OK. Pangan

15.08.17

OK. Pangan

Konsumsi Isu Pangan Melalui Seni Media

by Febrina Anindita

 

Saking lekatnya pangan dalam keseharian, ia sering hanya dimaknai sebagai kebutuhan konsumsi semata. Melepaskannya dari konteks sejarah, sosial, budaya hingga ekonomi, yang jika dipahami bisa membuat kita tersadar akan pola-pola politis yang bisa jadi menjadi penanda mengenai apa yang telah terjadi di masa lalu, dan bagaimana kondisi tersebut berpengaruh ke masa depan.

Jika sebelumnya OK. Video membahas Orde Baru pada gelarannya di tahun 2015, pada edisi kedelapan yang diselenggarakan tahun ini, OK. Video mencoba melihat peluang seni media dalam menarasikan dan mewacanakan isu politik pangan dengan tajuk “OK. Pangan.” Adapun alasannya cukup sederhana, sebab pangan biasanya hanya dipandang sebagai kebutuhan yang menentukan hidup, mati dan kebahagiaan banyak orang, namun lewat pameran ini, ia hadir sebagai medium yang memiliki sejarah kebudayaan dengan cangkupan luas, yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan.

Mengajak 2 kurator; Renan La-ruan dan Julia Sarisetiati, OK. Pangan menjadi bentuk progresi OK. Video dalam mengolah media dan mengemas topik yang ingin diangkat menjadi sebuah pesan multi-interpretasi bagi pengunjung pameran. Berbeda dengan edisi sebelumnya yang mengambil tempat di Galeri Nasional, kali ini dengan menggunakan beberapa ruangan di Gudang Sarinah, tiap karya yang terseleksi hadir dengan instalasi masif serta tata letak yang tidak biasa. Adapun video tidak melulu menjadi medium karya yang ditampilkan di sini, beberapa di antaranya justru menggelar karya alternatif berupa ruang dilengkapi kertas kosong dan alat gambar, kartu-kartu collectible hingga instalasi rajutan dan tabel kuliner kronologis.

Memasuki ruang pameran, pengunjung disambut dengan karya ruangrupa bersama Noorderlicht berisi foto-foto tentang industri gula di Jawa pada awal abad ke-20. Lewat karya pertama ini, pengunjung diajak untuk memulai basis isu dengan persepsi lain akan industri pangan, yakni bagaimana pangan mampu mendukung perkembangan kesenian di koloni Hindia-Belanda. Lagipula siapa sangka pabrik-pabrik dan perkebunan gula serta lokasi geografis studio-studio foto komersil di Jawa dulu saling terkait? Lewat jajaran foto dan jejak sejarah, asumsi bahwa dalam periode tersebut, kemakmuran industri gula berbanding lurus dengan industri fotografi pun menjadi lebih kuat. Dari basis tersebut, pengunjung langsung tercerahkan bahwa pangan tak selalu berurusan dengan perut.

Ilusi dan framing isu menjadi kekuatan dari karya yang dipamerkan di sini, contohnya karya Agung Kurniawan di balik dinding ruangrupa yang membahas memutar video performance art tentang isu Genetically Modified Organism (GMO). Nyinyirnya pun tak tanggung-tanggung, alih-alih memampangkan isu langsung ke depan muka, ia menggunakan ‘selamatan’ sebagai kedok untuk mengajak audiens dalam video berpartisipasi dan mengudap sajian yang tertata membentuk kepulauan Indonesia. Kejutan pun tiba ketika makanan perlahan habis, terdapat nama perusahaan bioteknologi transnasional yang tersebar di pulau-pulau besar sebagai bentuk kritik akan ketahanan pangan dan perkembangan sains dan teknologi.

Ada pula Minja Gu dari Korea Selatan yang mengkritisi perkembangan kultur pop yang kini mempengaruhi representasi kuliner Korea Selatan di dunia. Menggunakan instalasi berupa booth makanan yang bisa ditemui di jalanan, lengkap dengan neon box berisi foto makanan serta video di tengahnya, Gu mengangkat rasa jengahnya terhadap perubahan imaji dan karakter makanan khas Korea yang bermunculan pada kemasan makanan di pasaran. Selain instalasi tersebut, Gu pun menekankan perubahan yang ada pada tabel kronologis berisi daftar masakan Korea dari 1904 hingga hari ini. Seakan menyalahi globalisasi, jelas sudah bahwa memang terdapat opresi tak terlihat dari kultur yang ada dalam mensortir hal tradisional dan mengubahnya menjadi lebih ‘pop’ agar bisa terus diterima dari masa ke masa.

Adapun sebuah karya yang sangat menggelitik otak adalah tentang Indomie dengan judul “4 Sehat 6 Sempurna” dari Berto Tukan dan Soemantri Gelar. Mereka melihat makanan favorit warga negara Indonesia ini sebagai paradoks dikarenakan absennya peran produk ini dari konstruksi 4 sehat 5 sempurna – karena bahan-bahan yang jauh dari kriteria sehat – dan sifatnya sebagai peninggalan rezim Orde Baru yang masih eksis dan adiktif hingga sekarang. Mengangkat konstruksi produk ini sampai ke brand message yang tersirat di iklannya, yakni potret keluarga Indonesia, Berto dan Soemantri percaya bahwa Indomie hadir sebagai perpanjangan tangan Orde Baru dalam mengukuhkan doktrinnya lewat metafora pangan.

Di lain sisi, Run Wrake menampilkan animasi sepanjang 9 menit dengan penggambaran luar biasa dan sama sekali tidak menampilkan pangan. Keserakahan menjadi hal yang ia angkat serta moral dan aksi behavioral yang dilakukan oleh anak-anak di Inggris pada era 50-an. Menghadirkan fairytale untuk orang dewasa, video tentang keajaiban mahkluk yang mampu mengubah sesuatu menjadi emas ini menjustifikasi sifat pada diri seseorang yang kini perlu dikaji ulang alasannya.

Terlepas dari pesan yang dipaparkan para seniman, seluruh karya yang ditampilkan menunjukkan bahwa ada banyak hal yang bisa dibicarakan dari pangan, mulai dari sejarahnya yang bersinggungan dengan disiplin lain, sifatnya sebagai pemersatu milyaran kepala di dunia dan akibat yang disebabkan untuk memenuhi kepuasan perut dan kantong manusia. OK. Video sekali lagi berhasil memilih isu terpanas guna menghadirkan spekulasi artistik yang mampu mengajak para pengunjung untuk menyikapi pangan secara berbeda dan lebih kritis lagi.

OK. Video: OK. Pangan
23 Juli-16 Agustus 2017
Senin-Minggu
12:00 – 17:30 dan 18:30 – 21:00

Gudang Sarinah
Jl. Pancoran Timur II No.4

http://okvideofestival.org/whiteboardjournal, logo