
Siasat Menghadapi Mimpi Buruk, Takeaway dari Album Baru The Jansen
Dalam submisi Open Column ini, Dea Anugrah memberi terang pada trauma yang masih membekas secara kolektif di berbagai lapisan masyarakat menggunakan cahaya yang ia dapat dari rilisan terbaru The Jansen, “Racun Suara.”
Words by Whiteboard Journal
Di ujung kampung, di atas hamparan rumput dekat kelekak, saya berlari sekuat tenaga. Saya menginjak butir-butir kerikil, gelas-gelas plastik, potongan-potongan ranting, dan duri-duri putri malu yang bertaburan. Sepasang sandal jepit saya yang longgar sudah lama tertinggal. Telapak kaki perih, penuh luka sayat. Betis dan paha nyeri. Paru-paru terus mengirimkan sinyal ke otak, semacam pesan darurat yang putus asa agar tak disalahkan jika sewaktu-waktu ia meledak.
Saya menikung tajam ke pelukan hutan kecil itu. Licin. Permukaan tanahnya lembab, bertabur daun-daun busuk. Saya tergelincir dan jatuh berdebam seperti seekor babi hutan. Siku kanan saya mendarat di pangkal batang cempedak. Ngilu mulai menjalar, disusul kebas. Tapi tak ada waktu untuk mencatat cedera. Saya bangkit semampunya. Gumpalan tanah yang melesak di sela-sela jemari kaki terasa sedingin bangkai. Saya menghambur ke sebuah parit alami seukuran tubuh anak-anak yang ditutupi rimbun semak. Saya tengkurap dan pelan-pelan menyatukan badan dengan belukar.
Tak lama, sekelompok tentara tiba. Seseorang meneriakkan perintah untuk memeriksa perimeter. Mereka menusuk-nusukkan bayonet ke semak belukar. Bukan di tempat saya bersembunyi, tetapi dekat, semakin dekat. Saya mencoba bernafas tanpa suara. Seisi mulut dan kerongkongan kering, tetapi saya tak berani menelan ludah. Saya memohon kepada jantung supaya ia berdetak lebih senyap, sepelan-pelannya.
Ketika celaka hanya tinggal selangkah, saya tersentak bangun. Sekujur badan lemas dan kesadaran masih berserak, tetapi omelan ibu yang menyerbu rongga kuping membuat saya lega. Pagi sudah kembali dan ancaman bersenjata tak ada lagi.
Saya tak mengerti kenapa mimpi buruk itu datang berulang-ulang sejak saya kecil dan tak pernah bisa diusir dengan doa-doa. Bapak saya karyawan perusahaan air minum biasa dan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Sampai saat itu, rasa-rasanya keluarga kami tidak punya riwayat melawan, juga tidak punya dendam akibat penindasan secara langsung.
Kalau menguping pembicaraan orang-orang dewasa di sekitar, kadang saya menangkap istilah-istilah politik seperti Reformasi dan Orde Baru dan sebagainya, namun saya sama sekali tidak mengerti. Pada waktu itu, saya bahkan mengira Golongan Karya hanya perkumpulan tukang cat yang kekurangan bakat dan pekerjaan gara-gara ada sebongkah batu besar yang digambari logo Golkar di Muntok, kota kecil tempat kami bermukim.
Mendekati akhir usia belasan, di perantauan, barulah saya membaca sejarah Indonesia modern serta mengonsumsi berbagai tontonan dan musik dari luar arus utama. Karya-karya itu banyak bicara mengenai hal-hal yang tak terkatakan di rumah dan sekolah. Dan berkat semua itu, saya akhirnya tahu bahwa angkatan bersenjata telah merusak banyak hal yang jauh lebih gawat ketimbang sekadar kenikmatan tidur saya.
Trauma terhadap tentara rupanya menyergap kita di sela-sela acara televisi favorit, merembes dari gema obrolan, mengakar lewat propaganda negara di pelajaran-pelajaran sekolah, dan seterusnya.
Pada 1966, seorang jurnalis Jerman bernama Charlotte Beradt menerbitkan buku berisi kumpulan mimpi yang dialami oleh orang-orang di sekitarnya, orang-orang biasa, semasa kekuasaan Hitler. Mudah diduga, mimpi-mimpi itu buruk, aneh, dan dipenuhi jejak teror kekuasaan. Salah satunya, ada seorang perempuan memimpikan pembersih cerobong berkata kepadanya: “Kesalahanmu tak bisa disangkal.” Pembersih cerobong adalah kode dalam keluarganya untuk menyebut Schutzstaffel, ormas paramiliter Nazi, karena pakaian mereka yang serba hitam.
Diari kolektif itu berjudul “Das Dritte Reich des Traums” atau “The Third Reich of Dreams.” Meskipun traum (mimpi) dan trauma tak memiliki hubungan etimologis apa pun, kemiripan kedua kata itu menjadi semacam kebetulan puitis yang luar biasa mengingat bagaimana trauma kerap kali berkerak dalam mimpi-mimpi manusia.
Namun, ada yang tak kalah penting daripada melacak trauma, yaitu menyadari bahwa ia dapat dibentuk kembali, dari segumpal abstraksi menjadi masalah konkret yang mesti kita bicarakan dan hadapi bersama-sama.
Begini potongan lirik lagu “Mars Penyembah Berhala” dari album Balada Joni dan Susi karya Melancholic Bitch (kini Majelis Lidah Berduri) yang rilis pada 2009: “Setiap tempat berpagar bisa berubah jadi negara/melamun terbaik adalah lamun yang kedap tentara/Tidur adalah berbaring tenang dan memejam mata/membakar pasar dengan apa saja, pikiran pun bisa.”
Dua baris pertamanya adalah double entendre: Pertama, mereka menyatakan bahwa tidak ada tempat yang tak bisa dijangkau oleh negara, bahkan lingkaran pertemanan/perjuangan terkecil kita. Awas cepu! Simpan renunganmu rapat-rapat. Kedua, lingkungan yang kita anggap aman bisa saja menjadi struktur hierarkis baru yang represif, seperti negara.
Dua baris selanjutnya bilang: tetapi bukan berarti perlawanan harus berhenti. Setidaknya kita masih bisa melawan. Kita tetap bisa membakar pasar, yang tentu saja dijaga oleh aparat, di dalam mimpi. Astaga, revolusi dari kasur? Lagi?
Ugoran Prasad, penulis lirik dan penyanyi dalam grup tersebut, lahir pada 1978. Usianya 20 tahun, sudah hampir dewasa, ketika rezim militeristik Orde Baru mengungsi ke dalam got. Saya kira, kritik ganda terhadap negara sekaligus aktivisme dengan sinisme yang meluap-luap itu sangat wajar diutarakan oleh orang dari generasinya, generasi quixotic yang merasa keren dalam pikiran mereka sendiri, tetapi tragis di mata orang lain.
Adapun imagery “membakar pasar” yang spesifik itu mungkin bukan semata-mata berangkat dari kritik terhadap perzinahan kuasa dan modal dalam teori-teori politik, melainkan juga dipengaruhi oleh suasana zaman di sekitar penciptaannya. Pada Mei 2009, beberapa bulan sebelum album Balada Joni dan Susi dirilis, demonstrasi anti-ekonomi pasar bebas menghantam pemerintahan SBY-Boediono dengan meriah.
16 tahun berselang, 2025, muncul lagi sebuah lagu berbahasa Indonesia yang membicarakan tidur dan tentara: “Racun Suara” dari The Jansen. Band ini jelas bagian dari generasi hari ini, generasi yang membawa keputusasaan sebagai tanda lahir. Mereka diasuh oleh para kakak online, generasi kami, yang histeris dan hipokrit. Mereka tumbuh menjadi orang-orang dewasa yang gugup, rentan bunuh diri, namun mampu membangun keberanian dan daya tahan dengan cara mereka sendiri.
Jika Melancholic Bitch mengaduk tidur dan tentara dalam aforisme politik ala abang-abangan di bagian verse, The Jansen memilih untuk menempatkannya pada refrain, sembari mempertontonkan kerapuhan manusiawi secara terang-terangan: “Yang kutakutkan saat terlelap/Mengawasi nafasmu, gerak-gerik jarimu/Yang kuharapkan suatu pagi/Akan ada hari tanpa trauma dari tentara.”
Bagi The Jansen dalam lagu ini, tentara bukan sekadar agen kematian yang membidik dari luar lamunan, melainkan teror yang selalu berkisar di antara kita dan menyebabkan trauma turun-temurun. Tidur dihantui ketakutan, dibayang-bayangi kehendak untuk terus berjaga. Boro-boro ngimpi membakar pasar, sekadar untuk “berbaring tenang dan memejam mata” saja tak bisa. Demikianlah sekarang, masa ketika Orde Baru telah bangkit kembali lewat gorong-gorong politik kehumasan dan kita tetap tidak siap untuk menghadapinya.
Namun, yang menarik, pengakuan atas rasa takut, ungkapan sayang dan cemas terhadap orang terkasih, serta harapan sederhana yang diutarakan The Jansen di refrain tadi justru terasa seperti sumber keberanian untuk menyuarakan bait-bait lainnya. Bahan bakar mereka untuk berkonfrontasi dengan trauma bukanlah heroisme, melainkan cinta yang takut dan lelah.
“Sebelum pagi menjelang/Ada malam yang kelam/Kan ku kalahkan cahayamu dengan cahayaku.”
Ketukan drum serupa derap marching. Vokal monoton. Gitar membangun tensi dan atmosfer penuh kewaspadaan. Bait pembuka verse pertama itu langsung menempatkan kita di gelanggang hegemoni. EXT. STAGE. MALAM YANG KELAM. THE JANSEN VS MILITERISME.
Kedua belah pihak menjanjikan cahaya, menawarkan dua macam harapan berbeda untuk dipilih oleh orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu. Cahaya lampu-lampu panggung beradu terang dengan cahaya letupan senjata api. Harapan berupa pembebasan bertumbuk dengan harapan berupa pengekangan.
Potongan lirik itu, saya kira, berpijak di atas observasi yang akurat terhadap masyarakat kita. Benturan moral yang terjadi dalam politik kita hari ini bukanlah antara baik melawan buruk, melainkan baik versi manusia beradab melawan baik versi fasis. Kalau ditanya, kebanyakan orang yang mendukung fantasi macan-macanan Asia barang tentu akan menjelaskan pilihan mereka sebagai cara untuk “menjelang pagi,” bukan memperpanjang malam, dan sepenuhnya meyakini kebenaran ide tersebut. Maka mereka perlu diyakinkan, bukan dimusuhi.
“Warnai duniaku/dengan suara-suaramu/Menjadi racun berbahaya tuk ubah segalanya.”
Pada bait berikutnya, The Jansen menyatakan bahwa mereka perlu racun untuk memenangkan pertarungan. Racun adalah senjata pihak yang lemah. Racun adalah pembalik keadaan dalam sebuah pertarungan yang berat sebelah, dan metode terbaik untuk meracuni adalah repetisi. Sedikit demi sedikit, berkali-kali, sampai tujuan tercapai
Ide ini terlihat jelas pada struktur “Racun Suara.” Setiap verse diulang dua kali, refrain sampai empat kali, dan slogan di akhir lagu diulang-ulang tanpa perlu dihitung lagi seperti rapalan mantra dalam keadaan trance. Lagu ini tak menyediakan ruang buat melepas tensi. Ketegangan sonik menumpuk dan berputar-putar dalam sebuah loop, menghipnotis, menjadi sebuah limbo.
Dalam konteks adu hegemoni, sebenarnya racun ini ditujukan kepada kesadaran kita, publik, agar bergabung dengan sisi yang dibela oleh The Jansen. Mereka sedang membujuk kita untuk memberikan dukungan kepada kebebasan dan supremasi sipil, sebuah proyek sedih yang hampir mustahil namun senantiasa layak untuk diperjuangkan.
Bagaimanapun, sekali lagi, ini pertempuran yang tak seimbang. Lawan begitu kuat dan ada di mana-mana—“dari desa ke kota” (ingat babinsa, koramil, korem, kodim, kodam)—dan dapat memproduksi kekerasan sesuka hati berkat senjata dan impunitas yang dianugerahkan oleh negara.
Ke-hampir-mustahil-an agenda ini diakui sendiri oleh The Jansen dalam bait kedua verse kedua: “Beri aku waktu/bertahan selama mungkin/Apa yang harus kulakukan tuk melupakanmu?” Di sini mereka terdengar nyaris putus asa, memohon “diberi waktu” untuk bertahan, dan bertanya-tanya apakah ada cara untuk melupakan segala teror dan ketakutan yang melanda kita selain bertarung.
Apakah racun ini efektif? Sepertinya, iya, dalam batas-batas yang dimungkinkan untuk sebuah lagu atau karya seni lainnya sebagai propaganda. Keputusan naratif The Jansen untuk bolak-balik antara menantang lawan, mengakui kelemahan, menunjukkan sisi rapuh yang beresonansi dengan orang kebanyakan, dan merapalkan pesan lugas yang sedikit ganjil (perhatikan mereka memakai kata “represif” dan “berekspresif” alih-alih “represi” dan “berekspresi” yang lebih wajar dan terdengar “terbuka”) bisa menjadi racun untuk memikat semakin banyak orang ke sisi kita, untuk sama-sama bertahan sedikit lebih lama, sampai pagi tiba.