
Kita Dipaksa Melihat Reformasi Layu Sebelum Sempat Merekah
Dalam submisi Open Column kali ini, Iqbal Ramadhan, salah satu korban yang ditangkap dan disiksa saat demo #IndonesiaDarurat 22 Agustus 2024 lalu, menuliskan memoir dari momen ia dibawa sang ibu ke halaman Gedung DPR/MPR saat runtuhnya Orde Baru, hingga memori mengalirnya darah segar dari hidungnya di hadapan tawa para penegak hukum.
Words by Whiteboard Journal
Pengalaman ditangkap saat di Gedung DPR/MPR
Pada 22 Agustus 2024 lalu, saya ditangkap dan disiksa di sekitar pelataran Gedung MPR/DPR. Siksaan itu adalah hadiah dari rezim yang culas, karena saya ikut meramaikan aksi unjuk rasa #PeringatanDarurat.
Saya ditangkap oleh tujuh atau delapan pria bertubuh tegap, dipaksa untuk membuka baju dan celana, dipaksa untuk jongkok, dan disiksa secara membabi buta. Seingat saya, orang yang pertama kali melakukan siksaan memakai baju loreng warna hijau dan memakai wearpack serta tameng dan pentungan. Pria bertubuh tegap itu menendang dan memukul kepala bagian belakang dan wajah saya. Setelah itu saya dibawa secara paksa oleh delapan orang. Sepanjang perjalanan saya mengalami berbagai macam siksaan verbal maupun fisik. Mereka tertawa saat melakukan penyiksaan.
Wajah saya memar, kaki saya pincang, dan hidung saya patah. Darah saya mengalir dari wajah hingga ke baju. Saya ingat, mulut saya dipenuhi darah dan ketika saya bernafas darah saya menyembur ke tangan salah satu pihak keamanan, katanya: “WOI, DARAH LO NIH DI TANGAN GUE.”
Saya bersama yang lainnya ditahan di satu ruangan. Seingat saya, banyak darah segar dan rambut yang menempel di tembok dan di lantai. Orang tak dikenal mondar-mandir menanyakan identitas saya dan memotret wajah saya tanpa izin. Hidung saya yang patah tak kunjung diobati, justru saya mendapati banyak intimidasi, pria bertubuh tegap memakai pakaian serba hitam lalulalang sambil mengatakan: “Mau mati nih, mau mati nih.”
Setelah 3 jam penahanan di ruangan tersebut, saya baru dimasukkan ke dalam mobil tahanan dan dibawa ke Polda Metro Jaya. Di mobil tahanan, saya bersama yang lainnya kembali mendapatkan siksaan. Saat di Polda Metro Jaya, hidung saya hanya dibersihkan dan diberikan obat antibiotik & penahan nyeri. Saya diperiksa di Unit Keamanan Negara (Kamneg). Salah satu penyidik tiba-tiba berdiri memegang sepatu dengan gestur yang siap memukul. Saya berdebat dengannya, kemudian dia mengambil obat saya dan mengatakan: “Obat lo gue sita.”
Saat ditahan, saya tidak dapat menghubungi keluarga, teman, dan pengacara. Akses terhadap bantuan hukum dihalang-halangi. Saya baru didampingi oleh LBH Jakarta pada pukul 20.00 WIB—hal ini karena saya sempat berpapasan dengan LBH Jakarta setelah saya dibawa ke dokkes. Saya baru dilepaskan setelah diperiksa dan dimintai keterangan selama 28 jam.
Saya selalu membayangkan, bahwa pasca reformasi tak akan ada lagi pembungkaman dan kekerasan terhadap masyarakat sipil yang sedang bersuara dan mengutarakan pendapatnya. Namun, kejadian yang saya alami berkata sebaliknya.
Pengalaman 26 tahun sebelumnya, di tempat yang sama, di situasi dan waktu yang berbeda.
Ada satu fragmen yang mungkin penting dalam hidup saya. 27 tahun sebelumnya, di tempat yang sama saya berada di sini, sebagai anak kecil yang ikut merayakan kejatuhan Soeharto dan Orde Baru. Bunda menceritakan kejadian 21 Mei 1998, ketika saya berusia dua tahun, Bunda membawa saya dalam aksi pendudukan Gedung MPR/DPR. Kata Bunda, hari itu ribuan orang berjalan masuk ke MPR/DPR, mendesak dan merayakan mundurnya Soeharto.
Tidak ada yang saya ingat ketika ikut dan melihat peristiwa besar dalam sejarah Republik Indonesia. Bahkan ketika berulangkali melihat foto saya dalam gendongan Bunda, di tengah kerumunan masa di halaman depan Gedung MPR/DPR. Ingatan saya tetap gelap. Kata Bunda, kami berdua pergi bersama supir pribadi yang sudah kami anggap sebagai keluarga. Bagi saya, foto bersama Bunda dengan latar belakang Aksi 21 Mei 1998 memiliki makna kuat. Foto itu adalah bentuk harapan baru: bahwa saya, sebagai bagian generasi berikutnya, harus paham. Bahwa perubahan tidak datang dengan sendirinya—perubahan diperjuangkan bersama-sama.
Saya hanya mengetahui Peristiwa 1998 melalui buku, koran, berita, dan cerita keluarga. Mereka bilang, pada saat itu, orang-orang marah. Supermarket dekat tempat tinggal saya menjadi salah satu tempat yang dijarah. Bahkan, om saya mengaku ikut mengambil sabun dan rokok. Maklum, om saya memang senang yang gratisan.
Setiap mendengar kata “Reformasi”, saya merasa memiliki ikatan dengannya. Saya adalah anak kecil yang dibawa ke pusat kekuasaaan ketika rezim Orde Baru runtuh. Saat itu. saya bersama mereka, generasi yang melawan kekuasaan yang menindas.
Saya bertanya pada diri sendiri—apakah Reformasi yang diperjuangkan berhasil atau gagal?

Image via contributor.
Bulan Mei, berdarah.
Bulan Mei menjadi bulan yang selalu kita ingat sebagai bulan Reformasi. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar. Pada tahun 1998, berbagai pelanggaran HAM terjadi: penculikan, pembunuhan, pejuang HAM, dan kerusuhan masif di berbagai daerah. Kerusuhan Mei 1998 merupakan hilir dari kemuakan dan kemarahan rakyat terhadap rezim Orde Baru (Soeharto) yang telah berkuasa selama 32 tahun dan diperparah oleh krisis moneter 1997/98.
Kerusuhan 1998 merupakan krisis multidimensi, nilai tukar rupiah melemah, harga bahan pokok sulit untuk dijangkau, praktik KKN di lingkaran keluarga Soeharto, penembakan, penculikan dan penghilangan paksa aktivis. Semua hal itu berkembang menjadi tragedi kemanusiaan: penjarahan, pembakaran, kerusuhan hingga kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa. Laporan Komnas Perempuan menyebutkan bahwa perempuan dan anak menjadi korban utama dari kekerasan seksual saat kerusuhan terjadi.
Rangkaian peristiwa kelam tersebut, berujung pada meledaknya aksi massa di bulan Mei 1998. Gerakan Reformasi membawa enam tuntutan, yaitu supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri) dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Pada 21 Mei 1998, Soeharto menuai buah pahit yang telah ia tanam sejak lama. Sang tiran “tangan besi” mundur dari singgasana kekuasaan. Reformasi berhasil, mengganti rezim Orde Baru. Tapi tidak dengan elitenya.
Saya menyadari, mungkin reformasi layu sebelum mekar.
Hingga hari ini isu pelanggaran HAM masa berat belum dituntaskan. Tak ada komitmen penyelesaian yudisial terhadap terduga keras pelaku pelanggaran HAM berat. Ironisnya, terduga keras pelaku kini bersarang di Istana Negara. Symptoms Orde Baru kembali dirasakan. KKN, Dwifungsi ABRI kembali lahir, belum lagi menyempitnya ruang kebebasan sipil. Saat itulah, saya bertanya apakah Reformasi telah layu sebelum mekar?
Supremasi hukum, jauh panggang dari api.
Banyak peristiwa yang kian menyadarkan kita, bahwa hukum yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai keadilan, justru direduksi menjadi alat kekuasaan. Kasus Budi Pego dan Daniel Frits misalnya, mereka justru dikriminalisasi karena mempertahankan lingkungan hidup. Kasus Fathia Maulidiyanti dan Haris Azhar yang dibawa ke depan meja pesakitan karena mengkritik Lord LBP. Saat Lord LBP hadir sebagai saksi pelapor, Pengadilan seakan di bawah kekuasaan Lord. PN Jakarta Timur menunda semua sidang lain. Penjagaan super ketat dari pengaman Lord—seperti penjagaan ratu inggris.
Selain itu, keberulangan penangkapan sewenang-wenang di berbagai kota terhadap individu yang sedang menyuarakan pendapat. Mereka dipukul, diinjak, dihina, ditangkap, dan dihilangkan secara paksa dalam waktu singkat. Hukum digunakan sebagai alat melindungi kekuasaan dan alat untuk merepresi warga. Hukum tidak lagi menjadi alat untuk melindungi kemerdekaan. Hukum berubah bentuk, menjadi alat yang dapat merenggut kemerdekaan seseorang.
Bukan Reformasi, melainkan Autocratic Legalism.
Kini, wajah rezim otoriter itu berubah rupa: lebih santun, namun tetap buas di balik topengnya. Rezim menggunakan lembaga negara untuk melemahkan lembaga independen dan suara kritik rakyat. Mereka membajak berbagai lembaga negara direduksi menjadi alat kekuasaan. Melemahkan supremasi hukum dan memperkuat oligarki. Semua regulasi yang menindas rakyat, dilakukan dalam prosedur legal formal, namun bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Salah satu titik nadir demokrasi terjadi ketika Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 memberikan karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka (putra Jokowi) untuk maju sebagai wakil presiden dari Prabowo Subianto. Saat itu, Ketua Mahkamah Konstitusi adalah Anwar Usman, paman dari Gibran, sang putra mahkota. Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menyatakan Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Anwar Usman bisa lolos, namun putusannya terlanjur menancap dan merusak. Sekali lagi, konstitusi dibajak.
Demokrasi Substantif yang Belum Terwujud.
Reformasi seharusnya membuka jalan mewujudkan demokrasi substantif. Namun, kita justru terjebak pada demokrasi prosedural-sekedar pemilu lima tahunan yang dimanipulasi elite untuk mempertahankan kekuasaan. Rakyat diminta untuk memilih lima tahun sekali, namun kebijakan selalu berjarak dengan pada rakyat. Kesedihan menjadi panggung gratis untuk para politisi. Rakyat hanya diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam panggung kampanye, berjoget dan bernyanyi. Kamera menyorot kesedihan rakyat. Lalu kembali dilupakan dibalik bilik suara. Rakyat dibohongi dengan janji-janji perubahan. Namun, perubahan tidak pernah terwujud. Struktur kekuasaan dan ketimpangan tetap berlanjut dan semakin tajam.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, pembentukan undang-undang semestinya melibatkan partisipasi aktif masyarakat sebagai pemilik mandat. Namun, yang terjadi malah sebaliknya—saluran partisipasi masyarakat justru ditutup. Beberapa undang-undang dilakukan tanpa melibatkan partisipasi aktif dan bermakna dari masyarakat. Pembentukan UU TNI misalnya, dilakukan secara tergesa-gesa dan dilakukan secara tertutup di sebuah hotel. Dalam konteks pembentukan undang-undang, rakyat memiliki hak untuk didengar (right to be heard) dan hak untuk terlibat (right to be involved). Namun, yang terjadi sebaliknya—rakyat tak pernah dilibatkan untuk didengar dalam setiap pengambilan keputusan.
Jargon Reformasi kini menjadi racun.
Semangat Reformasi adalah menggantikan rezim otoriter dengan sistem demokrasi yang lebih inklusif dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun, yang terjadi sebaliknya. Narasi “Reformasi Berhasil” justru menjadi racun yang perlahan mematikan nalar kritis, dan mengaburkan mata rakyat dari realitas yang tidak adil dan menindas. Ia tak lebih dari jargon untuk mengamankan status-quo elite. Reformasi 1998 hanya bersifat simbolik, tidak ada perubahan struktural. Kini, Soeharto hidup kembali—bukan raganya, melainkan ide dan pikirannya dalam bentuk kekuasaan yang menindas, dan terus disuburkan oleh para kroninya. Wajah-wajah itu tak pernah hilang; wajah dan nama mereka muncul, di setiap hari Kamis, di seberang Istana Negara. Dwifungsi ABRI hidup kembali menempati ruang-ruang sipil, penghilangan paksa dan penangkapan terhadap demonstran, kriminalisasi suara-suara kritis rakyat yang berseberangan dengan kekuasaan. Sejak awal, Reformasi telah gagal untuk tumbuh. Ia layu sebelum sempat mekar.