
Sugarcoating Sejarah Is Not the Way to Go, Capt!
Dalam submisi Open Column ini, Fatia Maulidiyanti menyingkap bagaimana aspirasi, inspirasi, dan psikis rakyat semakin diberangus jika sejarah ditulis ulang secara sepihak.
Words by Whiteboard Journal
Di tengah ruang informasi yang terbatas dan kekuatan literasi yang lemah, pemerintah, menggagas wacana penulisan ulang Sejarah Indonesia. Secara umum kondisi hari ini kita lihat bahwa di buku-buku bahan ajar sekolah, Sejarah hanyalah sebatas kronik-kronik terbentuknya suatu peradaban, namun tidak memberikan esensi dari Sejarah sebagai inspirasi dan perubahan sosial bagaimana terbentuknya Masyarakat hari ini.
Pelajaran Sejarah menjadi salah satu mata pelajaran yang paling membosankan. Kita dituntut untuk menghafal banyak angka peringatan peristiwa di masa-masa kerajaan dan peradaban Indonesia atau Nusantara, nama-nama tokoh dan juga era kolonialisme Jepang dan Belanda—sejarah dari perspektif negara. Namun, yang tidak pernah diajarkan kepada kita adalah sejarah versi masyarakat, bagaimana derita penindasan terjadi di era imperialisme dan kolonialisme yang nyatanya tidak selesai ketika Belanda dan Jepang menarik diri dari Indonesia. Ada beberapa momentum sejarah yang sesungguhnya penting dan lekat dengan perjuangan masyarakat dalam memperoleh kemerdekaan dan keadilan. Salah satunya sejarah pelanggaran HAM berat masa lalu dan titik perjuangan menuju Reformasi.
Sejarah merupakan bagian dari hak atas kebenaran. Seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger pernah berkata bahwa asal muasal dan inti dari makna kebenaran adalah ‘pengungkapan’, atau membuka apa yang tersembunyi. Karena terkadang tidak semua yang benar terlihat terang benderang, maka banyak orang pergi untuk mencari kebenaran. Tanpa mengetahui kebenaran, kekerasan akan terus berulang. Kebenaran berguna untuk memahami dampak kekerasan di hidup kita saat ini, berguna untuk mengurai dan mencegah kekerasan di masa mendatang. Dan menjadi sebuah hak pula bagi warga negara untuk mengingat, menolak lupa dan mempelajari sejarah serta kebenaran (Pamflet, 2016).
Dalam konteks pelanggaran HAM berat, terdapat kewajiban negara untuk pemenuhan hak korban, salah satunya yakni terkait dengan pengungkapan kebenaran. Pengungkapan kebenaran ini memiliki salah satu cara yakni ialah pelurusan sejarah. “Sejarah resmi” yang selama ini berlaku di pendidikan formal tentu menjadi salah satu propaganda politik yang diciptakan untuk memanipulasi sejarah dan mendorong dukungan dari masyarakat luas sebagai identitas nasional (Santikarma, 2012).
Menurut sejarawan JJ Rizal, sejarah ialah ruang aspirasi dan inspirasi. Aspirasi karena sejarah menjadi ruang memori identitas bangsa. Sayangnya, akses untuk mempelajari sejarah alternatif tidak dibiasakan dalam sistem pendidikan kita.
Padahal, dengan mengetahui sejarah, maka apa aspirasi kita dulu sebagai masyarakat ketika membentuk bangsa dan nilai-nilai utama terbaik serta dicita-citakan harus terus diingat, disuarakan dan diperjuangkan agar terwujud dan terus berlanjut. Sejarah juga merupakan ruang inspirasi, karena masa lalu adalah kawasan yang kaya akan bahan pelajaran tentang pencapaian sekaligus kegagalan yang berguna untuk menyusun dan membentuk strategi budaya baru di masa depan sebagai perkembangan peradaban.
Jika dilihat dari sudut pandang pesimis, kita perlu khawatir. Dengan sejarah yang dituliskan oleh pemerintah yang tidak transparan, generasi terkini bisa saja disetir untuk jadi kendaraan politik pihak-pihak yang sebenarnya turut berada di kereta yang sama dengan pembunuh Munir dalam jalan menuju angkara murka. Tapi di sisi yang lain, ada harapan pada generasi kita yang juga jauh lebih melek literasi dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.
Generasi ini punya cara-cara sendiri untuk mengangkat kesadaran akan isu-isu sosial melalui medium yang tak terpikirkan sebelumnya. Kini, kita bisa melihat isu-isu sosial hadir di meme, video TikTok, juga di medium-medium populer seperti lagu, hingga podcast. Jika memang platform media sosial tersebut dipergunakan untuk kepentingan publik yang benar dan menyuarakan kebenaran serta akses informasi yang akurat, namun lagi-lagi terkadang apa yang kita sampaikan sebagai aspirasi dan inspirasi publik yang dianggap bertentangan dengan pemerintah kerap kali diberangus oleh negara yang pada akhirnya menciptakan disinformasi.
Masyarakat secara umum pada akhirnya memiliki memoria passionis merasa bahwa ketakutan massal tentang apa yang terjadi di era Orba, itu sudah tidak lagi terjadi hari ini, namun secara tidak sadar masih banyak pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh negara secara legal.
Dampaknya, masyarakat akhirnya merasakan political fatigue untuk berkontribusi pada agenda perbaikan negara karena takut berulangnya kekerasan sehingga memaksa mereka untuk menjadi amnesia akan hak mereka sendiri, akan sejarah impunitas yang masih menjadi utang negara.
Jika negara gagal merespons perkembangan historiografi dan menolak bahkan menganggap sejarah di luar narasi negara adalah sesat, maka sesungguhnya negara sedang memproses anak bangsa menjadi virus jahat yang akan merusak Indonesia. Tidak heran jika salah satu contoh yaitu Peristiwa 1965 yang kerap dikaitkan dengan isu kebangkitan komunisme, selalu berulang dan terus berulang. Sejalan produksi informasi dari sumber yang “itu-itu saja,” kelompok tersebut yang mendominasi wacana informasi dan preferensi pilihan politik anak muda. Di sini, kepentingan penguasaan informasi menemukan relevansi. Kelompok anak muda jadi arena pertarungan wacana dan informasi. Pada tingkat tertentu, orang muda pun menjadi lapangan pertarungan bagi kelompok politik papan atas. Maka, kelompok anak muda mengambil dua posisi sekaligus: Subjek dan objek politik.
Maka dari itu, dari sisi negara seharusnya menyediakan ruang seluas-luasnya, bukan untuk menuliskan Sejarah yang malah akan memperluas ruang manipulasi, namun membuka ruang pengungkapan kebenaran sebagai bentuk transparansi dan juga membentuk generasi bangsa yang lebih mapan dengan asal usulnya.
Di sisi lain, orang muda sebagai subjek dan objek politik perlu cermat dalam menerima dan berpikir kritis terhadap informasi, termasuk ilmu pengetahuan. Karena kebebasan kita yang hari ini ada dan kita nikmati—walaupun masih seadanya bisa terjadi karena perjuangan bangsa di masa lalu yang masih belum mendapatkan keadilannya bahkan di dalam rekaman memori sejarah bangsa itu sendiri.