
Sarjana Hukum dan Kegagalan Fakultasnya
Dalam submisi Open Column ini, Aldhi Franciscus, dalam perjalanannya menempuh gelar pascasarjana di Fakultas Hukum, menyingkap ketidaksinambungan antara hukum di lapangan dan Hukum di ruang pendidikan.
Words by Whiteboard Journal
Hampir setiap hari, media dipenuhi dengan berita korupsi, ketidakadilan, serta ketidakpastian hukum yang meresahkan. Kasus-kasus seperti vonis ringan bagi pelaku korupsi dan diabaikannya hak-hak kelompok marjinal menjadi sebagian kecil bukti bahwa hukum belum menjadi alat penegak keadilan. Institusi pendidikan tinggi hukum seolah gagal dalam membentuk karakter sarjana yang berani menolak manipulasi, korupsi, atau penyalahgunaan wewenang. Kegagalan semacam ini tentu sangat memalukan, mengingat hukum merupakan salah satu fondasi peradaban suatu bangsa.
Berkaca dari situ, muncul pertanyaan bertubi-tubi—di mana peran sarjana hukum sebagai penegak keadilan? Jika hukum adalah cermin peradaban, mengapa banyak lulusan Fakultas Hukum justru menjadi bagian dari masalah yang ada, bukan menjadi solusi? Bagaimana mungkin Fakultas Hukum yang seharusnya menjadi pencetak “ratu adil”, justru melahirkan pelaku ketidakadilan itu sendiri? Apakah fakultas terlalu sibuk membangun reputasi akademik hingga lupa membina karakter mahasiswa? Atau memang sejak awal sistem pendidikan hukum kita telah salah arah?
Tujuan Hukum
Sudah sejak dulu, ahli-ahli hukum, dari bermacam-macam aliran, membahas mengenai tujuan hukum. Jeremy Bentham misalnya, Ia meletakkan tujuan hukum untuk memberikan kebahagiaan kepada individu-individu, lalu kepada orang banyak. Dalam kata lain, tujuan hukum menurut Bentham (2012) terletak pada prinsip the greatest happiness of the greatest number. Sementara itu, salah satu begawan hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo (2010) berpendapat bahwa hendaknya hukum yang diselenggarakan oleh Negara, seharusnya dapat memberikan kebahagiaan bagi rakyatnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai penyelenggaraan hukum yang progresif.
Selain itu, Roscoe Pound (1921) dikenal dengan konsepsi law as a tool of social engineering miliknya, dimana hukum dapat digunakan sebagai alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat. Belum lagi pendapat Gustav Radbruch (dari Atamadja, 2013), salah satu pendapat yang paling sering digunakan dalam pembahasan mengenai tujuan hukum di Fakultas Hukum di Indonesia. Menurut Radbruch, hukum memiliki 3 tujuan mendasar, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Di Fakultas Hukum, macam-macam tujuan hukum seperti di atas sebenarnya sudah diajarkan. Permasalahannya, banyak sarjana hukum justru terjebak dalam sistem yang mengaburkan nilai-nilai tersebut. Fakultas Hukum kerap mengajarkan teori-teori ideal tentang keadilan, tetapi terlihat gagal membekali mahasiswa dengan keberanian moral untuk melawan sistem yang korup. Kurikulum pendidikan hukum di Indonesia masih didominasi hafalan pasal dan analisis kasus normatif. Kurangnya pendalaman etika, filsafat hukum, atau refleksi kritis tentang ketimpangan struktural mengakibatkan lulusan lebih fasih dalam mengutip KUHP daripada mempertanyakan apakah hukum yang mereka tegakkan benar-benar adil.
Hilangnya Roh Keadilan
Fakultas Hukum di Indonesia semakin terjebak dalam pragmatisme pasar. Banyak perguruan tinggi membuka konsentrasi hukum bisnis, hukum properti, atau hukum keuangan. Kurikulum seolah-olah didesain untuk memenuhi permintaan industri, bukan menjawab masalah keadilan sosial. Contohnya adalah banyaknya kerja sama Fakultas Hukum dengan firma hukum besar atau korporasi untuk menyelenggarakan seminar atau magang. Imbasnya, mahasiswa lebih sering belajar tentang merger-akuisisi daripada strategi advokasi bagi buruh yang di-PHK, atau lebih akrab dengan kontrak investasi daripada mekanisme pemulihan hak korban pelanggaran HAM. Tidak heran jika lulusannya cenderung memilih karir di firma bergaji tinggi daripada menjadi pengacara publik yang membela kelompok tertindas.
Fakultas Hukum kerap mengklaim telah mengajarkan etika melalui mata kuliah seperti Etika Profesi Hukum. Namun, pengajarannya cenderung normatif dan abstrak. Padahal, tantangan terbesar penegak hukum di Indonesia bukanlah ketidaktahuan atas aturan, tetapi tekanan untuk melanggarnya: bagaimana menolak suap saat menjadi hakim, menghadapi ancaman saat membela kasus korupsi, atau melawan kebijakan kampus yang mengekang kebebasan akademik.
Masalah ini diperparah oleh budaya feodalistik di lingkungan akademik. Beberapa dosen masih menuntut mahasiswa untuk patuh, bukan berpikir kritis. Masih adanya pembungkaman terhadap mahasiswa yang mengkritik kebijakan kampus atau mengadvokasi isu sensitif masih sering terjadi. Jika sejak kuliah mahasiswa tidak dilatih untuk berani bersikap etis, bagaimana mungkin mereka akan memiliki integritas saat terjun ke dunia profesi?
Membangun Ulang Fakultas Hukum
Sarjana Hukum hari ini tidak hanya dituntut menguasai hukum secara formal, tetapi juga dituntut memiliki etos keadilan—yakni kesadaran dan komitmen untuk berpihak pada kebenaran, meski itu berarti melawan arus. Namun etos ini nyaris tak terlihat dalam praktik hukum sehari-hari. Banyak Sarjana Hukum yang mudah berkompromi dengan kekuasaan, tunduk pada kekuatan uang, dan mengabaikan mereka yang paling lemah.
Kegagalan Fakultas Hukum bukan terjadi dalam satu malam. Ini merupakan akumulasi dari sistem pendidikan yang terlalu lama menjadikan hukum sebagai teks, bukan sebagai praksis. Sudah saatnya fakultas hukum melakukan introspeksi mendalam dan merekonstruksi ulang kurikulum serta pendekatan pedagogis yang selama ini digunakan. Pendidikan Hukum harus bersentuhan langsung dengan realitas sosial, bukan sekadar simulasi di ruang kelas. Klinik hukum harus diwajibkan, dan mahasiswa harus benar-benar terjun ke lapangan untuk menyaksikan dan menangani langsung permasalahan hukum masyarakat akar rumput.
Fakultas Hukum perlu menempatkan pendidikan etik, integritas, dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai fondasi utama. Seorang Mahasiswa Hukum seharusnya tidak hanya ditanya tentang isi pasal, tetapi juga tentang bagaimana hukum itu seharusnya ditegakkan seadil-adilnya. Bahkan lebih dari itu, dosen dan tenaga pendidik juga harus menjadi teladan moral yang konsisten, bukan hanya pengajar teori. Fakultas Hukum tidak boleh lagi menjadi menara gading yang hanya menghasilkan ahli hukum dalam pengertian sempit. Ia harus menjadi pusat pembentukan karakter, pemikiran kritis, dan representasi keadilan. Jika hukum hanya digunakan sebagai alat untuk memanipulasi masyarakat kecil oleh para sarjana Hukum, maka masa depan Fakultas Hukum sangat perlu dipertanyakan.