21.12.15

ARA

Menyoroti Skena Fashion Indonesia.

by Ken Jenie

 

Lantai dua gedung Colony 6 di daerah Kemang, Jakarta menjadi rumah untuk ARA, sebuah toko fashion yang idenya dicetuskan oleh 3 label fashion, Friederich Herman, Peggy Hartanto, dan Toton, sebelum kemudian dijadikan nyata oleh Jo Elaine, seorang pemerhati fashion dan mantan fashion editor. Retail space yang membuka pintunya untuk publik pada tanggal 15 November lalu ini menyajikan rangkaian produk high-end oleh desainer ternama dari Indonesia. Interior ARA terasa seperti sebuah galeri, dengan lantai kayu berwarna muda, dinding yang dicat putih, dan ruang lapang yang menarik fokus pendatang kepada karya fashion yang digantung di rak dan ditempatkan di berbagai display. Ambiance galeri seni ini diberi warna hangat dari matahari menembus jendela-jendela besar yang mengelilingi space ARA yang kaca-kacanya berhiaskan goresan cat oleh Angela Judyanto.

Melalui perbincangan dengan Elaine Jo dan Toton Januar, dari label TOTON, bisa dibilang bahwa ide dasar toko ARA bermula dari pengamatan mereka terhadap kondisi industri fashion Indonesia. Toton menjelaskan mengenai aksesibilitas brand, bahwa ARA adalah outlet fisik pertama bagi beberapa brand di Indonesia, dimana sebelumnya konsumen hanya bisa mendapatkan produk semacam hanya dengan komunikasi langsung kepada brandnya. Ia menjelaskan melalui pengalamannya di brand TOTON,“Sebelumnya kita tidak jualan di Jakarta, kami hanya menjual produk kami di luar negeri. Banyak orang di Indonesia yang tertarik dan bertanya dimana mereka bisa beli produk kami. ARA adalah satu-satunya tempat dimana mereka (konsumen) bisa menemukan karya semua desainer ini (dalam satu toko fisik).” Saat mereka membuka pintunya kepada publik pada tanggal 16 November 2015, pengunjung diundang untuk menikmati karya-karya dari fashion desainer seperti Clarissa Kwok, Fbudi, Friedrich Herman, Kraton Auguste Soesastro, Laison by Aurelia Santoso, Litany, Olenka, Patrick Owen, Peggy Hartanto, Populo Batik, Rosalyn Citta, Saptodjojokartiko, dan Toton.

Bagi pembeli, ARA ingin memberi pilihan-pilihan yang menyegarkan. Filosofi ARA ada pada bagaimana fashion dilihat sebagai representasi individu sekaligus jaman. Di era globalisasi dimana fashion didominasi oleh label dengan attitude fast-fashion, fashion terasa hanya sekedar produk yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan. Dan bahkan menurut Elaine, sering produk fashion menjadi gagal untuk memicu inspirasi. Meskipun ARA, sebagai toko yang membawa karya desainer Indonesia, mereka tidak mau memusatkan perhatian pembeli kepada perbedaan antara label luar negeri dan dalam negeri, mereka menjelaskan fakta bahwa karya high-end oleh desainer dari Indonesia adalah opsi baru bagi pembeli.

ARA08

Sebuah karya fashion harusnya bisa dinikmati dari sisi desain, konstruksi, hingga detail dan label-label di ARA menawarkan perspektif yang berbeda pada elemen-elemen tersebut. Elaine menjelaskan bagaimana secara tidak langsung, desainer dari Indonesia sebenarnya mampu untuk memberi perspektif yang unik melalui karya-karyanya. Melalui fashion, para desainer berkesempatan untuk menunjukkan bagaimana mereka menawarkan angle yang berbeda dari panutan-panutannya sebagai orang Indonesia. Ditambah dengan fakta bahwa label-label ini masih memproduksi dalam skala kecil, pembeli di ARA berkesempatan untuk mendapatkan karya yang unik secara perspektif dan dibuat dengan kualitas hand-made yang sangat mendetail. Toton berkata bahwa dalam kurun waktu yang relatif pendek sejak ARA membuka tokonya, dampak kepada pembeli sudah mulai terasa – “…berkomunikasi dengan pembeli, banyak customer yang sebelumnya tidak tertarik kepada desainer lokal akhirnya melirik dan bisa melihat bahwa produknya tidak kalah dengan brand-brand luar yang mereka pakai, dan advantagenya (produk) lebih unik, bisa dipakai sehari-hari, untuk acara apapun – pilihannya lebih banyak.”

Menurut penjelasan Elaine dan Toton, kebanyakan desainer brand luxury di sini bekerja dari workshop yang kecil, mereka menampilkan kreatifitas mereka melalui fashion show, dan mereka berhubungan dengan pembeli secara personal di sebuah showroom atau workshop. Situasi ini mengakibatkan sebuah kondisi dimana kedua pihak out of touch dengan kebutuhan publik – khususnya dalam bidang ready to wear.

ARA01

“Saya tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa sampai saat ini, banyak desainer yang terjebak di khayalan” ujar Elaine. Menurutnya, banyak desainer lokal mengobservasi trend dari luar dan berusaha untuk menduplikasi apa yang mereka lihat tersebut ke pasar Indonesia tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan konsumen disini. Salah satu tujuan yang ARA ingin capai adalah adanya komunikasi antara toko, desainer, dan pembeli supaya timbul pengertian mengenai kebutuhan dari semua pihak, dan mungkin juga untuk membantu membangun sebuah standarisasi di dalam industri fashion. Toton menambahkan bahwa ARA berusaha untuk mengangkat sebuah wacana bersama label-label supaya mereka bisa tumbuh beriringan, sekaligus untuk mengenali situasi dan kebutuhan di Indonesia.

Pola komunikasi yang demikian sudah bisa dilihat sejak awal ARA membuka pintunya. Beberapa desainer seperti Fbudi membuat karya eksklusif untuk ARA, juga pada Patrick Owen yang biasanya dikenali karyanya dikenal ‘edgy’, dalam kerjasamanya dengan ARA dia membuat baju yang lebih “wearable & sensible.” Karya-karya yang eksklusif ini dihasilkan oleh diskusi bersama antara desainer dan ARA mengenai apa yang sebenarnya dicari oleh pembeli baju ready to wear. Konsep seperti ini akan terus dijalin dan dikembangkan di toko butik ini.

Attitude yang demikian diekspresikan bukan hanya dengan cara ARA bekerja, tetapi juga melalui ruang fisiknya. Didesain oleh Brian Gondokusumo, layout toko ARA non-permanen dan bisa dipindahkan sesuai dengan kebutuhan retail dan event. “Manusia tidak mungkin hanya suka fashion, pasti mereka juga menyukai hal-hal indah yang lain” jelas Elaine, dan toko ARA terbuka dengan masukan-masukan kreatif untuk membuat pameran, trunk show, food and beverage pop-up, dan bentuk acara lain. Penggagas ARA ingin menunjukkan berbagai pengalaman hidup melalui ruang tokonya.

Sebagai sebuah toko, ARA ingin menawarkan lebih dari sekedar pengalaman retail. ARA menyuguhkan pilihan-pilihan produk unik dari perspektif desainer Indonesia dan aksesibilitas kepada konsumen yang sebelumnya terbatas oleh penjualan yang lebih one-on-one. Sebagai toko yang lahir dari 3 desainer ready to wear, ARA ingin menjalin kerjasama dengan label-label supaya mereka bisa tumbuh bersama sebagai industri. Elaine menjelaskan, “kami ingin menjalankan retail kami dengan standar yang lebih baik, dengan timbal balik yang adil bagi label-label kami. Ini (ARA) adalah sebuah komitmen berjangka panjang. Ini adalah bagaimana kami ingin melakukan bisnis.” Ruang di lantai dua Colony 6-pun ingin dipakai oleh ARA lebih daripada sebuah space retail, melainkan sebagai sebuah wadah untuk berbagai macam acara.

Meskipun hanya waktu yang akan menunjukkan bagaimana berjalannya eksekusi konsep, keberadaan dan antusiasme mereka telah menunjukkan dampak positif untuk skena fashion Indonesia. Merangkum gagasan ARA, Toton berkata, “Meskipun kami pasti ingin untuk menjual barang-barang yang dijual di toko ini, kami juga ingin para desainer fashion untuk tumbuh bersama. Kami juga ingin ARA menjadi sebuah melting-pot untuk karya multidisiplin. Apa yang kami ingin lakukan adalah menginspirasi pengunjung, untuk memberi mereka ruang untuk bermimpi.”


ARA
Colony 6
Kemang 1F #5-6
Jl. Kemang Raya no.6
Jakarta 12730
T. +622129529958whiteboardjournal, logo

Tags