
Menyelamatkan Diri lewat Tulisan bersama Aan Mansyur
Kami berbincang dengan Aan Mansyur, salah satu kurator buku Open Column 2, tentang menulis sebagai terapi, tren baru dalam genre penulisan, hingga relevansi fungsi sastra di masa kini.
Words by Whiteboard Journal
Dari banyaknya cara untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam pikiran dan perasaan, menulis merupakan salah satu cara yang dipilih untuk menyalurkan hal tersebut. Mungkin banyak yang memulainya dengan menulis diary sejak kecil, sebagai cara untuk memetakan apa yang sebenarnya sedang terjadi di diri kita sendiri – agar kita bisa melihatnya dengan lebih jelas, dari sudut pandang yang berbeda. Itu juga apa yang dilakukan oleh Aan Mansyur sebagai seorang penulis puisi dan cerpen yang menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia baru lewat hal-hal di sekelilingnya. Menjadi salah satu kurator untuk buku cetak kedua kami, Open Column 2, yang berbicara tentang kesehatan mental, kami berbincang dengan Aan perihal paradoks dalam bahasa, menulis sebagai cara untuk menemukan “tempat” yang aman, hingga peran komunitas untuk melawan stigma terhadap mental health di masyarakat.
Bagaimana Anda mendefinisikan arti mental health?
Saya tidak tahu bagaimana mendefinisikannya. Namun, karena pandemi, saya akhir-akhir ini mengalami tekanan-tekanan dan kecemasan-kecemasan yang rasanya tidak pernah saya alami sebelumnya. Imbasnya banyak, tekanan-tekanan baru itu bukan hanya menimpa diri saya sendiri, tapi juga orang-orang di sekitar saya. Saya sudah tinggal di rumah, hampir tidak pernah ke mana-mana, bersama keluarga selama kira-kira 5 bulan. Sebagai kepala keluarga, yang mengalami tekanan dan kecemasan baru, saya harus juga memikirkan istri dan anak-anak saya.
Kata tekanan dan kecemasan ini juga sebetulnya kurang spesifik, tidak cukup menjelaskan apa yang mau saya bilang. Namun, saat saya secara mental mengalami sesuatu yang saya rasa tidak menyenangkan dan tidak lagi membuat saya merasa sepenuhnya diri saya yang selama ini saya kenali, saya anggap diri saya sedang mengalami persoalan kesehatan mental.
Dengan pembicaraan seputar mental health yang semakin gencar, menurut Anda, apa titik-titik fokus yang penting untuk diperhatikan?
Yang terlintas di pikiran saya saat ini, pembicaraan soal ini membutuhkan semacam kemampuan orang untuk berempati. Ini persoalan serius yang susah kita identifikasi. Beda, misalnya, kalau saya jatuh, lukanya kelihatan dan sakitnya bisa diidentifikasi dengan mudah. Sementara, persoalan mental health tidak semudah itu.
Tidak semua orang menulis untuk mencari pembaca di luar dirinya.
Sebetulnya, ketika orang sudah banyak membicarakan isu kesehatan mental ini, bagi saya, itu berarti bisa jadi ruang yang bagus buat kita saling belajar tentang empati. Misalnya, kalau istri saya tiba-tiba menceritakan masalahnya, dan itu sesuatu yang biasa saja bagi saya, bisa jadi yang pertama-pertama muncul di kepala saya adalah “ah, lebay!” Sebenarnya tidak harus begitu, kan? Tapi, dengan gampang biasanya jadi seperti itu, karena kita terpapar informasi di mana-mana. Tontonan, misalnya, atau kita mengkonsumsi beragam informasi di media sosial, dan kita merasa manusia itu macam-macam saja sikapnya terhadap sesuatu. Tanpa sadar itu menumpulkan empati kita. Alih-alih menyimak orang dan mencoba memahaminya, biasanya yang terlontar justru respons semacam itu tadi. “Ah, lebay!” Nah, ketika isu ini marak dibicarakan, ada banyak hal yang harusnya kita bisa pelajari. Empati salah satunya. Hal yang, tentu saja, sudah sering sekali kita dengar, tapi penerapannya tidak mudah.
Lalu di ranah tulisan, bagaimana Anda melihat pembahasan soal mental health dari karya-karya lain yang telah Anda baca, juga dari karya Anda sendiri?
Pekerjaan sehari-hari saya menulis, bergelut dengan kata-kata,bergulat dengan bahasa. Saya percaya bahasa memiliki semacam paradoks-paradoks dalam dirinya. Kalau ditanya fungsi bahasa, yang serta-merta terlintas di pikiran kita adalah untuk berkomunikasi, untuk mengungkap atau menyingkap sesuatu. Jarang kita sadar bahwa bahasa pada saat bersamaan bisa jadi alat untuk menyembunyikan sesuatu. Atau, biasanya kita bilang, bahasa itu alat komunikasi, untuk menghubungkan kita dengan orang lain. Tapi, bukankah sering terjadi bahasa justru memisahkan kita dengan orang lain? Atau, hal lain, bahasa untuk melawan penindasan. Tapi, coba kita pikir lagi, akhir-akhir ini kita kerap melihat bahasa justru dipakai untuk merepresi orang lain. Ada paradoks-paradoks semacam itu dalam diri bahasa. Ketika kita menuliskan isu-isu sensitif dan tidak semua orang punya pemahaman yang baik tentangnya, seperti mental health ini, kita harus sadar bahwa bahasa memiliki sisi-sisi semacam itu.
Saya sangat concern sama hal-hal seperti itu, terutama karena bahasa adalah medium yang saya gunakan. Bisa dibilang, sebagai penulis, satu-satunya yang saya punya, ya, cuma bahasa.
Ketika menulis isu kesehatan mental, misalnya, mungkin banyak yang melakukannya karena ingin mengungkapkan sesuatu. Tapi, yang jarang orang lihat, seringkali kita menulis untuk mencari semacam tempat yang aman, tempat yang nyaman, buat kita di dunia yang begitu kacau ini. Jadi menulis bukan sekadar berarti mencari jalan untuk menyampaikan sesuatu, tapi melalui kata-kata kita ingin menemukan rumah.
Seorang penulis menempatkan dirinya di posisi yang vulnerable agar dapat mengekspresikan perasaannya melalui tulisan. Apakah Anda melihat keterbukaan diri ini juga sebagai bentuk terapi?
Ya, saya percaya menulis bisa jadi semacam terapi. Saya sejak kecil menulis jurnal. Karena saya laki-laki, dulu ketika saya menulis diary, orang bilang, “Itu gak cowo banget, itu cewe banget.” Tapi, buat saya, karena ada begitu banyak hal yang tidak bisa saya ungkapkan, saya mengeluarkannya di diary agar saya bisa lihat dan amati apa yang sebetulnya terjadi di pikiran dan perasaan saya. Saya tidak bisa mengeditnya kalau dia hanya ada di kepala saya. Saya harus melihatnya, agar saya tahu apa yang terjadi dan apa yang harus saya lakukan.
Menulis dan mempublikasikan tulisan adalah dua hal berbeda. Tidak semua orang menulis untuk mencari pembaca di luar dirinya. Ada kalanya saya menulis hanya demi menyelamatkan diri saya dari chaos di kepala saya sendiri.
Kini telah muncul tren ‘curhat’ di ranah tulisan, seperti karya Marchella FP dengan NKCTHI dan Lala Bohang, bagaimana Anda melihat tren ini?
Yang sering saya lihat, orang berpikir bahwa itu pengaruh media sosial, pengaruh cara kita berkomunikasi di sana. Biasanya dilanjutkan dengan bilang bahwa ada sesuatu yang serba tergesa-gesa, kurang pendalaman, atau semacam itu. Biasanya itu datang dari cara berpikir yang menganggap menulis membutuhkan semacam kontemplasi yang dalam atau hal-hal seperti itu. Saya sendiri berpikir, meskipun tidak semua jenis tulisan saya baca, ada begitu banyak jenis medium dan ada begitu banyak cara bertutur yang masing-masing orang rasa pas untuk gagasan mereka. Karena, bagi saya, bentuk yang kita pilih berurusan dengan seberapa matang kita memikirkan gagasan kita. Seringkali memikirkan satu gagasan berarti membiarkan gagasan saya tersebut memilih bentuknya sendiri. Itu yang pertama.
Yang kedua, seperti saya bilang sebelumnya, menulis dan menerbitkan tulisan memiliki arena yang berbeda sekali. Ada banyak penulis yang tumbuh dan mengalami era ketika menerbitkan karya belum semudah sekarang. Ketika tiba satu era di mana penerbitan menjadi jauh lebih mudah, selain kita harus berpikir kritis tentang situasi itu, kita juga jangan sampai lupa merayakannya. Kita hidup di negara, kalau dibandingkan dengan negara-negara lain, yang setiap tahun menerbitkan buku masih sedikit sekali. Kalau kita melihat angka-angka, setiap tahun buku yang terbit di Indonesia ini sangat kecil, apalagi kalau dibandingkan dengan negara lain. Persentasenya bahkan jauh lebih kecil dibanding banyak negara yang jumlah penduduknya lebih kecil.
Para penulis generasi baru yang menemukan bentuk-bentuk baru dalam menyampaikan gagasan yang mereka rasa lebih pas, bukan hanya dengan dirinya, tapi juga mungkin dengan audience tertentu yang mereka sasar, bagi saya penting dirayakan.
Selain soal bentuk, saya juga tidak percaya tulisan yang diterbitkan di Koran A atau di Penerbit B lebih keren dibanding tulisan yang dimuat di blog.
Hal lain, kita juga jarang mau berpikir bahwa pembaca itu bertumbuh. Mungkin tidak ada orang yang sekarang senang, umpamanya, membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer sejak kecil langsung membaca buku-buku tersebut. Ada yang memulai dari membaca cerita-cerita “Lima Sekawan”, ada yang mulai dari komik, ada yang mulai dari novel-novel Fredy S. Macam-macam. Sebagaimana penulis, pembaca itu juga bertumbuh.
Kadang-kadang kita tanpa sadar meng-underestimate pembaca, menganggap mereka tidak bisa memilih dan menyaring bacaan mereka sendiri.
Kadang-kadang kita tanpa sadar meng-underestimate pembaca, menganggap mereka tidak bisa memilih dan menyaring bacaan mereka sendiri.
Fenomena penulis-penulis yang curhat bukan sesuatu yang mengkhawatirkan saya. Saya lebih khawatir terhadap penulis yang selalu merasa karyanya lebih penting daripada karya penulis lain.
Bahwa kita membayangkan semua buku yang terbit adalah buku berkualitas, ya, tentu. Idealnya memang seperti itu. Tapi, kan, faktanya tidak. Apalagi kalau bicara soal industri perbukuan, ini menjadi lebih rumit lagi. Tapi, seburuk-buruknya satu karya menurut orang lain, penulisnya saya yakin sudah berusaha melakukan yang terbaik yang dia bisa lakukan pada saat menuliskannya.
Dengan semakin maraknya penyair di media sosial, pembahasan menyangkut self-love yang juga berhubungan dengan mental health semakin populer. Bagaimana Anda melihat peranan komunitas online untuk menjaga optimisme dan kesehatan mental para penggunanya saat ini?
Sebelum sampai sana, menurut saya, bisa dibilang sebenarnya budaya online masih sangat baru buat kita. Makanya, buat saya, jangan juga terlalu memaksakan diri kita sudah harus berada di titik tertentu yang kita anggap paling ideal.
Berbicara perihal kesehatan mental secara terbuka, bagi banyak orang, juga bukan sesuatu yang sudah lama.
Tapi, ketika melihat sekarang ada banyak orang atau kelompok yang aware sama isu ini dan memberikan edukasi dengan cara mereka masing-masing, menurut saya sangat menggembirakan hati.
Kita, sekali lagi, mesti sadar bahwa ada dua hal baru, pembicaraan isu mental health secara terbuka dan Internet sebagai ruang di mana kita membicarakannya.
Tingkat pemahaman dan kecakapan orang terhadap dua hal baru ini juga sangat beragam. Seringkali kan isu-isu di Indonesia ini terlalu bias urban. Seolah-olah, tanpa sadar, kita menganggap semua orang tinggal di Jakarta dan memiliki tingkat pemahaman yang sama.
Hal lain yang menurut saya penting adalah kesadaran bahwa sekarang ada lho ruang di mana orang-orang berani mengatakan perasaan mereka. Itu penting karena belum tentu di luar dunia online mereka bisa sebebas itu bicara. Belum tentu mereka mau dan mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka di depan keluarga atau orang terdekat mereka. Sehingga kita mestinya tidak terlalu tergesa menghakimi orang lain ketika yang mereka lakukan salah menurut penilaian kita.
Anda pernah mengatakan bahwa Anda selalu ingin menciptakan dunia baru dari hal-hal kecil lewat tulisan. Apakah Anda melihat kecenderungan ini sebagai cara untuk menyajikan a sense of comfort kepada para pembaca?
Bagi saya, salah satu kegunaan sastra adalah untuk melatih kita hidup dalam kondisi tidak pasti.
Sebetulnya, bagi saya, salah satu kegunaan sastra adalah untuk melatih kita hidup dalam kondisi tidak pasti. Makanya ketika wabah Corona datang, kondisi yang penuh ketidakpastian ini, saya selalu berpikir apakah sastra sudah menjalankan fungsinya di hidup saya selama ini? Bisa dibilang sebenarnya manusiawi sekali kita selalu menginginkan kepastian. Kalau menghadapi satu kenyataan atau pertanyaan yang tidak kita pahami, kita mau secepat mungkin dapat jawabannya. Artinya kita selalu berada dalam kondisi ingin merangkum dunia ini menjadi jawaban-jawaban. Sementara karya sastra, menurut saya, hadir untuk mengubah dunia ini menjadi kepingan-kepingan pertanyaan — yang artinya menginginkan kita terbiasa hidup dalam kondisi yang tidak pasti.
Sebetulnya saya lebih banyak menulis tidak untuk memberitahu orang apa yang sudah saya tahu, melainkan mencari tahu apa yang ingin saya tahu. Dan itu bisa datang dari hal-hal kecil. Seringkali dunia remeh-temeh di sekitar kita selama ini kita lihat dan terima dengan sangat normatif. Tapi, dengan mengamati hal-hal kecil itu lebih jauh, dengan menuliskannya, kalau saya bilang ‘menuliskannya’ artinya saya mencari tahu sesuatu yang lain, semacam dunia baru di sana, saya harap mereka menjadi tidak sekecil ketika saya belum tuliskan. Ada semacam ruang lain yang terjadi di situ. Saya berharap para pembaca melihatnya seperti itu. Bahwa barang yang sama ini, benda yang dia lihat kecil menjadi tidak lagi kecil sekecil yang mereka pikirkan. Lahir ruang lain dalam dunia benda kecil itu yang membuat pembaca memikirkan ulang atau memikirkannya lebih jauh. Di sana lebih mungkin pembaca berjumpa dengan pertanyaan-pertanyaan atau keraguan-keraguan saya dibanding hal-hal meyakinkan yang bernama jawaban.
Sebagai seorang penulis yang aktif di skena literatur Makassar, bagaimana Anda melihat bahasan atau cerita tentang mental health di kalangan penulis baik dalam segi personal maupun dalam berkarya?
Saya kira sebetulnya dalam porsi tertentu masing-masing ada. Tapi, untuk mengatakan bahwa teman-teman penulis di Makassar ada yang secara spesifik concern sama isu kesehatan mental saya kurang tahu.
Di Makassar ini ada begitu banyak komunitas. Terdengar keren karena namanya ‘komunitas’. Tapi itu ada risikonya sendiri, karena itu bisa berubah jadi cara mudah melabeli diri kita atau orang lain dan melekatkan identitas kita pada hal-hal tertentu yang bisa jadi sepele. Taruhlah, misalnya, ada komunitas pecinta mobil berwarna merah, atau pecinta mobil bermerek A. Kita mengidentifikasi diri kita sama atau beda dengan orang lain melalui warna atau merek mobil kita. Pada saat bersamaan bisa jadi kita merasa keren karena kita ‘berkomunitas’. Tapi kan yang terjadi justru komunitas itu memudahkan kita mengeksklusi orang lain. Kalau merek motor mereka berbeda dari merek motor saya berarti mereka bukan teman saya, mereka bukan bagian dari komunitas saya.
Ketika kami membangun Katakerja, sederhananya adalah itu gabungan dari ‘kata’ dan ‘kerja’ karena kami suka membaca, kami suka menulis. Dan, juga yang paling kami pikirkan adalah kelas kata yang paling kuat adalah kata kerja. Jadi, kata dan kerja juga bisa disambung jadi ‘kata kerja’. Tapi dia itu juga datang dari pemisahan semacam itu tadi.
Selama ini kami kerap melihat ada orang-orang yang merasa diri mereka aktivis dalam arti terlibat langsung di satu basis tertentu menganggap, “Wah teman-teman ini suka diskusi dan cuma tahu teori, tidak tahu prakteknya.” Di sisi lain, ada orang-orang yang membaca banyak buku bilang, “Kalian itu bekerja tapi tidak mengerti teorinya.” Jadi ada dua kubu yang membayangkan perubahan sosial yang mungkin sama, tetapi merasa berada di dua kubu berlawanan. Jadi Katakerja sebetulnya datang dari gagasan untuk membuka ruang kecil di mana memungkinkan terjadinya pertemuan, percakapan, kolaborasi, atau persimpangan beragam gagasan.
Di Makassar juga sebetulnya ruang-ruang publik untuk warga tidak memadai. Katakerja datang dengan gagasan, salah satunya, membuka ruang publik. Bentuknya perpustakaan. Sebenarnya itu juga metaforik, sih, maksudnya kalau kita masuk di perpustakaan, buku-buku yang sangat beragam itu bisa bersanding damai di rak dan tidak saling cekcok. Di Katakerja buku-buku tidak disusun berdasarkan klasifikasi, misalnya, sastra atau politik. Campur saja — dan ini bisa jadi salah satu yang memicu percakapan antara pustakawan dan pengunjung. Mereka bisa datang dari beragam latar belakang. Kira-kira semacam itu. Jadi isu-isu yang kami pelajari pun beragam. Kalau kami melihat misalnya ada persoalan dalam isu-isu disabilitas, kami mengundang komunitas disabilitas, dan kami belajar bareng-bareng. Atau isu-isu mental health. Atau, misalnya, di Makassar ini kan bagaimanapun masyarakatnya hidup dalam struktur sosial yang masih patriarkis. Ruang-ruang seperti Katakerja sebenarnya jadi tempat kami terus-menerus belajar melihat secara kritis hal-hal seperti itu. Misalnya, di Katakerja, kami berusaha untuk tidak bikin panel yang semua pembicaranya laki-laki.
Selain Katakerja, di Makassar ada cukup banyak ruang-ruang alternatif serupa dan itu menyenangkan. Di ruang-ruang komunitas itulah isu-isu semacam kesehatan mental ini didiskusikan, termasuk oleh teman-teman yang suka menulis.
Apa yang dapat kita lakukan sebagai komunitas untuk membantu mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma-stigma negatif yang mengitari pembicaraan kesehatan mental?
Yang paling pertama adalah mengusahakan agar komunitas itu tidak menjadi tempat memproduksi dan atau mereproduksi masalah. Kita seringkali terlalu bersemangat mau jadi solusi, tanpa kita tidak sadari ternyata kita sebetulnya bagian dari masalah. Misalnya, contoh lain, kita bicara soal kekerasan seksual, kita harus sadar bahwa bisa jadi komunitas yang sangat vokal mengenai isu itu, ternyata di komunitas itu sendiri kerap terjadi kekerasan seksual. Mampu tidak kita menjadikan komunitas kita ruang yang aman? Misalnya, di Katakerja, ada banyak pustakawan perempuan, mampu tidak Katakerja jadi ruang yang aman buat mereka? Itu juga sama dengan kasus mental health. Mampu tidak kami, sebelum berpikir terlalu jauh mengedukasi orang di luar komunitas kami, membantu teman-teman kami sendiri? Itu yang pertama, menurut saya.
Yang kedua, kita harus mampu melampaui kepentingan komunitas sendiri. Kan kadang-kadang sebetulnya ada semacam ego komunitas. Ada banyak komunitas jadi ruang yang tidak sehat karena dibangun atas dasar kompetisi. Kalau komunitas lain bisa begitu, kenapa kita tidak bisa? Itu tidak sehat. Saya sering bilang ke teman-teman saya di Katakerja, “Jangan sampai kita menjalankan Katakerja dengan bahan bakar kompetisi.” Kalau ada komunitas lain yang sudah mampu melakukan sesuatu dengan bagus, yang seharusnya kita lakukan adalah men-support mereka. Bukan malah merasa, “Kita bisa bikin lebih bagus daripada kalian.” Karena, sekali lagi, kata ‘komunitas’ ini mengandung semacam ilusi, terdengar keren karena ko-mu-ni-tas, seolah-olah otomatis hal-hal bagus ada di situ.
Tapi, ada banyak hal yang penting juga kita lihat secara kritis. Isu-isu semacam mental health ini, seperti yang saya bilang di awal tadi, juga bukan hal yang semua orang sudah paham, kita masih butuh terus belajar tentang ini. Tidak selalu mudah membicarakan isu kesehatan mental di ruang interaksi langsung, seperti di komunitas, sama bebasnya ketika kita melihat diskusi-diskusi yang marak akhir-akhir ini di media sosial.
Jadi, kalau komunitas sudah memastikan diri bukan bagian dari persoalan, juga mau belajar bareng-bareng, dan men-support orang atau komunitas lain, saya kira dengan itu kita jadi punya cukup modal untuk percaya bahwa kita bisa mengerjakan dan belajar bareng-bareng. Banyak komunitas tidak memiliki cukup sumber dayanya untuk hal-hal semacam ini. Seringkali satu-satunya modal kita adalah ke-kita-an kita.
Seringkali kita menulis untuk mencari semacam tempat yang aman, tempat yang nyaman, buat kita di dunia yang begitu kacau ini.
Sebagai salah satu kurator buku Open Column 2, bagaimana Anda melihat deretan cerita yang telah dibagi oleh para pembaca di buku ini?
Pertama, saya senang sekali karena diajak jadi salah satu orang pertama yang membaca tulisan-tulisan yang masuk. Menggembirakan sih, ya, orang-orang mau berusaha membicarakan isu-isu yang saya yakin tidak mudah. Dan, mereka percaya tulisan, bahasa, kata-kata, menyediakan ruang untuk mengkomunikasikannya.
Hal menggembirakan lainnya adalah kemampuan penulis-penulis di buku ini menemukan bentuk bertutur masing-masing. Jika kita percaya isu-isu semacam ini sangat spesifik bagi masing-masing orang, cara-cara menuturkannya juga bisa sangat berbeda dan personal. Menyenangkan melihat ada beragam bentuk yang dipilih oleh penulis dalam menyampaikan kompleksitas pikiran dan perasaan mereka. Tentu saja, buku ini tidak seideal yang kita bayangkan; buku ini tidak bisa merangkum semua isu seputar mental health. Tapi buku ini bisa jadi semacam pintu masuk untuk kita mendiskusikannya lebih jauh. Karena, toh, sebetulnya hampir tidak ada tulisan di buku ini yang mengulas cukup panjang satu isu tertentu. Setidaknya, buku ini memberi kita cukup banyak jalan masuk.
Saya berharap pembaca ketika memasuki tulisan-tulisan di buku ini bisa menemukan persoalan-persoalan mereka, dan mereka merasa tidak sendiri. Itu penting. Semoga buku ini bisa mempertemukan cukup banyak orang dan kemudian mereka, para pembaca itu, bisa bersorak, mungkin dalam hati, “Oh, iya, ternyata saya tidak sendiri!”
Cara lain apakah yang menurut Anda mudah dilakukan untuk tetap menjaga mental health, optimisme, dan lainnya di tengah pandemi ini?
Di tengah pandemi ini saya juga mencari-cari jawaban atas pertanyaan yang sama. Ada begitu banyak usaha, contoh sederhana, saya selalu merasa kok sebelum pandemi saya hampir tidak pernah bermimpi. Tiba-tiba di masa pandemi ini tiap kali tidur, saya bermimpi dan mimpinya absurd. Mimpi buruk. Saya baca banyak artikel dan menyadari pandemi ini berimbas sampai ke persoalan psikologis yang sangat dalam, dan berat sekali. Situasi yang tidak biasa.
Atau, seperti yang saya bilang tadi, saya dulu sangat percaya diri menulis puisi bisa membantu orang lain yang sedang ada di dalam ketidakpastian. Tapi tiba-tiba saya mengalami hal itu. Ternyata tidak mudah. Ketika saya mengalaminya sendiri, ternyata bukan perkara enteng.
Itu juga sih jawaban-jawaban yang ingin saya cari tahu, karena tidak semua orang melewati pandemi ini dengan cara dan situasi dan tekanan yang sama. Ada orang terjebak entah di mana, sendiri, dan tidak bisa bersama keluarga selama berbulan-bulan. Dan itu persoalan mereka. Tapi, saya berbeda sekali. Sebagai orang yang sudah 5 bulan hidup dengan keluarga, saya mengalami tekanan lain ternyata. Jadi solusi bagi orang lain bisa jadi masalah buat saya. Saya merasa salah satu persoalan besar saya selama pandemi adalah tidak punya ruang untuk sendiri. Jadi bukan urusan berada di luar atau di dalam rumah, tapi ruang untuk bisa bersama diri sendiri. Saya harus terus bersama anak-anak saya, istri, dan kami tinggal di rumah yang tidak luas. Kami tidak punya privilege untuk punya ruang yang nyaman buat masing-masing orang.
Sekali lagi, persoalan-persoalan seperti itu menuntut kemampuan untuk berempati. Sama dengan isu-isu mental health, kadang kita merasa bukan masalah bagi kita, tapi masalah besar bagi orang lain.
Apa yang selama ini membuat saya tetap merasa bisa bertahan dalam kondisi seperti ini? Mungkin karena akhirnya saya mau belajar melampauinya dengan bilang, “Ini ruang yang lapang bagi saya untuk belajar.” Saya punya bayi kembar dan saya diberi kesempatan untuk mengamati mereka lebih detail dari hari ke hari. Saya jadi belajar banyak.
Lima bulan terakhir ini kemampuan saya berkonsentrasi dengan bacaan pendek sekali. Tidak tahu, mungkin ada orang yang mampu melakukannya. Saya jadi tidak bisa berkonsentrasi menonton atau membaca buku. Setiap saat, saya selalu berusaha membaca, tapi baru satu paragraf kok kayaknya tadi sudah pindah konsentrasinya.
Akhirnya, saya melakukan hal-hal kecil lainnya. Mengajak anak-anak main. Jadi lebih berusaha untuk memikirkan persoalan-persoalan orang di sekitar saya ketimbang terlalu fokus ke diri saya. Misalnya, karena dua anak saya mulai sekolah, mereka shock tiba-tiba sekolahnya online. Saya yang membantu mereka memikirkan itu, mempersiapkan hal-hal yang mereka butuhkan. Mungkin dengan begitu saya bisa perlahan-lahan lepas dari persoalan-persoalan saya sendiri. Artinya apa? Kalau kita memikirkan persoalan orang lain, kita bisa memiliki kekuatan lebih. Ketika berhadapan dengan situasi luar biasa seperti pandemi ini, kalau tidak hati-hati, kita bisa jadi sangat egoistis. Kita bisa jadi hanya memikirkan diri sendiri di dalam kondisi seperti ini. Tapi, pandemi ini mengajarkan kepada saya bahwa yang butuh kita lakukan untuk lepas dari banyak masalah adalah menjadi tidak egois. Menjadi tidak selfish. Kembali belajar untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri. Kembali saling belajar memikirkan persoalan-persoalan kita satu sama lain.