Kolaborasi Marvel dan Penguin Classics: Novel Grafis Sebagai Sastra yang ‘Mainstream’?

Art
08.04.22

Kolaborasi Marvel dan Penguin Classics: Novel Grafis Sebagai Sastra yang ‘Mainstream’?

Tidak hanya untuk karya sastra klasik atau non-fiksi, Penguin Classics kini meluncurkan tiga edisi novel grafis Marvel seperti “Spider-Man”, “Black Panther”, dan “Captain America” pada 14 Juni mendatang.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Jesslyn Sukamto
Foto: Marvel

Sangat sulit membayangkan budaya populer Amerika tanpa Marvel Comics. Selama beberapa dekade, Marvel telah menerbitkan narasi visual inovatif yang menarik perhatian di berbagai tingkatan: sebagai metafora untuk pengalaman perbedaan dan keberbedaan; sebagai meditasi pada sifat identitas yang fluid; dan sebagai tanda dalam tradisi artistik kartun Amerika.

Oleh karena itu, Penguin Classics bekerja sama dengan Marvel untuk menerbitkan edisi khusus “Black Panther”, “Captain America” dan “The Amazing Spider-Man”, menandai pertama kalinya komik diterbitkan oleh cetakan yang terkait dengan karya sastra klasik.

Serial tersebut, yang disebut “Penguin Classics Marvel Collection”, menyajikan kisah asli dari karakter utama Marvel. Menurut penerbit tersebut, itu “berfungsi sebagai bukti dampak transformatif Marvel pada fiksi grafis dan sebagai lambang dan cerita-cerita di seluruh budaya populer”.

Baik format paperback sampul belakang hitam yang ikonik maupun format hardcover dengan cap emas di tepi dan sisi buku tersedia untuk di pre-order terlebih dahulu. Tiga seri ini akan diterbitkan pada 14 Juni mendatang.

Sven Larsen, VP of Licensed Publishing di Marvel Entertainment, mengatakan, “Dari ‘The Odyssey’ hingga ‘The Time Machine’, daftar Penguin Classics tidak hanya mengakui karya paling penting dalam mendongeng, tetapi juga menempatkannya dalam konteks sejarah dan budaya yang penting.”

“Ini merupakan kehormatan luar biasa untuk memiliki bab-bab penting dalam sejarah Marvel ini bergabung dengan seri terhormat dari Penguin Random House. Saya tidak sabar menunggu pembaca baru untuk menemukan cerita-cerita ini untuk pertama kalinya dan saya bersemangat untuk para penggemar yang sudah ada untuk dapat membaca pendahuluan, esai, dan materi baru lainnya yang akan memberikan apresiasi yang lebih dalam terhadap karya grafis fiksi ini.” ujarnya.

Kalau dipikir-pikir, novel grafis bukanlah hal baru. Akan tetapi, masih banyak yang berpikir bahwa novel grafis bukanlah sastra. Bagi sebagian orang, membandingkan novel grafis dengan sastra tradisional kurang masuk akal. Bagaimana bisa sebuah buku yang begitu sarat dengan gambar dipelajari seperti novel tradisional?

Novel grafis tentunya dapat dianggap sebagai sastra. Tapi, apa yang membuat sebuah karya menjadi sebuah sastra, juga sastra yang mainstream?

Secara garis besar, novel grafis memenuhi syarat sebagai sastra karena mereka mengandung prosa. Tidak hanya itu, kata-kata yang tertulis dalam jenis karya tersebut merupakan bagian integral dari cerita seperti halnya gambar-gambarnya. Tanpa satu atau yang lain, karya itu tidak akan menjadi novel grafis seutuhnya. 

Selain itu, para young adults dan anak-anak juga akan mendapat manfaat yang lebih dari novel grafis, karena kosakata dan materi pelajaran yang termasuk dalam novel grafis seringkali memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada novel biasa yang ditujukan untuk audiens yang sama. 

Ini membantu anak-anak dan young adults untuk belajar dengan cara yang menarik secara visual dan dengan cara yang membuat pikiran mereka terstimulasi selama proses membaca.

Tapi apa itu sastra? Well, ilustrasi sebenarnya tidak melemahkan nilai sastra novel grafis. Sebuah novel grafis tetap dapat mengandung nilai abadi yang terlihat dalam karya sastra yang hebat. Sampai hari ini, “Crimes or Punishment” oleh Fyodor Dostoevsky dan “The Metamorphosis” oleh Franz Kafka dipelajari bukan hanya karena mereka memiliki cerita yang memikat, tetapi karena cerita tersebut mengungkapkan sesuatu tentang budaya penulis.

Mereka adalah artefak yang secara tidak langsung memberikan pandangan sekilas dan keprihatinan masyarakat tentang masa lalu. Melihat “Persepolis”, yang merinci Revolusi Islam melalui mata anak-anak, kita dapat melihat bagaimana sebuah novel grafis mencakup nilai-nilai sastra. 

“Persepolis” adalah sebuah novel autobiografi grafis oleh Marjane Satrapi yang menggambarkan masa kecil sang penulis hingga masa dewasa selama dan setelah Revolusi Islam di Iran. Selain dalam format novel grafis, “Persepolis” juga diadaptasi menjadi sebuah film.

Dengan keuntungan novel grafis sebagai alternatif untuk orang-orang yang lebih mudah memahami kata dan konsep dalam format visual, sebagai penengah di antara komik dan novel — dimana mereka memberi pembaca informasi substantif sambil tetap menarik secara visual, dan fleksibilitasnya yang dapat dinikmati oleh anak-anak sampai dewasa, ini semakin mendorong dunia novel grafis menjadi bagian dari mainstream literature.

Mainstream literature ini jelas dipicu oleh novel grafis yang sangat populer — dari tema pahlawan super sampai tema LGBTQ — banyak di antaranya juga telah diadaptasi menjadi film dan acara televisi. Hal ini memungkinkan novel grafis untuk memiliki ruang tertentu baik dari segi kesenian dan juga literasi.

Ditambah dengan kolaborasi Marvel dengan Penguin Classics, kini novel grafis sudah secara efektif membuka jalan (a.k.a becoming mainstream) bagi generasi pembaca baru dan dunia sastra mulai mengakui novel grafis sebagai mainstream literature.whiteboardjournal, logo