Seleksi Karya: Europe on Screen 2016

02.05.16

Seleksi Karya: Europe on Screen 2016

8 Film Pilihan

by Ken Jenie

 

A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence (2014)
Sutradara: Roy Andersson

1 May 2016, jam 14:30 di GoetheHaus
7 May 2016, jam 14:00 di IFI Thamrin

Warna pucat mendominasi film ini, seperti sebuah kehidupan yang berisi orang-orang dingin dan kaku. Roy Andersson sebagai sutradara menggambarkan absurditas yang ada dalam cerita ke dalam visual yang agak humoris dimana tiap subjek dalam film beraktivitas seperti robot nir-ekspresi. Alur cerita yang dimulai dengan ceria melalui komposisi gambar mencolok, diakhiri dengan konklusi yang absurd untuk menyampaikan pesan eksistensial yang digarap penulis naskah. Akhiran yang tragis muncul dengan kadar ngeri yang sama meski tanpa kemunculan adegan ekplisit.

After The Tone (2014)
Sutradara: Digna Sinke

2 May 2016, jam 18:30 di IFI Thamrin
4 May 2016, jam 14:30 di Erasmus Huis

After The Tone adalah salah satu film yang akan mencuri perhatian penonton dalam beberapa menit pemutaran dengan eksekusi ceritanya yang brilian. Klimaks yang dibangun secara bertahap membuat film ini berhasil menjadi hal yang mungkin bisa terjadi dalam kehidupan nyata. Menggunakan setting keseharian yang disampaikan tanpa basa-basi, Sinke mengambil sudut pengambilan gambar dari sudut yang secara spesifik digunakan menggambarkan tensi cerita. Kemunculan social media dalam film ini menjadi hal yang menarik untuk ditelisik dimana tokoh utama dalam film menghilang secara tiba-tiba dan tak pernah membalas pesan yang dikirim ke teleponnya setelah berencana mengajak pacarnya untuk menonton konser. Sebuah kejadian yang mengajak penonton untuk ikut tenggelam dalam pertanyaan, “Kemanakah tokoh tersebut pergi?”

Banana Pancakes and the Children of Sticky Rice (2015)
Sutradara: Daan Veldhuizen

1 May 2016, jam 19:30 di Erasmus Huis
7 May 2016, jam 14:30 di Erasmus Huis

Cerita perjalanan seorang backpacker mungkin akan memiliki sisi menarik jika dibandingkan dengan mereka yang bepergian dengan kemewahan ke manapun mereka. Banana Pancakes and the Children of Sticky Rice menjadi sebuah dokumenter yang menawarkan pemandangan yang jarang ditunjukkan atau ditemukan oleh pelancong saat berkunjung ke Laos. Mengangkat detail desa Noi Mung yang jauh dari modernitas, film ini banyak menampilkan spot cantik, membuat penonton ingin meninggalkan priviledge untuk melihat langsung perairan lepas yang dikelilingi rimbunnya hutan, walau perjalanan yang ditempuh menguras waktu dan tenaga.

Bikes vs Cars (2015)
Sutradara: Fredrik Gertten

1 May 2016, jam 12:00 di Erasmus Huis
8 May 2016, jam 12:00 di IFI Thamrin

Persimpangan antara kendaraan menggunakan tenaga mesin dan tenaga manusia sudah menjadi isu yang cukup menarik sejak dulu. Mobil dan sepeda tepatnya, sering diperdebatkan dalam posisi mereka sebagai tulang punggung transportasi sekaligus keberlangsungan sebuah kota. Optimalisasi moda transportasi guna melestarikan keindahan alam dan meminimalisir polusi kota menjadi alasan utama yang membuat pengendara sepeda dan mobil memiliki sebab akibat yang patut ditelisik. Film dokumenter asal Swedia ini membahas isu tersebut dengan analisis mendalam serta mengaitkan bisnis yang digerakkan dengan aktifnya penggunaan bahan bakar oleh ribuan mobil. Walau bahasannya tak mengupas habis salah satu permasalahan klasik ini, Gertten mampu membuka mata penonton melalui skema yang ia tangkap dalam roda bisnis dan kewajaran yang membuat mobil dan pengendaranya dianggap raja di jalanan.

Flowers (2014)
Sutradara: Jon Garaño, Jose Mari Goenaga

2 May 2016, jam 17:00 di Erasmus Huis
4 May 2016, jam 17:00 di GoetheHaus
6 May 2016, jam 14:00 di IFI Thamrin

Menceritakan detail mengenai hal sehari-hari yang sering terlupakan, Flowers sebuah drama dari Spanyol ini bisa menggambarkan kekuatan manusia dalam bertahan hidup berdasarkan rasa ingin tahunya. Ada hal melankolis yang tersirat dalam rangkaian bunga, dan layaknya momen dibalik tiap bunga yang diberikan atau diterima, seseorang dapat merasakan harapan baru hingga timbulnya kecemburuan diantaranya. Walau menggunakan judul film yang cukup banal, bunga yang menjadi “tokoh utama” kembali menyiratkan bahwa ketika cinta dan rasa ingin tahu bersatu, ini akan menjadi kekuatan vital yang dapat membuat siapapun terus berjuang hidup. Tak peduli seklise apa pesan yang ada.

Georges Melies Program (1898-1911)
Sutradara: Georges Melies

7 May 2016, jam 12:00 di Erasmus Huis
8 May 2016, jam 12:00 di Erasmus Huis

Beberapa scene film Georges Melies mungkin adalah parameter terbaik tentang standar eksperimentasi dalam sebuah film. Seorang illusionist asal Perancis yang merambah dunia perfilman dengan menggabungkan ilusi dan teknik sinematografi telah melahirkan gambar-gambar ikonik seperti A Trip to the Moon yang merupakan film bisu paling berpengaruh di antara sinematografer sejak 1902. Kali ini di Europe on Screen Georges Méliès hadir delam program spesial dimana brapa filmnya akan diputar dan diiringi scoring yang diaransemen oleh 7 orang murid dari Sjuman School of Music dan ditampilkan oleh Trinity Youth Symphony Orchestra.

Human Capital (2013)
Sutradara: Paolo Virzì

30 April 2016, jam 17:00 di Erasmus Huis
7 May 2016, jam 17:00 di GoetheHaus

Paolo Virzì dikenal sebagai salah satu sutradara asal Italia yang berhasil melahirkan beberapa film drama dengan balutan nuansa sophisticated yang membuat penonton tak bisa beranjak dari tempat duduk. Hal yang sama muncul pula di Human Capital yang mengangkat novel Stephen Amidon namun dilengkapi narasi kuat mengenai ambisi, privilege dan uang sebagai Segitiga Bermuda dalam kehidupan manusia. Penampilan apik dari Valeria Bruni Tedeschi berhasil menangkap drama domestik yang disebabkan oleh pertikaian batin dari keliaran seorang manusia yang tergiur oleh ketiga godaan krusial duniawi.

Life Feels Good (2013)
Sutradara: Maciej Pieprzyca

2 May 2016, jam 17:00 di Istituto Italiano di Cultura Jakarta
5 May 2016, jam 16:30 di IFI Thamrin

Film tentang seorang penderita cerebral palsy yang berjuang untuk membuktikan bahwa ia adalah seorang yang cerdas dengan apik terekam dalam dilm Life Feels Good. Kamil Tkacz yang memerankan pria tersebut terlahir dengan sempurna, namun mampu menggambarkan pengorbanan seorang difabel dengan gambaran yang akurat menawan. Sedikit mengingatkan akan film Eropa dengan tema serupa, namun Pieprzyca sebagai sutradara mengemasnya dengan sudut pandang menarik melalui tampilan fase sang tokoh utama sedari kecil hingga dewasa.whiteboardjournal, logo

Tags