan tanpa refleksi. Kemudian, dikontekstualisasikan hari ini sebagai “banality of indifference” yakni banalitas dari ketidakpedulian yang dilembagakan. Ketika rasa iba menjadi hal yang tak efisien secara politik, negara belajar untuk melupakannya. Empati dianggap kelemahan, bukan kekuatan moral.
Dalam satu tahun pemerintahan Prabowo, narasi besar tentang ketertiban dan kedisiplinan nasional menempati ruang utama dalam politik simbolik. Ketertiban tanpa empati hanya akan melahirkan kekosongan moral. Ia tampak rapi di permukaan, tapi rapuh di dalam. Negara mungkin berhasil mengatur lalu lintas, mengatur harga, bahkan mengatur citra di mata dunia, tapi gagal mengatur sesuatu yang jauh lebih mendasar: nurani. Ketika kebijakan dibuat tanpa mendengarkan asbabun nuzul di baliknya, ketertiban berubah menjadi bentuk baru dari ketidakpedulian.
Kasus Iko yang mandek ini mencerminkan ketegangan lama antara “politik citra” dan “politik keadilan.” Yang pertama membutuhkan tontonan; yang kedua membutuhkan keberanian moral. Sayangnya, yang sering menang adalah yang pertama.
Dan publik, yang seharusnya menjadi penekan moral, kini terjebak dalam siklus empati singkat (terlalu cepat marah, terlalu cepat lupa). Ini bukan sekadar kelelahan emosional, tapi bentuk normalisasi ketidakadilan yang pelan-pelan diterima sebagai ritme kehidupan politik.
Satu tahun pemerintahan baru seharusnya menjadi momentum evaluasi, bukan sekadar euforia. Sebab ukuran keberhasilan politik tidak hanya ada pada angka pertumbuhan ekonomi atau peringkat indeks internasional, tetapi juga pada seberapa serius negara mendengarkan mereka yang kehilangan.
Keadilan yang mandek bukan hanya kegagalan hukum, tapi juga kegagalan empati. Dan pada akhirnya berujung kegagalan moral bangsa.
Mungkin yang tak kalah menyedihkan dari semua ini adalah bahwa kita perlahan belajar untuk hidup tanpa jawaban. Kita terbiasa dengan ketidakpastian, terbiasa dengan berita yang tak selesai, terbiasa dengan rasa kecewa yang dibiarkan menggantung.
Ketika empati mulai memiliki masa kadaluarsa, satu-satunya cara untuk menjaganya tetap hidup adalah dengan menulis ulang ingatan. Sebab ingatan, tidak seperti empati yang mudah goyah, memiliki daya tahan yang lebih lama. Ia menyimpan suara-suara yang nyaris hilang, menolak diam yang dipaksakan.
Menulis tentang Iko berarti menolak gagasan bahwa duka harus berhenti di batas perhatian publik. Cara paling sederhana, namun paling jujur untuk mengatakan bahwa kita masih peduli. Dalam dunia yang sibuk berlomba untuk melupakan, mengingat adalah tindakan politis. Ia bukan sekadar nostalgia, tapi bentuk tanggung jawab—kepada mereka (tak hanya Iko) yang telah pergi, dan kepada nurani kita sendiri.




