2016: The Year of Collaboration

27.12.16

2016: The Year of Collaboration

Berbagai Proyek Kolaborasi yang Menandai Tahun Ini

by Febrina Anindita

 

Selalu ada semangat yang muncul pada setiap era. Setiap generasi selalu memiliki kegelisahan yang berbeda. Dengan begitu, lantas muncul pergerakan yang beragam pada tiap periodenya. Kolaborasi adalah salah satu bentuk yang muncul dan menjadi gairah yang muncul belakangan. Ini merupakan konsep yang menarik, karena melalui kolaborasi kita bisa melihat ekspresi yang tampil dalam warna dan bahkan format yang sama sekali baru dengan cakupan perspektif yang juga lebih luas. Berikut adalah beberapa catatan mengenai bagaimana kolaborasi dicetak tebal dalam sejarah kreativitas anak bangsa di tahun 2016.

huawesmall
Senyawa – Bon Iver
Sulit untuk mendebat kualitas Senyawa. Jika banyak yang masih menempatkan cakupan internasional semata dalam angan, duo Wukir Suryadi dan Rully Shabara ini telah menghidupinya. Sudah tak terhitung lagi berapa panggung di Amerika dan Eropa yang telah mereka singgahi, pula berbagai proyek bersama musisi eksperimental, mulai dari Kazuhisa Uchihashi, menjadi opening act bagi Death Grips hingga split album bersama legenda Japanoise/experimental-rock, Melt Banana. Tahun 2016 Senyawa menancapkan pencapaian baru dalam karir mereka saat mereka tampil di festival bikinan Justin Vernon, Michelberger Music Festival yang digelar di Jerman. Yang membanggakan, di sana alih-alih tampil sebagai pembuka, Senyawa tampil sebagai tamu kehormatan. Sebagai fans, Vernon menempatkan penampilan Senyawa setelah ia tampil dalam moniker Bon Iver. Seolah tak puas dengan hanya menonton, Vernon kemudian berkolaborasi bersama Senyawa, diundang pula duo kembar dari The National dan duo elektronik Mouse on Mars. Ini merupakan pencapaian penting, dimana musik Senyawa yang sebelumnya merajai dunia musik eksperimental, juga mampu melebur dalam kolaborasi bersama musisi yang lebih pop seperti Bon Iver.

huawesmall
Kolaborasi Morfem x Brandals
Jika ditanya siapa band yang bisa merangkum Kota Jakarta dalam kegelisahan dan kemarahan ala musik indie-rock, Morfem dan Brandals adalah dua nama yang tak terganti. Melalui musiknya, baik Morfem maupun Brandals mampu menceritakan kehidupan Jakarta yang keras, bebal, pengap, namun penuh harapan, secara akurat. Penulisan lirik Jimi Multhazam yang bernas dan celoteh Eka Annash yang tajam sering terasa sebagai bentuk audio dari koran lampu kuning yang tercecer di trotoar jalanan. Cerita keduanya terasa hidup pada penampilan kolaborasi Morfem dan Brandals di Artwarding Night yang berlangsung di pertengahan November 2016 yang lalu. Yang membuatnya makin spesial adalah ini merupakan salah satu panggung come-back Brandals yang sempat vakum setelah Rully Annash meninggal dunia.

huawesmall
Semangat Regenerasi di Arthospora
Selain kolaborasi, regenerasi merupakan salah satu terminologi yang kerap muncul belakangan. Ini masuk akal, mengingat esensi dari regenerasi yang bisa menentukan arah iklim kreatif ke depannya. Dengan spirit ini Artosphora lahir. Formatnya sederhana, pameran karya dari berbagai subkultur dalam sebuah galeri. Yang membuatnya spesial adalah proses, juga seniman-seniman yang ada di dalamnya. Dikumpulkan dari seluruh Indonesia, line up seniman yang berpartisipasi di pameran ini tergolong cukup menyegarkan, beberapa bahkan belum pernah terdengar sebelumnya. Konten ini diperkuat dengan kolaborator yang merupakan sosok-sosok inspiratif dari bidang masing-masing. Beberapa di antaranya adalah Agan Harahap, Dendy Darman dari UNKL 347, seniman kolase Resatio, Rama Dauhan hingga Seringai. Di sana, para seniman muda ditantang untuk tukar gagasan dengan seniman yang telah berpengalaman untuk menghasilkan karya kolaboratif sekaligus mewujudkan regenerasi semangat kreatif dari sosok ahli kepada pemula. Format yang demikian penting, karena seniman muda bisa langsung berinteraksi bersama sosok yang lebih senior, dan dari situ transfer ilmu berlangsung. Dengan ilmu yang diteruskan, dan kreativitas yang dikembangkan, rasanya masa depan kesenian kita akan terus berjalan.

huawesmall
7 Seniman, 7 Kolaborasi di ICAD 2016
Dalam gelarannya yang ke-tujuh, sekaligus menandai 7 tahun berjalannya Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD), kurator Hafiz Rancajale mengundang tujuh seniman dan untuk menjawab tema Seven Scenes. Menariknya, 7 seniman Agung Kurniawan, Budi Pradono, Eko Nugroho, Hermawan Tanzil, Oscar Lawalata, Tita Salina dan Tromarama tak hanya diundang untuk berpameran, melainkan juga menjadikan kolaborasi sebagai inti dari proses kekaryaan. Angle kolaboratif ini menghasilkan sebuah pameran yang kaya secara dimensi dan perspektif, apalagi jika melihat area Kemang yang diangkat sebagai pembahasan utama pameran. Dari “Kemang RT/RW” karya kolaboratif Hermawan Tanzil bersama tim lintas disiplin (ada arsitektur Danny Wicaksono dan penulis/kurator muda Athina Dinda Ibrahim diantaranya) misalnya, kita bisa melihat sejarah yang nyaris paripurna mengenai Kemang yang telah bertransformasi dari kampung biasa, menjadi kampung modern seperti sekarang. Konsep yang juga menarik dikemukakan oleh kolektif Tromarama melalui kolaborasinya bersama toko barang antik di daerah Kemang Timur yang menantang konsepsi modern di era digital dalam instalasi video virtual reality.

huawesmall
Dentum Dansa Bawah Tanah Music Videos
Meski masih berkutat di satu warna musik, Dentum Dansa Bawah Tanah adalah sebuah proyek kompilasi yang penting. Layaknya JKT: SKRG dan New Generation Calling yang mendokumentasikan musik pada jamannya, proyek ini juga menjalankan fungsi yang sama. Nilai plusnya adalah mereka mempertemukan 18 musisi yang selama ini bergerilya di klub-klub malam Jakarta dengan 18 video maker yang menterjemahkan karya audio di kompilasi Dentum Dansa Bawah Tanah dalam bentuk visual. Hasilnya pun beragam, Anggun Priambodo membuat musik Sattle terasa lebih membumi dengan raw-footage khasnya, sementara Allan Soebakir dari Sinema Pinggiran bereksperimen dengan dirinya sendiri untuk memvisualkan betapa memabukkannya musik Django. Tak ada MTV bukan berarti musik video telah mati, dan Dentum Dansa Bawah Tanah adalah sekumpulan kepala yang menyepakati hal ini.

huawesmall
Dega Ensemble
Saat menyaksikan penampilan Dega Ensemble di Artwarding Night, ada kelakar yang cukup menarik diungkapkan oleh Henry ‘Betmen’ Foundation, “Kalau misalnya terjadi sesuatu di Artwarding Night hari ini, Jakarta akan kehilangan separuh atau bahkan lebih talenta muda musiknya.” Meskipun bernada candaan, Betmen memiliki poin yang solid. Dari rangkaian perjalanan kreatif This Is My Go Ahead yang dijalankan Xandega Tahajuansya (Polka Wars, Studiorama) pada tahun 2016, ia melahirkan sebuah proyek berjudul “Dega Ensemble” yang mengumpulkan musisi muda bertalenta, mulai dari roster label indie pop Kolibri Records, hingga geng Orange Cliff Records dalam satu panggung ensemble yang cukup masif. Sekitar 20-30an individu tadi dikumpulkan dan mereka memainkan instrumen masing-masing sembari mengiringi paduan suara yang menyanyikan komposisi yang ditulis oleh seniman muda berbakat Haikal Azizi (Sigmun/Bin Idris). Akan menarik jika proyek ini bisa dikembangkan lebih lanjut untuk sebuah rilisan di masa yang akan datang.

huawesmall
Kolaborasi di Jakarta Fashion Week 2017
Ada angin segar yang terasa dari gelaran Jakarta Fashion Week 2017 yang berlangsung pada akhir Oktober lalu. Jika dulu kita hanya menjadi pengikut tren melulu, kini kita mampu menunjukkan bahwa talenta yang kita punya bisa dibuktikan tajinya. Dengan jeli, penyelenggara menjadi penyambung antara gairah fashion lokal yang semakin beragam dan berkualitas dengan exposure skena fashion internasional. Bekerja sama dengan beberapa organisasi dan pusat kebudayaan internasional, beberapa brand lokal disandingkan dalam proyek kolaboratif dengan brand asal Tokyo, Korea hingga London. Kolaborasi yang terjadi disini pun bukan sekedar tempelan, Billie Jacobina dan Rosella May dua desainer muda dari Inggris menjalani residensi di Baduy dan Pekalongan sebelum berkolaborasi dengan Indonesia Fashion Forward, LEKAT dan SOE Jakarta. Dari Timur, desainer ternama dari Korea, Lie Sang Bong bekerja sama dengan brand TOTON, sementara IKYK berkolaborasi dengan fashion brand Korea, Twee x Hwangsung Park.

huawesmall
Rich Chigga x Ghostface Killah
Rich Chigga adalah salah satu antitesis dari omongan publik mengenai generasi millennial sebagai kumpulan anak-anak yang terjebak dalam krisis eksistensi diri yang menjadikan mereka generasi nir-produktif. Dari dalam kamarnya, dengan caranya sendiri, Rich Chigga, atau dalam hal ini, Brian Immanuel, bergerilya dan menembus batas yang sebelumnya seolah tak tertembus di masa lalu. Bermodal satu lagu, satu video klip (dan satu tas pinggang), ia mengangkat sendiri namanya ke dunia. Di awal, banyak yang meragukan – bahkan mentertawakannya, namun setelah reaction video yang positif dari Desiigner hingga personil Wu Tang Clan, Ghostface Killah, ragu yang ada mereda. Yang menarik, selain memuji, Ghostface Killah juga kemudian memenuhi janjinya untuk melakukan remix dari lagu hits Rich Chigga, “Dat $tick”. Ini jelas merupakan sejarah tersendiri di perjalanan musik lokal. Dan, sementara banyak diantara kita sibuk untuk membandingkan kualitas rapper era 90’an dengan rapper kekinian, video musik Rich Chigga – Dat $tick Remix feat Ghostface Killah and Pouya yang dirilis pada bulan Oktober telah diputar 7 juta kali, dan ini belum seberapa jika dibandingkan video “Dat $tick” yang kini telah diputar 30 juta kali di YouTube.

Sebagai platform kreatif, Go Ahead People selalu mendorong berkembangnya talenta dan kreasi melalui kolaborasi. Ini dibuktikan dengan keterlibatan Go Ahead People.com di beberapa proyek kolaborasi penting di tahun ini. Buka GoAheadPeople.com untuk mendapatkan inspirasi baru dalam berkreasi dan kesempatan untuk berkolaborasi untuk mengembangkan diri. whiteboardjournal, logo