Mengapa Sulit Menerima Bahwa Dunia Hancur karena Ulah Kita, Manusia?
Dalam submisi Open Column kali ini, Restu Aka menyorotkan kembali salah satu pelaku terbesar dalam kehancuran ekologi—kita sendiri.
Words by Whiteboard Journal
Kita tentu mudah berimajinasi tentang kehancuran dunia seperti kiamat di film-film fiksi ilmiah, gempa bumi yang meluluhlantakkan bangunan dan jalanan, meteor yang menembus atmosfer dan menghantam bumi, sampai gelombang pasang dahsyat yang meratakan apa-apa yang dilaluinya. Tapi, mengapa kita sulit sekali membayangkan bumi krisis oksigen (O2) dan kemudian tinggal dipenuhi emisi gas efek rumah kaca—terutama karbon dioksida (CO2), berkeliaran di sekeliling kita, sampai kematian sangat dekat di depan mata, bahkan dapat langsung kita rasakan lewat hidung.
Kesadaran akan kepunahan makhluk hidup karena faktor eksternal di luar bumi walaupun itu cerita fiksi sering kali membuat kita takut dan ngeri membayangkannya, seperti agresi dari alien menuju bumi, atau tabrakan dari planet tetangga yang tiba-tiba lepas dari garis edarnya. Tapi, mengapa kita sulit sekali membayangkan kepunahan beragam spesies di bumi karena salah satu makhluk hidup autotrof (yang memproses CO2 dan menghembuskan O2) dimusnahkan dengan kesadaran penuh oleh manusia dalam hitungan waktu singkat dan tak terkendali.
Mengapa kita sulit sekali menyadari jika manusia adalah binatang yang tidak mampu menghasilkan makanan sendiri dari bahan anorganik atau abiotik, dan sangat bergantung pada produsen autotrof tersebut yang kemudian menghasilkan oksigen yang akhirnya jadi bahan utama binatang hidup, termasuk manusia di dalamnya.
Mengapa kita sulit membayangkan binatang-binatang (selain manusia) yang sekarang masih eksis kemudian dalam waktu singkat menjadi punah karena habitat, sumber makanan, dan kelangsungan hidupnya bergantung pada tangan-tangan manusia. Bukan semua manusia tentunya, tapi ada sebagian manusia dan suatu sistem yang mengatur serta memegang tungku kekuasaan yang mampu mempengaruhi hajat hidup banyak manusia lain bahkan makhluk liyan.
Kebengisan ulah sebagian manusia ini lalu memunculkan kekhawatiran yang serius dari manusia-manusia lainnya. Pun juga, tampaknya kekhawatiran akan tempat hidup dan kelestarian lingkungan tidak tumbuh secara natural di dalam kepala manusia yang sekarang mendiami bumi, dan oleh karenanya isu lingkungan hidup selalu aktual.
Beberapa hari lalu, pak Presiden kita mengungkapkan bahwa penanaman kelapa sawit yang ugal-ugalan dengan menggunduli hutan bukan bagian dari deforestasi. “Namanya kelapa sawit, ya pohon,” kata pak Presiden tersebut. Memang betul kelapa sawit tentu saja pohon seperti halnya pohon berdaun hijau penghasil klorofi dan menyerap CO2. Tidak salah menyebut kelapa sawit adalah pohon, namun yang kemudian alpa disebutkan adalah penanaman kelapa sawit ini sudah masuk taraf ugal-ugalan, dan karena sifat rakus tersebut sehingga tidak mengindahkan kesadaran bahwa kemampuan penyerapan CO2 yang dilakukan pohon kelapa sawit jauh di bawah hutan atau lahan gambut yang lebih kaya keragaman hayati.
Tentu saja tidak semua kelapa sawit buruk, asal pohon ini ditanam dalam taraf yang normal, pada lahan-lahan yang memang bisa diperuntukkan menanam tumbuhan tersebut dan berkelanjutan, alih-alih saban waktu menggunduli hutan atau mengeringkan lahan gambut dan kemudian membakarnya. Padahal di sana sudah bermukim ribuan bahkan jutaan keragaman hayati yang hidup dan mendiami ekosistem tersebut. Bahkan cara membuka lahan yang biasanya dengan membakar pun menghasilkan jejak karbon yang luar biasa.
Mengatakan bumi akan hancur dan kemudian muncul banyak kegiatan yang menggunakan tagar seperti #saveearth misalnya, sebenarnya hanya salah satu cara manusia melawan ketakutannya sendiri. Sebetulnya, bumi tidak akan gimana-gimana sebagaimana planet-planet yang lain selama ini. Manusia adalah binatang yang, karena revolusi kognitif, menjadi punya bahasa dan mampu berbicara sehingga muncul narasi kerusakan bumi yang tak lain sebetulnya respon manusia mengkhawatirkan habitatnya sendiri. Jauh sebelum manusia ada, bumi juga telah mengalami kepunahan massal, yang kita kenal sekarang ada 5 kepunahan masal di bumi, kepunahan ke-5 terjadi 65 juta tahun lalu yang kemudian sering disebut kepunahan Dinosaurus. Banyak peneliti beranggapan sekarang sedang berlangsung kepunahan ke-6 yang disebut kepunahan Holosen (Antroposen), yang berlangsung sejak 10.000 tahun Sebelum Masehi.
Kepunahan tentu saja tidak langsung mak breg, sak nyukan, seperti yang dilakukan tokoh Thanos di film Marvel yang hanya menjentikan jari kemudian setengah umat manusia musnah. Memang hal tersebut memungkinkan terjadi kalau ada bencana alam luar biasa atau pandemi yang menggerogoti spesies seperti wabah Black Death yang pernah membunuh sekitar 50% penduduk Eropa pada abad-14. Tapi bukan kepunahan seperti itu yang bisa dibayangkan akibat kerusakan lingkungan: Kepunahan ini berjalan sangat lambat, kematian demi kematian spesies yang berlangsung beratus, beribu, bahkan berjuta juta tahun lamanya kemudian hanya menyisakan satu individu atau beberapa individu yang tidak bisa bereproduksi lagi, sampai terjadinya kepunahan.
Kemarin saya berselancar dari Pejaten Barat menuju Pasar Baru menumpang bus TransJakarta untuk menghadiri sebuah acara nonton bareng dan diskusi film dokumenter berjudul 17 Surat Cinta, salah satu hasil kerja Ekspedisi Indonesia Baru. Singkatnya, film itu menceritakan pembabatan hutan secara masif yang ada di kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Aceh Selatan dari tahun 2022, dan kemudian sekelompok orang yang kemudian menjadi tokoh di film tersebut melakukan pendalaman tentang pembabatan hutan tersebut yang berawal dari mengirim surat protes kepada pemangku kebijakan setempat dan hingga sampai surat ke-17 yang diantar langsung ke gedung Kementerian Sekretariat Negara.
Dari perjalanan saya yang sekitar 12 km dan menggunakan transportasi umum yang saat itu ada sekitar 15 orang di dalam bus, ternyata saya hitung, menggunakan kalkulator jejak karbon, masih menyisakan 0.08 kg CO2. Itu memang bukan residu yang banyak. Beberapa tanaman hias yang hidup di balkon rumah pun sudah mampu menghirup residu tersebut—tapi itu hanya residu satu orang yang hanya berpindah 12 km menggunakan transportasi umum. Bagaimana dengan berjuta-juta orang yang setiap hari lalu lalang di jalanan?
Jika salah satu organisme yang paling banyak menghirup jejak karbon kemudian dengan mudah kita matikan, tentu saja kiamat seharusnya—bukan hanya dapat kita bayangkan sebagai film fiksi ilmiah—sangat nyata akan terjadi di depan mata umat manusia. Padahal ini baru membicarakan satu sebab saja, yaitu pergantian keragaman hayati dengan tanaman monokultural, belum sebab-sebab residu karbon yang lain. Bahkan kita bernapas saja menghasilkan jejak karbon.
Tapi yang kemudian membuat miris adalah hal-hal yang dilakukan pemangku kebijakan di negara ini. Belum lama setelah pernyataan jelek Presiden soal pohon sawit, kemudian datang rencana ugal-ugalan berikutnya yaitu impor hewan sapi dari Brasil sejumlah 200.000 ekor untuk memenuhi ambisi program makan gratis yang kadung terlanjur dijanjikan. Jumlah yang sungguh fantastis. Mungkin pak Presiden lupa jika sapi juga penghasil jejak karbon yang tinggi. Bahkan, gas metana yang ada di perut sapi juga bagian daripada gas yang terperangkap ke atmosfer dan memantulkan panas kembali ke bumi. Kemudian belum lagi pengangkutan sapi-sapi dari Brasil ke Indonesia juga membuang berton-ton jejak karbon. Sedangkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2021 pernah mengungkapkan bahwa Indonesia berambisi menjadi negara carbon-neutral pada tahun 2060 alias suatu keadaan di mana pelepasan emisi karbon sama dengan karbon yang diserap makhluk hidup autotrof, sehingga menjadi nol jejak karbon. Kementerian yang sama beberapa waktu lalu mengeluarkan pernyataan akan membabat lagi 20 juta hektar hutan di negara ini. Sungguh sebuah kegiatan yang sangat kontradiktif.
Pada tahun 1982, Iwan Fals merilis album Opini yang memuat lagu berjudul “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi.” Sebagian liriknya persis seperti apa yang saya dapat dari guru sekolah dasar atas sebuah pertanyaan di buku Lembar Kerja Siswa (LKS): “Apa penyebab bencana banjir?” Pasti anak-anak SD dengan fasih menjawab penggundulan hutan.
Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering-kerontang banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia
Di reff dari lagu tersebut dilanjutkan dengan:
Lestarikan hutan hanya celoteh belaka
Lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu saja?
O-ho-o-o jelas kami kecewa
Mendengar gergaji tak pernah berhenti
Demi kantong pribadi
Tak ingat rezeki generasi nanti
Bahkan lirik tersebut ditulis pada dekade 1980-an, dan Iwan Fals sudah mempertanyakan “Lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu saja?”
Pada sesi akhir diskusi menonton film dokumenter tersebut yang kebetulan berlangsung di toko buku, Farid Gaban, salah satu pelaku Ekspedisi Indonesia Baru yang juga menjadi narasumber, memberikan rekomendasi bacaan buku. Salah satunya Small is Beautiful yang diterbitkan tahun 1973 dan ditulis oleh Ernst Friedrich Schumacher. Bisa dikatakan merupakan buku kajian atas ekonomi modern yang ugal-ugalan, pendekatan yang diungkapkan Schumacher adalah ekonomi dan pembangunan berbasis kesejahteraan manusia dan lingkungan lestari yang berkelanjutan.
Mungkin orang Indonesia sudah kenyang dengan glorifikasi negara besar, populasi terbanyak ke-4 di dunia, negara kepulauan terbesar di dunia, negara dengan hutan tropis terbesar ke-2 di dunia, dan segala macam glorifikasi kebesaran-kebesaran yang tidak beresensi apa-apa, sehingga tidak pernah beracuan dari yang kecil-kecil. Kita sebaiknya kembali pada hal-hal kecil seperti yang dikemukakan Schumacher: ekonomi skala kecil berkelanjutan, penggunaan teknologi yang baik dan tepat guna, serta selaras dengan kelestarian alam. Kita sebaiknya kembali pada ketahanan pangan yang dimulai dari desa. Kita sudah punya contoh Kasepuhan Ciptagelar bisa swasembada pangan bahkan sampai berpuluh-puluh tahun kemudian, bukannya membabat hutan untuk kemudian ditanami varietas yang tidak pada tempatnya. Kita sebaiknya kembali pada akar kita yang sudah dicontohkan masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan kelestarian alam. Sebab, kecil itu indah, dan kerusakan alam itu besar.
Kita sekarang tahu binatang paling buas dan rakus bukanlah dari genus Panthera atau genus Crocodylus dan sejenisnya. Binatang paling buas dan rakus sebumi raya datang dari genus Homo—lebih spesifiknya, spesies bernama Homo sapiens alias manusia, dan itu adalah kita-kita sendiri yang membaca artikel ini.