Mempersoalkan Batas-Batas Medium Seni Rupa di Pameran “2D | 3D: INTERACTION | INTERSECTION”

Art
14.07.19

Mempersoalkan Batas-Batas Medium Seni Rupa di Pameran “2D | 3D: INTERACTION | INTERSECTION”

Melihat konvensi seni rupa 2D dan 3D melalui kacamata seni rupa kontemporer lintas batas.

by Whiteboard Journal

 

Teks & Foto: Ibrahim Soetomo

Ada seorang seniman asal Azerbaijan, Faig Ahmed, dikenal melalui karyanya berupa karpet-karpet meleleh. Karpet-karpet itu dimanipulasi bentuknya menjadi seakan-akan luntur, meregang, atau terdistorsi, kemudian dipajang di dinding seperti benda bukan padat. Beberapa karya seperti ini tergabung dalam satu seri berjudul “Liquid Series”. Jika kita melihat karya ini, tentu persepsi kita akan terganggu, karena tidak mungkin karpet yang biasanya terjahit kaku dan padat terlihat seperti lelehan selembar keju iris tipis. Kita juga mungkin bertanya-tanya: “Apakah ini karya dua dimensi?”, karena ia terlihat datar dan dipajang selayaknya lukisan, “atau karya tiga dimensi?”, karena ia juga memperhitungkan volume dan ruang seperti karya patung. Jawabannya bisa keduanya, atau bahkan bukan keduanya. Satu hal, karya Faig Ahmed dapat memicu perdebatan mengenai konvensi-konvensi medium seni rupa hari ini.

Istilah ‘dua dimensi’ (2D) dan ‘tiga dimensi’ (3D) digunakan untuk mengklasifikasikan medium seni rupa. Karya yang tergolong dalam kategori 2D umumnya adalah seni lukis, drawing dan seni grafis (printmaking) yang dibuat dalam bidang datar, sedangkan karya yang tergabung dalam kategori 3D biasanya berupa seni patung (sculpture) dan keramik yang dibuat melalui pembentukan volume dan kedalaman tertentu. Namun, di tengah arus seni rupa kontemporer kini, batas-batas antara dua kategori kian larut, dan kiranya sudah banyak inisiatif serta eksplorasi seniman kontemporer yang mendobrak keduanya dengan membuat karya lintas medium, teknik dan eksplorasi. Sehingga, dua konvensi ini sudah menjadi istilah lawas yang tidak bisa sepenuhnya mendefinisikan bentuk-bentuk seni hari ini.

Pameran “2D | 3D: INTERACTION | INTERSECTION” berupaya melihat konvensi kedua klasifikasi seni rupa melalui kacamata seni rupa kontemporer lintas batas. Di pameran ini, Ruci Art Space bekerjasama dengan Bale Project dan menggandeng Asmudjo J. Irianto sebagai kurator untuk menampilkan 7 seniman asal Jakarta, Bandung dan Bali, yaitu Agung Prabowo (Agugn), Anastasia Astika, Ella Wijt, Feransis, Made Wiguna Valasara, Rega Ayundya dan Satria Nugraha. Pameran ini mengajak para seniman untuk mengeksplorasi medium dan metode baru di luar kebiasaan mereka, atau menciptakan karya lintas batas yang mendobrak konvensi-konvensi medium. Namun, alih-alih menyuguhkan karya menggugah, kebanyakan karya yang hadir terlampau medioker, eksplorasinya tidak jauh, dan presentasinya kurang matang.

Beberapa seniman memang menyeberang ke bentuk baru, umumnya dari karya berbidang datar ke tiga dimensional. Made Wiguna Valasara, misalnya, pada seri karya “Chrysopoeia” (2019), menampilkan keduanya. Valasara dikenal melalui karya stuffed canvas; ia tidak melukis, melainkan membentuk semacam relief di permukaan kanvas putih dan bersih. Pada pameran ini, Valasara menampilkan bentuk geometris dari benda-benda alam, seperti bunga, bulan sabit, dan matahari, dalam kanvas-kanvas kotak berukuran 50 x 50 cm. Bentuk geometri yang sama ini kemudian dipindahkan ke bidang 3D, seperti kubus dan limas segi empat, yang bergantungan di sebelah kiri kanvas-kanvas kotak itu. Namun, di sini tidak ada tantangan, terlebih gugatan; sang seniman hanya menunjukkan kepiawaiannya dalam membuat karya bermotif sama ke bentuk baru, sehingga kita tidak melihat adanya suatu hibrida, sebagaimana “Liquid Series” yang meleburkan sifat karya dua dimensional dan tiga dimensional. 

Gejala sama di karya Valasara terlihat pula di seri karya “Trapped Soul” (2019) milik Agugn. Agugn merupakan seniman grafis kontemporer dengan karya cetak lino khas akan ilustrasi unik dengan teknik pewarnaan rumit. Dari karya-karya grafisnya kita sudah dapat melihat bahwa ia telah melampaui konvensi-konvensi seni grafis pada umumnya. Belakangan ini, ia memang merambah bentuk karya 3D. Karyanya “Is there anything worth more than peace and love on the planet earth?” (2017) yang dipamerkan di “re: emergence” di Selasar Sunaryo Art Space merupakan instalasi ruang imersif dan dapat memadukan berbagai elemen selain seni grafis. Melihat pencapaiannya di instalasi ini, “Trapped Soul” terlihat payah. Pada karya ini, ia menghadirkan objek-objek surreal yang biasanya muncul di karya cetaknya menjadi tiga dimensional menggunakan bahan keramik, kemudian diletakkan di atas permukaan karya cetak lino. Agugn tidak menggugah kita dengan karya ‘baru’, terlepas dari upayanya dalam menyatukan karya dengan dua watak berbeda ke dalam satu ruang; karya keramik dan cetak lino-nya terasa tidak kohesif.

Di antara karya yang lain, karya Ella Wijt mungkin yang paling representatif dalam memberikan ‘batas kabur’ antara 2D dan 3D. Pada pameran ini ia menampilkan dua karya, yaitu seri karya “The Passage” (2019) dan “That Gap” (2019), yang disusun dengan perhitungan jarak tertentu sehingga membentuk satu instalasi padu. “The Passage” sendiri merupakan lembaran putih kusam abstrak terbuat dari lem PVA yang dipajang dalam tiga jenis ruang, yaitu di lantai, di dinding, dan digantung di tengah-tengah ruang, sehingga kita dapat melihat satu karya datar dalam bermacam persepsi. Di antara tiga lembar ini, ia menaruh karya “That Gap” berupa kubus-kubus cermin yang di dalamnya terdapat benda-benda temuan seperti pecahan kaca dan karet gelang. Kedua karya ini dapat memberikan kesan ruang sebagaimana yang hadir dalam karya 3D terlepas dari objek-objeknya yang 2D.

Melihat karya Ella, setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa karya instalasi merupakan jawaban sementara dari wacana pameran ini. Sifat instalasi yang dapat menampung kemajemukan medium dan teknik dapat mengaburkan batas-batas antara karya 2D dan 3D. Sementara karya seniman lain belum berhasil menjawab itu. Mereka memang menunjukkan kepiawaiannya dalam menghadirkan karya lintas medium dan teknik, namun tidak berhasil dalam menggugah kita dengan pertanyaan atau perbincangan baru perihal konvensi-konvensi seni rupa, karena kita masih menganggap karya-karya tersebut sebagai dua kategori terpisah dan tidak melebur sebagaimana yang diupayakan oleh Ella melalui instalasinya.

Jika seni rupa kontemporer sudah meleburkan batas-batas, mengapa persoalan medium seperti yang diutarakan di pameran ini masih perlu dibahas? Karena hal ini menyangkut persoalan yang hadir dalam dunia seni rupa kita. Perkembangan seni rupa kontemporer yang bebas kerap membuat kita merenungkan soal “mana yang seni” dan “mana yang bukan”, karena batas-batasnya kini semakin kabur. Lantas, tak heran jika persoalan medium masih perlu dipermasalahkan. Pameran ini memang meninggalkan kita tanpa kesan, namun ia membuktikan bahwa persoalan medium belumlah tuntas.

2D | 3D: INTERACTION | INTERSECTION

29 Juni – 28 Juli 2019

Ruci Art Space
Jl. Suryo No. 49
Jakarta Selatan 12180whiteboardjournal, logo