ICAD 2017: Murni?

30.10.17

ICAD 2017: Murni?

Memaknai Esensi Seni dan Desain

by Febrina Anindita

 

Mana yang seni dan mana yang desain? Pertanyaan sederhana ini kian menjadi klasik. Di era seni rupa kontemporer yang terus menerus mencari kebaruan artistik, di mana bentuk-bentuk dianggap sudah melebur dalam satu koridor tunggal, yaitu “seni rupa,” bahasan ini semakin sering muncul di antara para pelaku seni. Banyaknya ajang seni rupa yang mengusung isu-isu di luar seni agaknya membuat satu isu vital yang bersifat internal terabaikan, yaitu esensi dari karya-karya seni rupa kontemporer itu sendiri.

Hadir untuk kedelapan kalinya, tahun ini Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) mencoba memaknai esensi riil dari karya seni yang diwakili dengan tajuk “Murni?” Alih-alih mencari persoalan di luar seni sebagai gagasan utama, pameran kali ini mengajak 50 pelaku seni untuk mengkritisi estetika atau “kemurnian” sebuah karya seni. Gagasan ini sedikit berbeda jika kita melihat ICAD sebagai ajang mengawinkan seni dan desain, kali ini partisipan diajak untuk menjelajahi akar estetika profesinya masing-masing. Salah satu caranya adalah menjadikan bidang di luar profesi partisipan sebagai matter mereka. Sehingga, banyak seniman yang menjadikan desain sebagai eksplorasi karyanya dan ada pula desainer yang menelusuri seni melalui karya-karya desainnya.

Kurator Bambang Toko dan Harry Purwanto menyadari, gagasan pameran ini sekilas mengembalikan kita pada periode seni modern saat seni bersifat individualistis dan berujung membicarakan dirinya sendiri. Seberapa pun karya seni membicarakan kemiskinan, misalnya, jiwa dan muatan ekspresi tetaplah kepuasan yang dicari-cari sang seniman. Tapi persoalan estetika tidak mengenal periode, seni rupa kontemporer yang mendobrak kemurnian seni modern pun dapat menghasilkan estetika yang baru, dan inilah yang ingin diperlihatkan di pameran ini.

Memasuki grandkemang Hotel, pengunjung pertama kali akan melihat seri karya Patricia Untario yang mengeksplorasi segi artistik dari kaca patri. Potongan-potongan kaca patri disusun secara vertikal lalu diberi cahaya lampu di kedua ujungnya, sehingga membiaskan cahaya bertekstur unik ke dinding. Pada karya ini Patricia mendekonstruksi fungsi kaca patri menjadi ekspresi artistik. Ia juga memaknai konsep ini secara historis, di mana pada era modern kaca patri pun bersifat adiluhung terlepas dari nilai fungsinya, dan telah membuka sekat antara seni murni, kriya dan arsitektur.

Mencari esensi karya desain produk terkadang harus mengabaikan fungsinya, dan inilah yang dilakukan oleh Denny R. Priyatna. Dalam dunia desain furnitur modern, kata “murni” berarti menghilangkan elemen dekoratif sebuah produk untuk mengutamakan fungsinya. Namun karya Denny berbeda 180 derajat dari pengertian itu, ia memperlakukan permukaan produk furnitur seperti permukaan kulit manusia yang bengkak, benjol dan terkontaminasi penyakit. Hilangkanlah imaji tentang mebel yang empuk dan nyaman, karena pengunjung akan melihat sofa dengan luka-luka sayatan serta kursi yang benjol penyakitan.

Tidak semua seniman mendedah esensi dari karya seni, ada pula yang memaknai “kemurnian” ini di aspek-aspek lain, seperti esensi hubungan manusia yang secara apik diangkat oleh special appearance Teddy Soeriaatmadja. Sutradara ini membuat simulasi kamar hotel dan di bagian kasurnya terdapat cetakan tubuh sepasang manusia yang sedang tidur memunggungi satu sama lain, melukiskan suasana sehabis cekcok domestik. Simulasi ini dibuat cukup natural; kamar yang berantakan, lampu tidur yang menyala, hingga handphone yang tergeletak begitu saja. Di sini Teddy memaknai bahwa hubungan manusia bukan berarti memiliki tujuan bersama, terkadang hanya berarti bahwa semata bersama secara fisik.

Sebagian besar partisipan berhasil mengeksplorasi gagasan pameran ini, namun tidak semua memberikan celah interaksi bagi pengunjung untuk memahami karyanya. Gambaran yang diprediksi oleh para kurator benar terjadi: Setiap karya tidak memiliki kesinambungan dan setiap partisipan bergerak sendiri-sendiri, karena pada dasarnya gagasan pameran ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk diolah. Banyaknya jumlah karya, ditambah penempatannya yang terlalu luas, pun dapat membuyarkan pemahaman pengunjung akan pameran ini. Amat disayangkan, karena hal ini membuat gagasan pameran tersampaikan secara kurang maksimal.

Terlepas dari presentasi pameran yang rumit, inisiatif ICAD kali ini patut dihargai. Di saat pemahaman-pemahaman akan seni rupa kontemporer diperdebatkan – “Mana yang seni dan mana yang desain?” – ICAD membuka pintu bagi orang-orang untuk kembali memaknainya. Bagi inisiatif seperti ICAD yang ingin membuka peluang kolaborasi antara seni dan desain, gagasan untuk memaknai kembali estetika seni, walaupun disadari kompleksitasnya, merupakan hal yang patut untuk direalisasikan.

ICAD 2017: Murni?
4 Oktober – 15 November 2017
24 jam

grandkemang Hotel
Jl. Kemang Raya no. 2H
Jakartawhiteboardjournal, logo

Tags