
How Graphic Design is Losing Its Teeth and How We Got Here
Ramai dibahas (juga dirasakan) bagaimana jagat desain grafis mulai kehilangan ketajamannya. Untuk itu, kami mengajak ngobrol beberapa tokoh-tokoh notable yang hidup di koridor ini.
Words by Whiteboard Journal
Jika kamu merasa desain grafis terasa “kosong” hari ini, kamu tidak sendiri.
Menurut AIGA Design Census 2019, 1 dari 3 desainer menyatakan tidak puas dengan pekerjaannya. Bukan karena kurang klien atau software baru, tapi karena makin terasa bahwa desain hari ini kehilangan makna—ia hanya menjadi pelengkap narasi-narasi besar yang sudah dikurasi oleh kapitalisme.
Hari ini, desain lebih sering digunakan untuk membungkus narasi, bukan membongkarnya. Segala sesuatu harus terlihat menarik, bisa dibagikan, bisa dijual. Desain bukan lagi alat untuk memahami dunia, tapi jadi bagian dari mesin pengalihan perhatian.
Kritik menjadi estetika. Perlawanan menjadi merchandise. Aktivisme menjadi template.
Bahkan, ketika dunia sedang terbakar—di tengah krisis iklim, ketimpangan sosial, genosida, dan otoritarianisme digital—para designer masih harus memikirkan brand identity supaya tetap clear.
Tapi, tak selamanya kita harus terkungkung dalam kenyataan desain ini—desain grafis masih bisa memiliki “fungsi” di dalam dirinya.
Untuk membuktikan itu, kami berbicara dengan beberapa tokoh kredibel dan relevan untuk mengetahui pandangan mereka terhadap realita desain grafis kini.
Studio Pancaroba
Kolektif
Apa kritik kalian terhadap praktik desain grafis di Indonesia?
Dari Analisa Gembel kami, banyak desainer di Indonesia (terutama di ranah komersial) menjalankan peran sebagai “visual servant” buat korporasi tanpa pertanyaan untuk apa dan siapa. Desain kayak jadi cuma alat jualan, bukan alat komunikasi kritis. Padahal desain itu punya potensi politis, bisa menggerakkan, menyadarkan, atau bahkan memprovokasi. Tapi itu jarang banget disentuh di sini karena industri lebih menghargai estetika yang rapi daripada gagasan yang tajam. Di Indonesia desain yang dianggap “baik” masih sangat ditentukan oleh selera middle-class urban.
Bagaimana kalian melihat peer desainer grafis dan keresahan mereka?
Kami sering ketemu sama desainer yang burnout, kerja terus buat klien, tapi merasa apa yang mereka buat nggak punya makna. Ada keresahan eksistensial di situ: “Gue suka desain, tapi kenapa gue cuma bikin konten buat jualan?”
Sayangnya, sistem edukasi desain di Indonesia juga kurang ngajarin gimana desain bisa jadi alat perubahan sosial, jadi dirasa nggak punya banyak pilihan selain “jadi profesional sukses” atau “nganggur” :))
Bagaimana kalian menavigasi supaya desain tak melulu jadi alat untuk kapitalisme?
Kami sering bikin desain yang nggak untuk dijual, tapi untuk dibagikan, digandakan, dipakai ulang.
Misalnya: Poster protes bebas unduh (open-source visual); zine fotocopy gratis dan; intervensi ruang publik (grafik jalanan, tempelan, dan lain-lain). Jadi desain bukan hanya jadi produk, tapi alat komunikasi bersama.
Daripada ikut bikin branding untuk korporasi, kami fokus bikin visual untuk narasi tandingan. Dalam kolektif, kami kerja tanpa hirarki. Gak ada “klien” dan “desainer” aja, meskipun kami kerjasama dengan sebuah brand, misalnya, kami sebutnya kolaborator, biar setara. Semua keputusan visual dibahas bareng, bahkan oleh non-desainer. Jadi desain gak jadi monopoli elit kreatif.
Lalu kami dengan sengaja ngacak-ngacak selera desain mainstream, pakai gaya yang bahkan kami nggak tau apa sebutannya bahkan “jelek”. Karena kalau desain terlalu rapi dan glossy, dia gampang banget dipakai ulang sama kapitalisme. Estetika pun bisa jadi bentuk perlawanan sih kayaknya.
Ada juga kritik terhadap praktik aktivisme dan desain, bahwa praktik ini, kadang juga mereduksi jiwa aktivisme, saat kritik jadi estetika, perlawanan menjadi merchandise. aktivisme menjadi template. Bagaimana menurut kalian?
Ini setuju dan nampol banget. Studio Pancaroba pun sebagian besar hidup dari merch. Tapi kami tidak pernah menjual merch itu hanya untuk mass produksi dan mencari profit sebesar-besarnya. Apalagi kalau desain itu gak lahir dari keterlibatan langsung, cuma ambil isu yang lagi tren.
Beberapa prinsip yang kami pegang:
• Desain sebagai dokumentasi perjuangan, bukan sekadar dekorasi. Jadi kami gak asal buat, tapi terlibat di lapangan, ikut aksi, riset lapangan, diskusi bareng komunitas terdampak. Jadi visualnya lahir dari pengalaman, bukan tren;
• Distribusi visual yang gak kapitalistik. Kami hindari produksi merchandise kecuali ada tujuan jelas;
• Ngingetin diri terus buat gak fetishisasi penderitaan. Jangan jadikan luka orang lain sebagai bahan estetika. Gak semua hal harus divisualkan. Kadang, diam dan dengar adalah sikap visual terbaik.
Kami juga gak sepenuhnya anti-estetika. Karena kadang, desain yang kuat bisa jadi pintu masuk buat orang yang awalnya gak peduli. Tapi tetep harus ada isi di balik bungkusnya. Harus ada kesinambungan:
Dari desain → diskusi → aksi → perubahan.
Jadi buat kami, tantangannya adalah, gimana caranya tetap pakai desain sebagai alat perjuangan, tapi gak kehilangan jiwanya? Itu kerja harian. Butuh refleksi terus-menerus.
Jika boleh menyampaikan sesuatu ke sesama desainer grafis, apa yang akan kalian katakan?
Kata-kata hari ini—desain bukan cuma alat untuk bikin sesuatu jadi cantik. Desain adalah bahasa. Dan lo punya kuasa untuk memilih: “lo mau pake bahasa itu buat siapa? Buat yang kuat, atau buat yang terpinggirkan?”
Bagi kami, desain bisa jadi peluru atau pelukan. Bisa memperkuat sistem, atau merobeknya dari segala sisi. Tapi keputusan itu gak datang dari software atau style. Datangnya dari niat dan posisi lo dalam dunia ini. Dan kita gak harus selalu profesional, portfolio friendly, atau on brand. Kita boleh salah. Kita boleh kasar. Kita boleh ‘nggak komersil’. Yang penting kita jujur.
Jangan biarkan industri mendikte nilai karya kita guys.
—
Januar Rianto
Each Other Company/Further Reading Press
Apa kritik Jan terhadap praktik desain grafis di Indonesia?
Masih sama seperti pandangan saya beberapa tahun belakangan ini, bahwa desain masih—dan terus-menerus—dianggap hanya sebagai output; jarang sekali (terutama dalam disiplin desain grafis) dipandang sebagai sebuah praktik. Pandangan seperti ini membuat desain kerap disederhanakan secara berlebihan (overly simplified).
Padahal, praktik desain sejatinya adalah metode atau pendekatan dalam mengaplikasikan prinsip desain ke berbagai konteks—dengan cakupan yang sangat luas. Karena penyederhanaan tersebut, pendekatan-pendekatan yang “kurang umum” menjadi jarang terlihat, dan justru berkutat pada bentuk-bentuk yang itu-itu saja. Jika tidak disikapi dengan kritis, hal ini bisa mempersempit potensi perkembangan desain itu sendiri.
Apakah punya keresahan pada praktik desain grafis yang kini lebih banyak berfungsi sebagai alat kapitalisme? Jika iya, bagaimana Januar mencari way out dari itu?
Salah satu akibat dari penyederhanaan praktik desain adalah peran desain grafis yang semakin erat kaitannya dengan kapitalisme.
Tentu, ketika berbicara soal kapitalisme, kita sedang membicarakan sebuah konstelasi yang sangat masif. Desain grafis tidak bisa serta-merta berdiri di luar sistem ini, karena keberlangsungannya pun kerap bergantung pada praktik yang berada dalam ekosistem tersebut.
Saya hanya bisa berbicara berdasarkan pengalaman sendiri. Sebagai desainer, saya memposisikan praktik saya di antara kapitalisme dan sesuatu yang lebih independen—yakni wilayah yang memberi lebih banyak otonomi untuk bergerak “di luar” sistem. Ini bukan jalan keluar (way out) dalam arti yang sesungguhnya, melainkan sebuah siasat atau taktik untuk tidak sepenuhnya bergantung pada sistem yang, bagi saya, sudah rusak.
Sebagai studio desain, kami tentu berada di dalam pusaran kapitalisme. Namun di dalamnya, kami mencoba menerapkan cara kerja yang mungkin bisa dikatakan tidak konvensional—dengan “meminjam” dan menyebarkan ide-ide secara bebas (“borrowing” and propagating ideas). Tak jarang, kami justru men-challenge sekaligus mendefinisikan ulang brief yang diberikan oleh klien, sebagai bagian dari praktik yang lebih kritis.
Sebagai unit penerbitan, misalnya, kami berusaha membangun sistem kami sendiri—termasuk salah satunya sistem distribusi kami. Contohnya adalah keputusan untuk beredar tanpa mencantumkan ISBN, serta menerapkan sistem dan praktik lain, yang lagi-lagi, meskipun tetap beroperasi dalam kerangka kapitalisme, dapat memberi kami ruang gerak dan otonomi yang lebih besar.
Bisa dibilang, within and against.
Ada beberapa ide ditawarkan oleh beberapa theorist internasional untuk mengembalikan fungsi di ranah desain, mulai dari memberlakukan “sabotase estetika” dan tak lagi melihat desain sebagai jawaban, tapi pertanyaan, dst.
Apakah Jan melihat ini visible dilakukan di Indonesia? Dan apakah ini bisa dilakukan sebagai direction untuk sebuah studio desain yang sustainable, instead of inisiatif perseorangan?
Desain dimulai dari pertanyaan. Asking the right questions. Atau bahkan yang “bodoh” sekalipun.
Jawaban singkatnya: tentu saja desain bisa visible maupun feasible—keduanya sangat mungkin. Desain memang bisa berwujud sebagai output, jawaban, atau solusi, tapi juga bisa berperan sebagai cara, pendekatan, atau praktik.
Bagi saya, yang kedua jauh lebih menarik. Menarik dalam arti: ketika yang dikembangkan adalah cara atau praktik, maka output, jawaban, atau solusi—yang sering saya sebut sebagai by-product (akibat atau hasil)—akan ikut menjadi menarik. Ia bisa menjadi solusi, pertanyaan baru, atau bahkan melahirkan pendekatan yang lain, yang baru, atau berbeda. Desain akan, dengan sendirinya, membentuk siklusnya sendiri.
Ini juga menjadi siasat saya dalam menyeimbangkan (atau juggling) antara kapitalisme dan otonomi dalam praktik desain—terutama di konteks studio dan penerbitan yang saya jalankan. Pendekatannya mungkin berbeda, realitasnya juga berbeda, tapi keduanya, mau tidak mau, saling memengaruhi satu sama lain (feeds into/propagates into each other).
Terkait isu keberlanjutan, semua kembali pada bagaimana kita mendefinisikan “keberlanjutan” itu sendiri. Tapi kalau pertanyaannya: apakah bisa, atau mungkin? Jawabannya tentu: ya.
Apakah Jan punya tips untuk desainer grafis supaya tidak terjebak dengan pola-pola di atas?
Pertama-tama, sadari bahwa desain grafis—atau profesi sebagai desainer grafis—sejak awal memang tidak (pernah) sepenuhnya tentang kita. Ia, dan kita yang menjalankannya, tidak pernah berada dalam ruang vakum. Maka, mustahil berada dalam posisi yang statis atau pasif—ia menuntut posisi yang aktif. Sebuah “kata kerja”, if you will.
Karena ia menuntut posisi yang aktif, maka perbanyaklah—bukan hanya referensi (visual/output)—pemahaman terhadap potensi praktik dan diskursus desain. Kembangkan pemahaman-pemahaman kritis terhadap praktik desain yang lebih menyeluruh. Dengan begitu, ia menjadi relevan—dan menurut saya, dalam konteks ini, relevansi itu sendiri adalah by-product.
Latih kemampuan analisis, kepekaan dalam asking the right questions, serta sikap kritis. Uji dan tantang diri sendiri: nilai apa yang penting untuk dipegang? Posisi mana yang harus dipijak? Sikap (stance) seperti apa yang patut diperjuangkan? Dan seterusnya.
Practise it—bukan hanya dengan kesadaran, tapi juga dengan good intention.
—

(Photo credits: Yoga Septi Irawan)
Krishnamurti Suparka
Artist/Writer
Apakah generasi baru desain grafis di kampus punya keresahan yang berbeda pada praktik desain jika dibandingkan dengan generasi yang sebelum-sebelumnya? Jika ada, apa perubahan perspektifnya?
Saya kurang tau siapa yang dimaksud dengan “generasi baru desain grafis” di pertanyaan tersebut, namun saya asumsikan bahwa istilah tersebut merujuk kepada recent intakes—i.e. mahasiswa. Saya juga kurang yakin apakah “desain grafis” di sini adalah kata lain atau dianggap sinonim dengan “DKV”, karena bagi saya pribadi mereka adalah dua hal yang berbeda, walau keduanya memiliki banyak irisan.
Selain itu, perlu diketahui bahwa saat ini saya sedang hiatus dari mengajar—sudah sekitar setengah tahun lebih—jadi apa pun pendapat yang akan saya sampaikan, ia spesifik membicarakan tipe mahasiswa DKV di rentang 2017 hingga 2024.
In hindsight, dan reductively speaking, dari sudut pandang pribadi, saya membagi mereka dalam kategori mood/tendency sebagai berikut:
– 2017–2019: Relatif santai dalam menyikapi role sebagai desainer tampak tidak memiliki banyak pressure selain “harus cari/dapet kerja.”
– 2020–2021: Lockdown generation, ada gap dalam social skills/interaction dan permissiveness yang disebabkan oleh online conducts and procedures—menurunnya QC monitoring terhadap their real craft (as opposed to sekadar online/digital results) penurunan atau terhambatnya atau tertundanya long-term goals/aspirations as a result of lockdown uncertainty.
– 2022–2024: Renewed positivism and spirit—post-covid, post-BLM/MeToo/wokeness, TikTok craze leading to socmed-driven boost/conflation of ● ● [over?]confidence on things that are eternally validated in their echo chambers, heightened sense of the self and entitlement—that, in the context of performance as DKV students, aren’t always backed up or supported by genuine/quality works and ideas the increased difficulty to distinguish original student works and AI-assisted (or directly stolen) works—honesty, integrity, and honor is becoming less of a priority in our 0.00015 Seconds of Fame era.
That being said, tetap ada segelintir dari mereka yang mewarisi semangat eksploratif (dalam berpikir dan pengartikulasiannya dalam desain) yang, IMHO, sejatinya adalah salah satu semangat paling mendasar dari praktik desain itu sendiri.
Tanpa mengetahui secara jelas detail kurikulum yang ada saat ini, saya rasa dalam 1–2 tahun terakhir ada semacam geliat baru yang sifatnya lebih menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara client/industry-oriented mindset serta tujuan/motivasi di luar itu seperti social design, production of knowledge, atau orientasi berpraktik lainnya.
Selalu tempting untuk mendakwa bahwa pendidikan desain di Indonesia hanyalah pipeline menuju industri, menghasilkan tenaga kerja penggerak mesin ina-itu yang no doubt memang masih beroperasi hingga kini—and indeed this is would be the case. Namun begitu, sepertinya kini sedang muncul percikan-percikan baru di sana-sini yang tentunya kelak akan menjadi pembeda/force to be reckoned with, terlepas dari apakah it’s simply another assimilation/cooptation/absorption of the neolib machine yang semakin meluas dan menghunjam cakupan diversifikasinya.
Sebagai pengajar desain yang juga terpapar pada kritik terhadap praktik desain yang cenderung dipakai merely untuk alat kapitalisme, bagaimana Kang Nana memberi arahan/menyampaikan materi yang lebih mindful kepada mahasiswa?
I always try to share ideas and viewpoints yang berbeda dari yang “disangka given” atau “seolah sudah dari sananya”, i.e. alternatives and challenges/contenders yang memang juga ada di luar sana (namun belum tentu populer di heavily industrialised +62).
Contoh sederhana—menggarisbawahi signifikansi Romanticism dalam kaitannya dengan Revolusi Industri Pertama, atau siapa itu Ken Garland, First Things First Manifesto, Papanek, Adbusters—despite them being shit recently, Naomi Klein’s No Logo… dll.
Bagaimana mengasah perspektif kritis ini supaya menjadi pengingat saat melakukan praktik desain?
Ungkapan tersebut sudah amat tepat sebetulnya—“mengasah”. Artinya si bilah pisaunya sudah ada to begin with. But the thing (or problem) with having to mengasah sesuatu is…
First, loe emang udah harus merupakan seorang yang memang memiliki alat tersebut. How can you mengasah sesuatu yang nggak loe punya? Bahkan sebelum loe akhirnya memiliki alat tersebut, loe harus berada di posisi di mana loe memang merasa membutuhkan alat tersebut, dan ini nggak gampang kalau kita belum menganggap serius role kita dalam “berdesain” ini.
Second, ya obviously harus nyadar bahwa menjadi tumpul itu adalah keniscayaan, ketika sesuatu nggak pernah dipakai atau terlalu sering dipake—hence the consequential realisation bahwa dalam setiap keseriusan harus selalu ada proses pembelajaran/upgrading dan ini sifatnya cyclic, berulang, dan… sepanjang hayat.
Besides, anyone yang nggak menjalani hidup dengan bekal perspektif kritis (dalam segala hal dan by default) mungkin ada baiknya me-review ulang dulu tujuan hidupnya sebelum repot-repot melihatnya sebagai sesuatu yang hanya relevan dengan praktik desain.
Adakah contoh praktik desain yang dijalankan dengan perspektif alternatif yang menurut Kang Nana relevan?
Sejak berlangsungnya genosida di Oct 2023, banyak faktor baru yang harus dipertimbangkan oleh saya sebelum menjawab pertanyaan tersebut, seperti Keberpihakan (yang berdampak pada ideological standpoint, yang berdampak pada positioning, yang tentunya berdampak pada orientasi/tujuan sebuah design output).
Dalam hal ini, masih banyak yang sedang saya dismantle—narasi atau pedoman yang selama ini saya pegang teguh terkait critical thinking, postmodern thought, dan “cultural discourses” lainnya yang hingga kini sedang mengalami ketersingkapan after ketersingkapan atas segala bentuk colonial hypocrisy yang berhasil mengukuhkannya for centuries. So, to be continued.
—

(Photo credits: Bella Riza)
Nabila Hanina
VINDES.
Apakah punya keresahan pada praktik desain grafis yang kini lebih banyak berfungsi sebagai alat kapitalisme?
Iya lagi (2x). Walaupun gue gak merasa kita bisa menyalahkan itu sepenuhnya, since we designers are living off of capitalism after all?
Though I see more and more desperately-made graphics than usual these days, designed solely to amass engagement (and then later, profit) dibandingkan desain-desain yang rasanya bisa dikemas secara lebih… genuine? Dan bukan cuma jadi sekadar alat?
Bagaimana cara mencari way out?
Kebetulan banget gue kerja di lingkungan yang rasanya masih punya balance cukup sehat antara ngejalanin creative freedom dan menuhin kepentingan eksternal, so it doesn’t clash too often, and I dont always find myself having to search for a way out either?
But when I do, I too try to find my own balance. Kalau harus desain saklek sesuai kebutuhan, yaudah aja nggak semua akan selalu sesuai keinginan. Tapi kalau ada hal-hal kecil yang kayaknya masih bisa diperjuangin/diakal-akalin demi kepuasan sendiri, biasanya langsung sikat sih hehe.
Apakah untuk memberontak dari sistem yang demikian ini possible menurut kalian? Kalau possible gimana caranya, kalau nggak, kenapa?
Gatau, tapi rasanya at least kalau dari diri sendiri sih possible ya? Dari hal-hal kecil, sesimpel mikir ulang tujuan gue nge-design sesuatu itu buat apa—untuk attention, ngejer target, self-expression, atau mungkin kombinasi semuanya?
Kalau itu udah tau, biasanya lebih gampang bagi gue in the long run untuk decide tone dan approach desainnya mau gimana. Jadi mencoba untuk gak terlalu terpengaruh sama hal-hal yang kayaknya jatuh di luar scope gue, atau apa akan terkesan kapitalis apa nggaknya.
But then again, to not let yourself design something that enforces capitalism might be a bit of a privilege at this point?
—
Novita Theresia
Another Design/Ticket to Nowhere
Apakah punya keresahan pada praktik desain grafis yang kini lebih banyak berfungsi sebagai alat kapitalisme?
Keresahan ada.
Bagaimana cara mencari way out?
Mencari atau membuat jenis project yang tidak melulu harus menjual. Mungkin dengan cara balancing apa yg dilakukan sebagai graphic designer, dengan pekerjaan branding (yang dapat menyalurkan kreatifitas), membuat buku/zine/project-project lain yang lebih seru, atau membantu project-project yang minim dari segi uang, tapi dapat bermanfaat bagi orang banyak.
Apakah untuk memberontak dari sistem yang demikian ini possible menurut kalian? Kalau possible gimana caranya, kalau nggak, kenapa?
Kayaknya nggak possible, karena profesi ini sendiri lahir karena kebutuhan demand untuk industri dan kapitalisme.